Tulisan kedua dari lima artikel |
Abdullah Said berpendapat, penyusupan seperti ini amat berbahaya. Hanya organisasi yang memiliki ikatan emosional yang kuat saja yang bisa membendungnya. Dan, ikatan emosional yang kuat hanya bisa dibentuk dari kegiatan pengkaderan.
Namun, wadah pengkaderan tersebut bukan seperti trening centre di mana orang akan datang dan pergi. Wadah tersebut harus berwujud perkampungan di mana orang-orang akan menetap.
Bahkan, menurut Abdullah Said, di perkampungan itulah syariat Islam bisa ditegakkan secara baik sebagaimana perkampungan yang dibangun oleh Sheikh Sidi Abdullah di Desa Syanggit, Libya.
Cita-cita membangun perkampungan seperti ini sebenarnya pernah pula dilontarkan oleh KH Mas Mansur saat Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Di kongres itu, Mas Mansur bercerita panjang lebar tentang lembaga pendidikan yang dilihatnya di Syanggit, desa yang sama dengan apa yang diidam-idamkan oleh Abdullah Said.
"Mungkinkah Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan seperti itu?" tanya Mas Mansur kepada peserta kongres saat itu.
Usulan Mas Mansyur ternyata disetujui oleh kongres. Namun, wujudnya tidak sama dengan apa yang diusulkan Mas Mansur. Lembaga pendidikan yang dibuat berbentuk Perguruan Tinggi Islam (Universitas Muhammadiyah) sesuai usulan Konsul Muhammadiyah Surakarta, Mulyadi Joyomartono.
Belajar dari kisah Mas Mansur ini, Abdullah Said sadar bahwa tak mudah mewujudkan rencana yang ia cita-citakan. Keadaan di Syanggit berbeda dengan di Indonesia. Syeikh Sidi, pemilik Syanggit, adalah orang kaya. Ia menyumbangkan semua hartanya untuk perjuangan, bukan meminta sumbangan dari orang lain. Di Indoensia, figur seperti ini sangat sulit dijumpai ketika itu.
Namun, tekad Abdullah Said sudah bulat. Ia memang bukan saudagar kaya sebagaimana Syeikh Sidi. Ia hanya punya semangat dan keyakinan bahwa Allah Ta'ala akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama-Nya. Ia juga rela hidup sederhana.
Rupanya, jalan yang harus ia tempuh untuk mewujudkan cita-cita ini tak mudah. Gelombang kehidupan yang awalnya hanya berupa riak-riak kecil, memaksanya untuk meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi Selatan. Di penghujung tahun 1969, ia hijrah ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Inilah skenario Allah Ta'ala yang terbaik. Justru di tempat hijrah inilah ia semakin dekat dengan cita-cita itu.
Tiba di Balikpapan, setiap hari Abdullah Said mengamati kehidupan beragama masyarakat di sana. Yang ia dapati hanya kegersangan. Masyarakat terlalu jauh tenggelam dalam kehidupan yang hedonis. Anak-anak muda lebih tertarik kepada materi ketimbang urusan akhirat. Kota Minyak itu terasa panas.
Dari pengamatan itu, Abdullah Said mulai berpikir tentang cara mencetak kader. Ia sadar, cita-citanya membangun sebuah kampung pengkaderan tak bisa dilakukan sendirian. Ia perlu "pasukan" yang siap mengorbankan dirinya untuk berjuang di jalan Allah Ta'ala.
Lantas, bagaimana cara merekrut anak-anak muda di sana? Abdullah Said yang pernah bergelut di organisasi Muhammadiyah itu memutuskan untuk menggunakan metoda pelatihan (training)
Namun, metoda ini hanya sekadar cara untuk merekrut kader. Cita-cita Abdullah Said tetap ingin membangun sebuah kampung pengkaderan, bukan sekadar membangun sebuah pusat pelatihan (training center).
Rupanya, kepiawaian berceramah yang diberikan Allah Ta'ala kepada Abdullah Said menjadikan ia tak merasa sulit mengajak anak-anak muda tersebut bergabung bersamanya. Hanya saja, Abdullah Said merasa itu saja belum cukup. Ia masih harus mengajak sejumlah anak muda berpengalaman dari Tanah Jawa untuk ikut berjuang bersamanya di sini.
Lagi-lagi, Allah Ta'ala memberi jalan kemudahan baginya. Tercatatlah sejumlah nama seperti Hasan Ibrahim, santri Pesantren Krapyak yang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, Muhammad Hasyim HS, yang pernah nyantri di Pondok Modern Gontor, dan Muhammad Nazir Hasan yang ketika itu juga sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, Mereka semua bersedia membantu Abdullah Said mewujudkan impiannya membangun kampung perkaderan di Balikpapan.
Tanggal 1 Muharram 1393 Hijriyah atau 5 Februari 1973, Allah Ta'ala menganugerahkan kepada Abdullah Said sebuah tempat di Karang Bugis, Kalimantan Timur, yang kemudian menjadi sebuah pesantren dan diberinama Hidayatullah.
Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Hidayatullah meskipun pusat pembinaan kemudian dipindahkan dari Karang Bugis ke Gunung Tembak pada 1976. Dari Gunung Tembak inilah justru cerita tentang Hidayatullah dimulai.
Tekad untuk mewujudkan cita-cita membangun sebuah kampung perkaderan semakin menguat ketika Abdullah Said mendapat suntikan semangat dari Buya Hamka saat berkunjung ke Balikpapan. "Teruskan usaha ini Nak. Ini adalah usaha yang mulia," ujar Buya Hamka sambil menepuk-nepuk bahu Abdullah Said.
Namun, wadah pengkaderan tersebut bukan seperti trening centre di mana orang akan datang dan pergi. Wadah tersebut harus berwujud perkampungan di mana orang-orang akan menetap.
Bahkan, menurut Abdullah Said, di perkampungan itulah syariat Islam bisa ditegakkan secara baik sebagaimana perkampungan yang dibangun oleh Sheikh Sidi Abdullah di Desa Syanggit, Libya.
Cita-cita membangun perkampungan seperti ini sebenarnya pernah pula dilontarkan oleh KH Mas Mansur saat Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941. Di kongres itu, Mas Mansur bercerita panjang lebar tentang lembaga pendidikan yang dilihatnya di Syanggit, desa yang sama dengan apa yang diidam-idamkan oleh Abdullah Said.
"Mungkinkah Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan seperti itu?" tanya Mas Mansur kepada peserta kongres saat itu.
Usulan Mas Mansyur ternyata disetujui oleh kongres. Namun, wujudnya tidak sama dengan apa yang diusulkan Mas Mansur. Lembaga pendidikan yang dibuat berbentuk Perguruan Tinggi Islam (Universitas Muhammadiyah) sesuai usulan Konsul Muhammadiyah Surakarta, Mulyadi Joyomartono.
Belajar dari kisah Mas Mansur ini, Abdullah Said sadar bahwa tak mudah mewujudkan rencana yang ia cita-citakan. Keadaan di Syanggit berbeda dengan di Indonesia. Syeikh Sidi, pemilik Syanggit, adalah orang kaya. Ia menyumbangkan semua hartanya untuk perjuangan, bukan meminta sumbangan dari orang lain. Di Indoensia, figur seperti ini sangat sulit dijumpai ketika itu.
Namun, tekad Abdullah Said sudah bulat. Ia memang bukan saudagar kaya sebagaimana Syeikh Sidi. Ia hanya punya semangat dan keyakinan bahwa Allah Ta'ala akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama-Nya. Ia juga rela hidup sederhana.
Rupanya, jalan yang harus ia tempuh untuk mewujudkan cita-cita ini tak mudah. Gelombang kehidupan yang awalnya hanya berupa riak-riak kecil, memaksanya untuk meninggalkan kampung halamannya di Sulawesi Selatan. Di penghujung tahun 1969, ia hijrah ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Inilah skenario Allah Ta'ala yang terbaik. Justru di tempat hijrah inilah ia semakin dekat dengan cita-cita itu.
Tiba di Balikpapan, setiap hari Abdullah Said mengamati kehidupan beragama masyarakat di sana. Yang ia dapati hanya kegersangan. Masyarakat terlalu jauh tenggelam dalam kehidupan yang hedonis. Anak-anak muda lebih tertarik kepada materi ketimbang urusan akhirat. Kota Minyak itu terasa panas.
Dari pengamatan itu, Abdullah Said mulai berpikir tentang cara mencetak kader. Ia sadar, cita-citanya membangun sebuah kampung pengkaderan tak bisa dilakukan sendirian. Ia perlu "pasukan" yang siap mengorbankan dirinya untuk berjuang di jalan Allah Ta'ala.
Lantas, bagaimana cara merekrut anak-anak muda di sana? Abdullah Said yang pernah bergelut di organisasi Muhammadiyah itu memutuskan untuk menggunakan metoda pelatihan (training)
Namun, metoda ini hanya sekadar cara untuk merekrut kader. Cita-cita Abdullah Said tetap ingin membangun sebuah kampung pengkaderan, bukan sekadar membangun sebuah pusat pelatihan (training center).
Rupanya, kepiawaian berceramah yang diberikan Allah Ta'ala kepada Abdullah Said menjadikan ia tak merasa sulit mengajak anak-anak muda tersebut bergabung bersamanya. Hanya saja, Abdullah Said merasa itu saja belum cukup. Ia masih harus mengajak sejumlah anak muda berpengalaman dari Tanah Jawa untuk ikut berjuang bersamanya di sini.
Lagi-lagi, Allah Ta'ala memberi jalan kemudahan baginya. Tercatatlah sejumlah nama seperti Hasan Ibrahim, santri Pesantren Krapyak yang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, Muhammad Hasyim HS, yang pernah nyantri di Pondok Modern Gontor, dan Muhammad Nazir Hasan yang ketika itu juga sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, Mereka semua bersedia membantu Abdullah Said mewujudkan impiannya membangun kampung perkaderan di Balikpapan.
Tanggal 1 Muharram 1393 Hijriyah atau 5 Februari 1973, Allah Ta'ala menganugerahkan kepada Abdullah Said sebuah tempat di Karang Bugis, Kalimantan Timur, yang kemudian menjadi sebuah pesantren dan diberinama Hidayatullah.
Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Hidayatullah meskipun pusat pembinaan kemudian dipindahkan dari Karang Bugis ke Gunung Tembak pada 1976. Dari Gunung Tembak inilah justru cerita tentang Hidayatullah dimulai.
Tekad untuk mewujudkan cita-cita membangun sebuah kampung perkaderan semakin menguat ketika Abdullah Said mendapat suntikan semangat dari Buya Hamka saat berkunjung ke Balikpapan. "Teruskan usaha ini Nak. Ini adalah usaha yang mulia," ujar Buya Hamka sambil menepuk-nepuk bahu Abdullah Said.
Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, cita-cita Abdullah Said bukan lagi sekadar membangun kampung perkaderan, namun membangun peradaban Islam. Cita-cita ini tertulis jelas dalam visi organisasi Hidayatullah yang dirumuskan kemudian. *** (Bersambung)
Silahkan baca kelanjutan atikel ini pada link Kampus Ber-Qur'an Itu Bernama Hidayatullah
Baca artikel sebelumnya Dari Syanggit ke Balikpapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat