Jumat, 08 November 2013

Jam Kematian

“Kematian melecehkan dunia dan tidak menyisakan kesenangan bagi orang yang berakal. Selagi seseorang mengharuskan hatinya untuk mengingat mati, maka dunia terasa kecil di matanya dan segala apa yang ada di dalamnya menjadi remeh.” (Hasan al-Bashri)

ILUSTRASI

Jam tangan ini amat unik. Bila kebanyakan jam tangan menunjukkan waktu yang bergerak maju, maka pada jam yang dibuat Fredrik Colting asal Swedia ini berjalan mundur. Terdapat angka yang menunjukkan tahun, bulan, tanggal, jam, menit, dan detik yang kesemuanya berjalan mundur.

Lho kok bisa ada jam seperti itu? Daily Mail, pada awal Oktober 2013 lalu mengabarkan, jam tersebut dibuat untuk mengingatkan pemakainya akan kematian. Jadi, si pemakai telah diprediksi kapan waktu kematiannya berdasarkan catatan kesehatannya dan catatan kebiasaannya. Dari waktu kematian inilah patokan hitungan mundur dilakukan.

Jam tersebut, oleh penemunya, diberi nama Tikker. Artinya, “Jam Kebahagiaan.” Namun, media massa lebih suka menyebutnya “Jam Kematian”, karena memang jam ini mengingatkan sisa usia kita.

Sayang sekali jam ini belum dipasarkan dalam waktu dekat. Konon, jam ini baru akan diproduksi secara masal dan dijual pada April 2014. Harganya tak terlalu mahal. Cuma Rp 680 ribu.

Tentu kita menjadi penasaran, seberapa banyak pembeli jam ini kelak? Sebab, kita menjadi ingin tahu apakah banyak masyarakat Eropa, bahkan dunia, yang merasa khawatir dengan kematian? 

Mengapa pula mereka takut kepada kematian? Apakah sekadar karena kematian akan menghentikan seluruh kenikmatan dunia yang telah dan akan mereka raih? Atau, lebih dari sekadar itu, mereka amat takut kepada siksa Yang Maha Penyiksa (al-Muntaqim) setelah kematian?

Bila berkaca dari masyarakat Indonesia saat ini, amat banyak orang yang tak takut pada kematian.  Lihatlah angka korupsi di negara ini. Berdasarkan data Biro Perencanaan Kejaksaan Agung, penanganan perkara korupsi di Indonesia mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara per tahun.  Yang terheboh tentu saja peristiwa tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi oleh petugas KPK belum lama ini. 

Ini baru kasus yang ditangani. Jumlah kasus yang tidak ditangani dan tidak diketahui tentu jauh lebih banyak lagi.  Tak heran bila Indonesia membukukan predikat sebagai negara peringkat kedua jumlah kasus korupsi terbesar di dunia.

Lihat pula angka kriminalitas. Jumlahnya jauh melebihi kasus korupsi. Di Jakarta Timur saja, misalnya, selama enam bulan, jumlah kriminalitas yang tercatat di kepolisian mencapai 1.111 kasus. Belum lagi di daerah-daerah lain.

Nah, bila kita masukkan jumlah pelanggar syariat di negara ini maka angkanya langsung menggelembung amat besar, baik dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan. 

Melihat keadaan ini, rasanya “pengingat kematian” bisa menjadi solusi mengatasinya. Namun, tentu saja bukan Tikker buatan Fredrik Colting.  Pengingat kematian itu, menurut  Islam, amat banyak. Ziarah kubur, salah satunya. Uban yang tumbuh di kepala atau muncul di sela-sela janggut, juga pengingat kematian. Begitu pun ayat-ayat Qur'an yang selalu kita baca dalam shalat.

Kematian, bagi Islam, bukan sekadar putusnya kenikmatan dunia dan berpisahnya kita dengan orang-orang terkasih. Jika hanya sekadar itu maka kematian tak akan terlalu menakutkan. 

Namun, mengimani kepedihan yang tak terbayangkan di akhirat kelak akan memaksa kita untuk mengingat kematian sesering mungkin. Tak perlu Tikker yang menghitung jeda kematian kita terlalu lama. Kematian boleh jadi mendatangi kita hanya berselang beberapa menit ke depan. Siapa tahu?

(Dipublikasikan Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2013)