Kamis, 12 Mei 2022

Mengantar Cibuntu Menjadi Desa Mengaji

Subuh sebentar lagi menyingsing. Jalanan Desa Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat, masih sepi. Abah Awam, kuwu di Desa Cibuntu, sudah melangkahkan kakinya ke Masjid Darussalam, satu-satunya masjid di desa tersebut. Kuwu, dalam bahasa Sunda, berarti Kepala Desa.

Desa Cibuntu

Tak lama kemudian, Abah --sapaan akrab Awam-- mengumandangkan azan subuh. Suaranya lantang mengajak masyarakat agar segera bangun dari tidur dan bergegas menuju masjid. Namun, tak terlihat langkah kaki menuju Rumah Allah.

Karena gemas melihat masyarakat yang bergeming padahal suara azan sudah selesai berkumandang, Abah lalu mengambil pengeras suara dan memanggil warganya agar segera pergi ke masjid. Bukan dalam bahasa Arab, melainkan dalam bahasa Sunda. Setelah dipanggil beberapa kali, barulah beberapa warga mulai mendatangi Masjid Darussalam. 

"Saya sering mengatakan kepada warga bahwa masjid adalah rumah kalian. Kalau dipanggil pulang, ya kalian harus pulang ke masjid," cerita Awam kepada Suara Hidayatullah yang mengunjungi kediamannya pada Jumat, 25 Februari 2022. 


Kisah yang diceritakan Awam ini tentu bukan terjadi sekarang, namun bertahun-tahun yang lalu. Ketika itu, kata Awam, masyarakat Desa Cibuntu masih susah diajak shalat berjamaah di masjid. Mereka juga belum banyak yang mampu membaca al-Qur'an dengan baik. Apalagi memahami isinya. Ini semua membuat Awam merasa gusar.

Sebelum memangku amanah sebagai kuwu, Abah Awam lama tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di sana, ia banyak berkenalan dengan para aktivis Islam. Awam juga sering mengikuti pengajian dari satu masjid ke masjid yang lain. Dari sinilah pemahaman Islamnya mulai membaik. 

Tahun 2003, Awan diminta pulang ke desanya. Masyarakat menginginkan ia menjadi kuwu. Awam tak bisa menolak. Setelah menjadi kepala desa, Awam mulai membenahi masyarakat desanya. Ia ajak masyarakat shalat di masjid. Tak jarang ia memanggil-manggil warganya lewat pengeras suara ketika panggilan azan sudah selesai. 

Penulis sedang mewawancarai Abah Awam

Awam juga berusaha mengikis habis praktik syirik pada hajatan tahunan Sedekah Bumi. Ia mengubah hajatan yang selalu ramai diikuti seluruh warga desa ini menjadi ajang kumpul warga dan makan bersama-sama. Tak boleh ada sesajian kepada Gunung Ciremai yang terletak di dekat desa itu. Apalagi sampai menanam kepala binatang di sana.

Meski telah dimodifikasi, hajatan Sedekah Bumi tetap ramai dikunjungi masyarakat. Bahkan masyarakat dari luar Cibuntu ikut hadir memeriahkan. Terakhir, pada tahun 2020, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, juga hadir dalam acara Sedekah Bumi. Dalam akun instagramnya, Ridwan Kamil berceloteh, "Acara Sedekah Bumi adalah acara adat tasyakuran atas segala rezeki dan berkah yang Allah berikan kepada masyarakat Desa Cibuntu."

Tak cukup itu, Awam juga ingin warga desanya pintar mengaji. Sayangnya, cita-cita yang satu ini tak mudah diwujudkan. Kendala utamanya adalah minimnya dai yang mau mengajar di desa tersebut.    

"Saya sudah keliling ke mana-mana mencari guru mengaji, tapi tidak ada yang mau," cerita Awam. Ia pernah mendatangi sebuah sekolah tinggi Islam di Jakarta, berharap ada mahasiswa yang mau tinggal di Cibuntu untuk mengajar mengaji. Tapi tetap tak ada yang bersedia. 

Cibuntu adalah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Ciremai. Desa ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Ciremai. Luasnya, menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, lebih dari 1 juta hektar. Ada sekitar 20 ribu jiwa yang mendiami desa tersebut, dengan komposisi laki-laki dan perempuan hampir berimbang. 


Pada tahun 2012, Desa Cibuntu dicanangkan sebagai desa wisata. Tentu sangat beralasan mengapa desa ini dijadikan tempat wisata. Letak Cibuntu yang berada di dekat Gunung Ciremai membuat udaranya sangat segar, hawanya agak dingin, airnya jernih, mata airnya banyak. Di sekeliling desa terhampar sawah dan rerumputan hijau. 

Di sini juga ada sejumlah objek wisata alami. Ada curug atau air terjun, situs cagar budaya, bumi perkemahan, dan kampung domba. Para pelancong bisa menginap beberapa hari di desa ini. Sejumlah rumah warga telah disiapkan sebagai homestay atau rumah singgah. 

Bahkan, khusus soal ini, Cibuntu telah menyabet juara ke 5 sebagai desa wisata terbaik bidang homestay tahun 2016. Bukan se-propinsi Jawa Barat, tapi se ASEAN. Menarik bukan?

Warga Cibuntu sangat ramah dan terbuka kepada siapa saja yang datang ke desa mereka. Hal ini diakui oleh Amangku, kepala desa sebelumnya. "Tidak ada masyarakat yang terlantar di desa ini," kata Amangku saat ditemui penulis di kediamannya di Desa Cibuntu. 

Uniknya, warga Cibuntu berasal dari satu keturunan. "Satu sama lain terhubung oleh ikatan keluarga," jelas pria yang telah berusia lebih dari 70 tahun ini. Kalau pun ada pendatang, jumlahnya tak banyak dan mudah dikenali.

Selain itu, semua tanah di Cibuntu dimiliki oleh warga desa. Tak boleh ada tanah yang dipunyai warga luar Cibuntu. Kalau ada yang mau menjual tanahnya, hanya boleh kepada warga Cibuntu sendiri. Ini sudah menjadi kesepakatan tak tertulis antar warga.

Salah satu situs bersejarah di Cibuntu

Kembali ke cerita Abah Awam. Keinginannya untuk mendidik warganya agar pintar mengaji amat beralasan. Sejak lama Awam menyimpan kekhawatiran, utamanya setelah Cibuntu dicanangkan sebagai desa wisata. 

Setelah pencanangan itu, dari tahun ke tahun, jumlah pendatang semakin banyak. Bukan mustahil pengaruh masyarakat luar akan menggerus akhlak dan karakter mulia warga Cibuntu yang sejatinya religi.

Untuk mengantisipasi kekhawatiran ini, tak ada jalan lain kecuali menjadikan masyarakat Cibuntu lebih Islami. Setidaknya, kata Awam, masyarakat rajin shalat di masjid dan mau belajar membaca al-Qur'an. Itu saja sudah lumayan bagus.

Sebenarnya, di Desa Cibuntu ada seorang aparat desa yang bisa mengajar mengaji. Namanya Abdul Hamid. Ia bukan warga asli Cibuntu, namun isterinya berasal dari Cibuntu. 


Pada awalnya, bertahun-tahun yang lalu, Abdul Hamid dan isterinya belum menetap di Cibuntu. Mereka masih tinggal di Cirebon, Jawa Barat, kira-kira 1 jam perjalanan mengendarai motor dari Cibuntu. Namun, ketika itu, Abdul Hamid sudah sering mengisi khutbah Jumat di Masjid Darussalam, Cibuntu. 

Lalu, pada tahun 2004, ia diminta oleh Awam untuk mengajar mengaji di Cibuntu. Sejak saat itu, cerita Abdul Hamid, ia pulang balik Cibuntu-Cirebon dengan motor hampir setiap hari. Tahun 2006, Abah Awan menawarkan kepada Abdul Hamid untuk menjadi salah satu pegawai kantor desa di bagian Kesra (Kesejahteraan Rakyat). Tentu saja Abdul Hamid merasa senang atas tawaran tersebut. Ia pun pindah ke Cibuntu dan tetap mengajar anak-anak mengaji setiap hari.

Cibuntu di waktu pagi

Sejak Abdul Hamid tinggal di Cibuntu, persoalan pembinaan keagamaan di desa tersebut sedikit teratasi. Taman Pendidikan Al-Qur'an sudah dibuka, majelis taklim mulai hidup. Namun, tetap belum maksimal. Apalagi tugas Abdul Hamid sebagai aparat desa semakin lama kian banyak. "Saya mengurus semua persoalan warga," kata Abdul Hamid kepada penulis Jum'at, 25 Februari 2022. Sampai di sini, persoalan utama Cibuntu masih belum sepenuhnya terpecahkan. 

Awam menjabat kepala Desa Cibuntu sudah tiga periode. Tahun 2023, amanah yang diembannya akan berakhir. Di sisa jabatannya itu, Awam masih menyimpan dua keinginan. Pertama, ia ingin merenovasi Masjid Darussalam yang tadinya satu lantai menjadi dua lantai. 

Alhamdulillah, atas izin Allah Ta'ala, cita-cita ini hampir terlaksana. Pemerintah Propinsi Jawa Barat bersedia membantunya. Pada sekitar Oktober 2021, masjid yang terletak di samping kantor desa tersebut mulai dibangun. Saat Suara Hidayatullah mengunjungi Desa Cibuntu akhir Februari 2022, proses renovasi Masjid Darussalam sudah lebih dari 50 persen. 

Sedang keinginan kedua adalah menjadikan masyarakat di desanya religius. "Masyarakat Desa Cibuntu telah memiliki segalanya kecuali satu hal, yaitu ilmu agama," kata Awam.  

Qadarallah, pada tahun 2020, Allah Ta'ala mempertemukan Abah Awam dengan Ahmad Suhail yang ketika itu menjabat Ketua Persaudaraan Dai Indonesia atau PosDai. Awam menceritakan kesulitan yang ia hadapi. Pada saat yang sama, Suhail sedang menyusun konsep Desa Mengaji. Klop! Jalan keluar tiba-tiba terbuka 

Lantas bagaimana konsep Desa Mengaji yang digagas oleh PosDai Hidayatullah? Bagaimana pula kiprah dai Hidayatullah yang diminta tinggal di Cibuntu? Mari ikuti terus lanjutan kisah ini! ***

o0o

Cinta Warga Untuk Sang Ustadz

Siddiq Junihardin, pria asal Kendari, Sulawesi Tenggara, tak menyangka akan ditugaskan ke Desa Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat, pada awal tahun 2021. Padahal, ia belum lama mengajar di Sekolah Dai, Ciomas, Bogor, Jawa Barat, lembaga pendidikan milik PosDai Hidayatullah. 

Ust Siddiq, dai Cibuntu

Namun, keputusan sudah dibuat. Siddiq harus meninggalkan para santri yang telah diasuhnya selama dua tahun, dan hijrah ke sebuah desa yang tak ia kenal sebelumnya. Desa berpanorama indah yang terdapat di kaki Gunung Ciremai.   

Adalah Ahmad Suhail, Ketua PosDai Hidayatullah periode lalu, telah menunjuk Siddiq untuk mengemban amanah yang tak semua anak muda seusianya sanggup mengembannya. 

Bukan tanpa alasan Suhail menunjuk Siddiq. "Dia memiliki bekal agama yang bagus, penyabar, dan pandai bergaul," cerita Suhail, yang kini menjabat sebagai Ketua DPW Hidayatullah Propinsi Bengkulu, kepada penulis awal Maret 2022. 

Siddiq jebolan LIPIA. Ia lulus tahun 2018. Ilmu agamanya jelas lebih dari cukup. Istrinya berasal dari Garut, Jawa Barat. Secara karakter, masyarakat Garut dan masyarakat Cibuntu tidak berbeda. Jadi, klop! Menurut perkiraan Suhail, Siddiq tak akan banyak kesulitan saat tinggal di Desa Cibuntu kelak.


Sebetulnya, sebelum kedatangan Siddiq, warga Cibuntu sudah paham bahwa desa mereka akan kedatangan seorang ustadz utusan PosDai Hidayatullah. Beberapa bulan sebelum Siddiq bertolak ke Cibuntu, Suhail dan beberapa pengurus PosDai Hidayatullah telah bersilaturahim ke kediaman Kepala Desa Cibuntu, Abah Awam. Ketika itu, Suhail menjelaskan kepada Awam tentang program Desa Mengaji yang digagasnya.
 
"Alhamdulillah, beliau sangat antusias," cerita Suhail. Bahkan, Awam mengundang Suhail untuk presentasi kembali di kantor desa, di hadapan seluruh perangkat desa.

Tanpa disangka-sangka, seluruh perangkat desa juga setuju dengan program Desa Mengaji yang ditawarkan Suhail. Mereka bahkan meminta agar program itu segera dilaksanakan. Tak perlu menunggu lama. Mereka juga sanggup menyediakan rumah untuk tempat tinggal ustadz yang ditugaskan ke desa mereka.

Suhail dan timnya tentu merasa senang dengan sambutan seluruh perangkat desa. Apalagi sejak saat itu, Awam selalu menyebut-nyebut program Desa Mengaji di setiap acara desa, baik di masjid, tempat hajatan, atau tempat-tempat berkumpulnya warga. 

Bahkan, setiap menjelang shalat Jumat, sebelum khatib naik mimbar, berkali-kali Awam mengumumkan program Desa Mengaji ini kepada jamaah masjid Darussalam. 

Pada tanggal 4 Januari 2021,  Siddiq bersama isterinya berangkat ke Desa Cibuntu. Sesampainya di sana, Siddiq disambut gembira oleh warga. Sebuah rumah telah disiapkan untuknya. Bahkan, cerita Siddik saat ditemui Suara Hidayatullah akhir Februari 2022, warga juga membantu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya.

"Saya jarang sekali membeli beras selama di sini. Setiap kali beras mau habis, selalu saja ada warga yang datang memberi beras," katanya.   

Tak cuma itu, warga sempat menghimpun dana untuk membantu Siddiq yang ingin pulang kampung ke Kendari saat lebaran. Mereka juga berpesan agar Siddiq tak lama-lama berada di kampung dan segera pulang ke Cibuntu jika urusannya sudah selesai. 

Bahkan, saat Siddiq berada di kampung halamannya, beberapa kali warga meneleponnya dan menanyakan kapan Siddiq pulang.

Ini semua gambaran cinta warga kepada sosok seorang ustadz. "Warga di sini sangat senang melihat anak-anak mereka diajar mengaji," kata Siddiq. 

Anak-anak pun antusias mengaji. Saat hujan lebat, mereka tetap datang ke masjid dan musholla untuk mengaji.  

Awal tiba ke Cibuntu, Siddiq banyak bersilaturahim kepada warga desa. "Satu bulan saya gunakan untuk bersilaturahim," cerita Siddiq. 

Saat bersilaturahim, Siddiq banyak dibantu oleh Abdul Hamid, aparat desa yang telah mengajar ngaji di Cibuntu sebelum kedatangan Siddiq. Bila ada hajatan warga, Abdul Hamid akan mengajak Siddiq hadir, lalu memperkenalkan Siddiq kepada warga. 

Terkadang sehabis shalat fardhu berjamaah di masjid, Siddiq gunakan waktu untuk mengobrol dengan jamaah. Dalam obrolan itu, Siddiq mengajak warga untuk ikut mengaji Qur'an. Perlahan-lahan, warga mulai dekat dengan Siddiq.

Setelah sebulan tinggal di Desa Cibuntu, Siddiq sudah tak sungkan lagi mengajak warga untuk shalat berjamaah di masjid. Ia juga percaya diri untuk menggelar taklim setiap selesai shalat subuh, sebagaimana pada Jumat subuh, 25 Februari 2022, ketika penulis berkesempatan mengikuti taklim mereka.


Taklim dilaksanakan dengan cara duduk melingkar di masjid. Shiddiq duduk di tengah, sedang jamaah yang ketika itu berjumlah sekitar 30 orang, duduk di sisi-sisi masjid. Abah Awam juga terlihat duduk di antara jamaah. Kajian pada subuh Jumat itu mengupas Hadits tentang sedekah. Beberapa jamaah sempat menanyakan perihal hukum wakaf.

Menurut Siddiq, materi yang diajarkan saat taklim ada bermacam-macam. Hari Senin dan Rabu membahas tentang fiqih. Hari Kamis membahas tafsir. Sedang Jumat membaca Hadits sebagaimana Jumat 25 Februari 2022 itu. Masyarakat, kata Siddiq, lebih banyak bertanya soal fiqih, termasuk soal zakat pertanian, zakat peternakan, warisan, dan waqaf. 

Pengajian anak-anak juga lebih hidup. Anak-anak sudah terbiasa datang ke masjid setiap shalat fardhu, utamanya waktu Ashar. Sebab, setiap bakda ashar, mereka bersama-sama melantunkan zikir, lalu berpencar menjadi tujuh kelompok. Masing-masing kelompok belajar di tempat yang berbeda. Ada yang belajar di masjid, di ruang-ruang kelas, dan ada juga yang belajar di musholla. Jumlah mereka hampir 120 orang. 

Di samping Masjid Darussalam, ada 4 musholla di Desa Cibuntu. Letaknya agak berjauhan. Ukurannya kecil. Hanya muat sekitar 30 orang. Setiap kelompok diajar oleh satu orang guru. Selain Siddiq dan Abdul Hamid, ada seorang anak muda lulusan sebuah pesantren yang diminta membantu mengajar anak-anak tersebut. Selebihnya adalah ibu-ibu majelis taklim.

Anak-anak mengaji sampai pukul 17.30. Namun, untuk anak-anak yang sudah pandai mengaji al-Qur'an, Siddiq menyediakan waktu guna memperbaiki bacaan mereka sampai datang waktu magrib. Menurut Siddiq, telah ada satu anak SMP yang hafal juz 30.  

Usai shalat magrib, Siddiq kerap mengajak warga dewasa mengobrol di masjid sambil menunggu waktu isya. Terkadang Siddiq gunakan waktu ini untuk mengajak mereka belajar mengaji. Beberapa warga mau menerima ajakan Siddiq, namun beberapa yang lain masih enggan karena merasa sudah tua dan malu. 

"Kebanyakan mereka masih mengaji iqro. Ada yang baru iqro 1. Setelah satu tahun, ada yang sudah mencapai iqro 6," cerita Siddiq.  

Pengajian ibu-ibu justu lebih ramai dan semarak. Mereka lebih antusias. Jumlah mereka banyak, bahkan pernah mencapai 90-an orang dalam satu kali pertemuan yang digelar setiap hari Selasa itu.


Tantangan yang belum terpecahkan hingga kini, aku Siddiq, adalah mengajak para remaja untuk ikut mengaji. Jumlah remaja yang bersedia ikut hanya sedikit. Kebanyakan justru masih enggan. "Mereka seperti punya dunia sendiri. Saya masih bingung bagaimana cara mengajak mereka," jelas Siddiq. 

Sempat terlintas dalam pikiran Siddiq untuk menggelar pelatihan yang disukai anak-anak muda. Misalnya membuat konten video atau desain poster. Jika anak-anak remaja sudah tertarik dan mau berkumpul, barulah perlahan-lahan mereka diajak mengaji sambil berkreasi. 

Namun Siddiq sendiri tidak menguasai keterampilan itu. Ia juga tidak kenal dengan orang-orang yang paham soal itu. Pembinaan yang dilakukan Siddiq saat ini baru menyentuh anak-anak dan orang tua. Siddiq juga menyadari bahwa dakwah tak bisa dipaksakan kepada masyarakat, terutama anak muda. Yang harus disentuh adalah hatinya. Bila dipaksakan, mereka justru lari.   

Program Desa Mengaji di Cibuntu baru berjalan satu tahun. Selama masa itu, kata Siddiq, banyak hal yang harus dievaluasi. Apalagi, Cibuntu menjadi proyek pertama Desa Mengaji PosDai Hidayatullah. Dukungan masyarakat dan aparat desa menjadi faktor penting suksesnya program ini. Terlebih lagi bila harus mengkader masyarakat agar bisa mandiri dalam menyelenggarakan program ini. 

Untunglah, kata Siddiq, dukungan aparat dan masyarakat Desa Cibuntu sangat bagus. Lalu bagaimana dengan desa-desa lain setelah Cibuntu? 

Yang jelas, kata Samani Harjo, ketua PosDai Hidayatullah, apa pun tantangannya, program ini akan tetap berjalan. PosDai Hidayatullah bahkan bercita-cita mengembangkan program ini setidaknya satu Desa Mengaji untuk setiap propinsi di Indonesia. Semoga Allah Ta'ala mudahkan. ***

o0o

Dari Desa Mengaji Menuju Pesantren Masyarakat

Jauh sebelum program Desa Mengaji digagas, Hidayatullah telah meluncurkan Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Qur'an, atau disingkat Grand MBA. Dalam gerakan ini, seorang guru mengaji akan naik ke atas mimbar masjid lalu mengajarkan kepada jamaah bagaimana cara membaca al-Qur'an secara benar, termasuk menerjemahkannya.

Cibuntu dan keindahan alamnya

Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan ini diperluas. Tidak lagi sekadar dilaksanakan di masjid-masjid,  namun juga dilaksanakan di rumah-rumah warga --yang kemudian dinamakan Rumah Qur'an--- atau majelis-majelis pertemuan warga --yang kemudian dinamakan majelis Qur'an.

"Program Desa Mengaji sebenarnya adalah pelaksanaan dari program Grand MBA di sebuah desa," cerita Ahmad Suhail, penggagas program Desa Mengaji, kepada penulis awal Maret 2022. Inti dari program ini adalah mengajak masyarakat desa agar cinta kepada al-Qur'an.

Hal senada juga diutarakan Samani Harjo, yang sekarang menjabat ketua PosDai Hidayatullah, menggantikan Suhail yang habis masa amanahnya pada awal tahun 2021. Suhail sendiri saat ini diamanahi sebagai Ketua DPW Hidayatullah Propinsi Bengkulu.

Menurut Samani, tugas para dai yang diterjunkan ke Desa Mengaji sederhana saja.  Mereka harus mengajak masyarakat desa untuk gemar membaca al-Qur'an sekaligus mau mengikuti berbagai taklim di masjid atau mushola desa. Ini tahap awal. Selanjutnya, gerakan ini tak sekadar diselenggarakan di masjid namun bisa juga di rumah-rumah warga.


Jika gerakan belajar al-Qur'an ini sudah terlihat hasilnya, kata Samani lagi, para dai Hidayatullah yang ditugaskan ke Desa Mengaji harus bisa mengkader. Artinya, mereka juga harus bisa menjadikan beberapa warga di desa tersebut sebagai calon guru mengaji (muallim) yang kelak akan menggantikan tugas para dai ini mengajar mengaji di desanya.

Jadi, pada saatnya nanti, jelas Samani, masyarakat di Desa Mengaji bisa mandiri dalam menjalankan program belajar dan mengajar al-Qur'an, baik di masjid atau di rumah. Tugas para dai Hidayatullah adalah mengkondisikan agar hal tersebut terjadi.

Menurut Shohibul Anwar, Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah, jika program Desa Mengaji sudah berjalan baik, maka masyarakat di desa tersebut harus siap-siap mengembangkan lagi desanya menjadi pesantren masyarakat. 

Dalam tahap ini, kata Shohibul, fungsi masjid harus diperluas. Bukan lagi sekadar tempat belajar dan mengajar al-Qur'an, namun juga pusat pemberdayaan masyarakat. Masjid akan menjadi pusat pelatihan wira usaha, kepemimpinan, juga peningkatan skill.

Istilah "pesantren masyarakat" sebetulnya tak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya. Hanya saja, jelas Shohibul, bila pesantren yang biasa dikenal masyarakat dibatasi oleh gedung, kelas-kelas, serta sejumlah aturan yang membatasi para santri, maka pesantren masyarakat tidak seperti itu. Pusat kegiatan pesantren ada di masjid dan aturannya tidak seketat pesantren pada umumnya. Adapun materi yang diajarkan mirip.

Mengapa harus sama seperti pesantren? Sebab, kata Shohibul, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan berperan besar dalam perjuangan dan pembangunan bangsa. Dalam sejarahnya yang panjang, pesantren senantiasa memberikan konstribusi terbaik dalam berbagai aspek kehidupan. 

Di masa kolonial, kaum santri ikut berperang melawan penjajah. Menjelang kemerdekaan, kaum santri terlibat dalam merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang di antaranya melahirkan piagam Jakarta. 

Di masa awal kemerdekaan, kaum santri kembali berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat ini, di masa kemerdekaan, pesantren terus berkembang dengan mengangkat program-program pembangunan masyarakat. Bermunculanlah pesantren-pesantren yang memasukkan pengajaran ketrampilan dalam berbagai bidang kehidupan seperti peternakan, pertanian, kerajinan, perdagangan, bahkan teknologi informasi.

Dalam sejarahnya, ungkap Shohibul, pesantren selalu menyatu dengan masyarakat. Ia hadir di tengah-tengah masyarakat, hidup bersama masyarakat, bahkan menjadi rujukan masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan ekonomi, keluarga, pendidikan, sosial, dan budaya.

"Seringkali pesantren lebih dipercaya dan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat dibandingkan instansi-instansi resmi," turur Shohibul kepada penulis.


Pesantren berbasis masyarakat yang sedang diterapkan di Desa Cibuntu dengan diawali oleh program Desa Mengaji pada prinsipnya sama seperti itu. Model penyelenggaraannya bertumpu pada prinsip ”dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.”  

Artinya, kata Shohibul, pesantren masyarakat harus berakar dari masyarakat, berorientasi pada pengembangan masyarakat, dan untuk menjawab kebutuhan masyakarat.  

Karena itu, pesantren masyarakat kelak harus memiliki otonomi dan kemandirian dalam hal penerapan kewenangan mengatur ke mana dan bagaimana arah dan pengembangan pesantren, menyusun bangunan kurikulum pendidikan dan proses belajar mengajar, mengelola dan menetapkan struktur kepengurusan, tenaga pengajar, pembimbing, dan pengasuh pesantren, serta pemenuhan kebutuhan dana dengan memanfaatkan potensi internal maupun bekerja sama dengan lembaga ZIS setempat.

Konsep pesantren masyarakat memungkinkan penerapan pendidikan yang utuh dan komprehensif. Sebab, ia mengintegrasikan banyak aspek. Mulai dari kurikulum antara ilmu-ilmu kauniyah seperti sains, bahasa, pertanian, atau perdagangan; ilmu-ilmu syar’iyyah seperti Al-Qur’an, Hadits, atau Fiqih; hingga metode dan proses pendidikannya.

Shohibul menilai, Desa Cibuntu sangat berpotensi untuk menjadi pesantren masyarakat. Sebab, desa ini memiliki banyak keunggulan. Kondisi alamnya yang indah dan subur, para pemimpinnya yang disegani, kehidupan sosial masyarakat yang baik, ramah, dan menjaga kebersamaan, penataan infrastruktur dan tatakelola desa yang bagus, potensi ekonomi yang baik, mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata. 

Harapannya kelak masyarakat Cibuntu akan tumbuh menjadi masyarakat yang mencintai Al-Qur’an, bersedia mengamalkan dan mengajarkannya, mau memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk dirinya, orang lain, serta alam semesta. Pada akhirnya, kata Shohibul, akan terbangun modal sosial yang kokoh untuk melahirkan kemandirian dan kedaulatan desa-desa melalui pendidikan, dakwah. dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Memang, jalan yang harus dilalui hingga sampai pada tahap tersebut bukanlah jalan yang mudah. Sebab fakta di lapangan terkadang tak sesederhana teori di atas kertas. Namun, Shohibul menyadari bahwa jalan kebaikan tak akan pernah mudah. Karena itu perlu kesabaran, semangat untuk istiqomah, dan doa yang selalu dimunajatkan.  
 
Semoga Allah Ta'ala meridhoi segala ikhtiar para dai ini. Aamiin. ****

Catatan
1. Artikel ini diterbitkan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2022)
2. Anda bisa melihat keindahan Desa Cibuntu di video berikut: Cibuntu, Kaki Gunung Ciremai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat