Tulisan ketiga dari lima artikel |
Maa anta bini'mati rabbika bi majnuun (al-Qolam [68]: 2).
Dengan karunia Tuhanmu (al-Qur'an), engkau (Muhammad) bukanlah orang gila.
Ayat ini menjadi salah satu inspirasi Abdullah Said saat membangun sebuah perkampungan pengkaderan di Gunung Tembak, Kalimantan Timur.
Abdullah Said meyakini bahwa manusia ber-Qur'an bukanlah orang gila meskipun banyak orang yang masih menganggap asing orang-orang tersebut. Abdullah Said ingin membuktikan kebenaran ayat tersebut lewat sebuah perkampungan kecil yang biasa ia sebut "kampus". Dan, kampus ber-Qur'an tersebut bernama Hidayatullah.
Yang menarik, orang-orang yang tinggal di kampus ini tidak semata belajar membaca al-Qur'an, namun juga belajar menerapkan al-Qur'an. Ini diakui oleh Syamsurijal Palu, salah seorang perintis Hidayatullah, dalam acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah di Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau, pada Juni 2015.
"Sebelum bergabung dengan Hidayatullah, saya telah sering mempelajari al-Qur'an. Namun, ketika itu, saya merasa ada yang kurang. Saya merasa baru mempelajari al-Qur'an, tetapi belum ber-Qur'an. Di Kampus Hidayatullah, saya baru mengalami proses ber-Qur'an.," jelas Syamsurijal.
Ia juga mengaku amat percaya diri setelah bergabung dengan Hidayatullah. "Terasa sekali Allah memberikan garansi yang membuat kita tak merasa rendah, apalagi hina dan takut, di hadapan manusia," kata Syamsurijal lagi.
Ketika itu, masih banyak masyarakat yang menganggap apa yang dilakukan Abdullah Said dan rekan-rekannya sebagai pekerjaan gila. Namun, Abdullah Said tak mempedulikannya. Ia, Syamsurijal, dan kader Hidayatullah lainnya, terus saja berdakwah dan membangun kampus. "Bukankah dulu Rasulullah juga dianggap gila?" kata Syamsurijal mengutip perkataan Abdullah Said saat membesarkan hati mereka.
Justru sebaliknya, kata Abdullah Said lagi, orang-orang yang tinggal di Kampus Hidayatullah tak akan merasa gila. Sebab, jadwal hidup mereka sudah diatur sesuai dengan aturan Sang Pencipta, termasuk cara berpakaian, bergaul antara pria dan wanita, bekerja, dan bermuamalah.
Bahkan, di kampus Hidayatullah, pernikahan akan dimudahkan. Ini terbukti dengan diselenggarakannya pernikahan massal ---atau pernikahan mubarokah--- di kampus ini. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Pernikahan masal pertama diselenggarakan pada 6 Maret 1977, diikuti oleh 2 pasang kader. Yang terbesar pada 1997, diikuti oleh 100 pasang kader.
Buat sebagian orang, menjalani kehidupan ber-Qur'an mungkin tidak mudah. Namun, Abdullah Said meyakini, bila sudah terbiasa akan terasa mudah. Dalam beberapa ceramah, Abdullah Said sering menganalogikan mudahnya hidup ber-Qur'an dengan kebiasaan memakan tempe dan ikan.
Orang Jawa, kata Abdullah Said, suka sekali makan tempe. Sebab, sejak lahir, mereka sudah terbiasa dengan tempe. Setiap hari mereka mendengarnya, melihatnya, lalu memakannya, bahkan menjadikannya santapan utama. Ini berbeda dengan orang Bugis yang sejak kecil sudah diperkenalkan dengan ikan. Setiap hari mereka sudah terbiasa menyantap ikan. Bahkan mereka merasa ada yang kurang jika tak ada ikan yang yang tersaji.
Demikian pula al-Qur'an. "Kalau sejak bangun tidur sudah al-Qur'an yang dibaca dan dibicarakan, akhirnya al-Qur'anlah yang akan lengket di otak dan di perasaan kita," kata Abdullah Said dalam buku Mencetak Kader karya Mansyur Salbu. Bahkan, orang yang sudah demikian akrab dengan al-Qur'an akan merasa sia-sia hidup tanpa Qur'an. "Kalau bukan karena itu, yakni untuk membangun peradaban Islami berlandaskan al-Qur'an, buat apa kita berpayah-payah menekuni pekerjaan ini," kata Abdullah Said lagi.
Namun, bukan berarti tak ada kader yang goncang dan menyerah. Terhadap kader yang demikian, Abdullah Said biasanya memberi nasehat, "Saya telah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Anda tentang prospek di lembaga perjuangan ini. Bahasa Indonesia terlalu miskin untuk mengungkapkan apa yang semestinya dijelaskan untuk meyakinkan Anda. Maka, berangkatlah Anda mencari tempat yang lebih bagus dari tempat ini. Kalau Anda telah menemukannya, segeralah memberi informasi kepada kami. Insya Allah kita akan berlomba-lomba menuju tempat itu."
Penyakit Thagha
Di awal perintisan Hidayatullah, Abdullah Said amat mengkhawatirkan berjangkitnya penyakit thagha (melampaui batas) pada diri kadernya. Karena itu, kata Hasan Ibrahim, salah seorang pendiri Hidayatullah saat memberi ceramah itiqaf di Masjid Baitul Karim, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, pada September 2010, rumah para penghuni kampus di Gunung Tembak sama. "Tak boleh ada yang lebih mencolok dibanding yang lain," kata Hasan Ibrahim.
Keadaan ekonomi warga Hidayatullah ketika itu juga nyaris sama. Tidak ada yang memiliki motor. Semua menggunakan sepeda. Bahkan, kata Hasan Ibrahim lagi, saking khawatirnya Abdullah Said dengan penyakit thagha ini, ia pernah menegur salah seorang penghuni kampus yang mengecat rumahnya.
"Dia diceramahi lama sekali. Dia diingatkan agar tidak terjangkiti penyakit meterialis, cinta dunia. Sebab, akan juga dijangkiti penyakit takut mati," cerita Hasan lagi.
Kesamaan ini tak sekadar terlihat pada kondisi ekonomi. Dalam hal berpakaian pun, warga Hidayatullah di Gunung Tembak nyaris sama. Semua laki-laki berpakaian koko putih dan berkopiah, sedang perempuan berjilbab lebar. Ini menjadi ciri sangat khas kader Hidayatullah pada masa itu.
Pengikisan penyakit thagha juga dilakukan dengan cara menempatkan para kader yang mulai banyak bergabung di kampus Hidayatullah pada posisi yang kontradiktif dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sebelumnya. Mereka dilatih untuk beramal tanpa terbebani oleh status dan jabatan sebelumnya. Mereka mengisi bak wadhu, bak mandi, membajak sawah, menggali empang, membantu tukang, mencari donatur, dan lain-lain.
Amal-amal seperti ini, selain akan mengikis perasaan sombong, juga akan menjadi cerita yang indah bagi para kader kelak. Bahkan, mereka juga tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang siap ditugaskan berdakwah ke manapun juga. Beginilah cara Abdullah Said membangun perkampungan pengkaderan yang dulu dicita-citakannya. Perkampungan berbentuk kampus itu kian lama kian membesar karena dukungan dan partisipasi masyarakat di Balikpapan. Luas kampus bahkan sudah mencapai 120 hektar.
Sebuah masjid besar bernama Ar-Riyadh juga berdiri kokoh di kampus ini. Bahkan, masjid ini adalah bangunan pertama yang dibangun Abdullah Said, dan menjadi bangunan pertama juga yang akan Anda saksikan manakala Anda memasuki kawasan kampus.
Kawasan putri terpisah dengan kawasan putra. Dinding pemisahnya berupa pagar kayu setinggi 1.5 meter, memanjang ke belakang dan melingkar, tertutup dari luar. Di tengah-tengah kampus ada danau buatan sebagai resapan air bagi kawasan Desa Gunung Tembak. Lalu, di belakangnya lagi ada ladang tempat para santri bercocok tanam.
Selamat datang di Kampus Perjuangan, Hidayatullah Gunung Tembak, kampus pengkaderan, kampus ber-Qur'an. *** (Bersambung)
Silahkan baca kelanjutan artikel ini pada link Dari Gunung Tembak Menyebar ke Nusantara
Baca artikel sebelumnya Tempat Hijrah yang Menjadi Tonggak Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat