Sabtu, 02 September 2023

Sejarah Majalah Suara Hidayatullah

Cikal bakal Majalah Suara Hidayatullah dimulai tahun 1982, yakni ketika Abdullah Said meminta dibuatkan buletin dengan nama Genderang Kebangkitan Islam. Buletin ini berisi transkrip rekaman ceramah Abdullah Said yang disampaikan setiap malam Jumat.

Majalah Suara Hidayatullah

"(Media cetak) tidak memerlukan alat (canggih) seperti radio dan televisi, dapat masuk langsung ke kamar-kamar orang, dibaca sambil (ber)baring, menyampaikan pesan kapan dan di mana saja kepada pembacanya," kata Abdullah Said pada waktu itu.

Kemudian, ketika Menteri Penerangan RI yang ketika itu dijabat Harmoko bertandang ke Pesantren Hidayatullah di Karang Bugis, Kalimantan Timur, pada 22 Mei 1986, buletin-buletin ini diperlihatkan kepadanya. Pada kesempatan itu Abdullah Said juga meminta rekomendasi kepada Harmoko untuk segera diberi Surat Tanda Terdaftar (STT).

Tapi setelah itu, surat yang diminta tak kunjung terbit. Padahal, beberapa pengurus Hidayatullah telah menindaklanjuti ke Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Penerangan Kalimantan Timur (Kaltim). Rupanya, proses penerbitan STT tidak semudah yang dibayangkan. Banyak sekali aturan yang harus dipenuhi. 

Meski demikian, Abdullah Said tak kehilangan semangat. ”Kita gencarkan saja doa. Betapa pun ketatnya peraturan yang mereka buat, kalau doa kita berhasil menyentuh ‘arasy,  mereka tidak dapat berbuat apa-apa," ungkap Abdullah Said ketika itu. 

Rupanya, doa-doa ini Allah Ta'ala kabulkan. Tahun 1987, keluarlah surat rekomendasi dari Kanwil Departemen Penerangan Kaltim dan Kanwil Sospol Kaltim. Dengan demikian, Majalah Suara Hidayatullah telah bisa diterbitkan. Ukurannya ketika itu masih kecil dan hanya diedarkan di kalangan terbatas.

Ada beberapa arahan Abdullah Said soal isi. Pertama, memberi gambaran bahwa semua yang dikerjakan di Hidayatullah adalah dalam koridor perjuangan. Kedua, harus tersampaikan kepada pembaca bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah sesuatu yang sangat prinsip dan telah dibuktikan lewat pengalaman. Ketiga, kerja Hidayatullah bersifat konsepsional, bukan serabutan. Keempat, semua sektor kegiatan tidak boleh lepas dari sistem perkaderan. 

Setelah majalah ini terbit, rupanya Abdullah Said merasa kurang puas. Beliau ingin majalah ini menyerupai majalah-majalah nasional yang kala itu beredar di Indonesia. Karena itu, amanah menerbitkan Majalah Suara Hidayatullah beliau alihkan kepada kader-kader di Surabaya, Jawa Timur. Alasannya, di kota ini banyak percetakan yang mampu menghasilkan produk media yang berkualitas.

Tak tanggung-tanggung, Abdullah Said mengirimkan modal awal sebesar Rp 5 juta kepada tim yang beliau tunjuk di Surabaya. Modal sebesar itu, untuk tahun 1988, tentu tidak sedikit. Terlebih bagi kader-kader Hidayatullah yang baru merintis di berbagai wilayah. 

Namun, dana sebesar itu, untuk menerbitkan sebuah media, masih belum cukup. Kalau pun dipaksakan, hanya bisa menerbitkan satu edisi saja. Syukurlah, ketika Majalah Suara Hidayatullah edisi perdana pasca pengalihan ini terbit pada 10 Mei 1988, semua habis terjual. Jumlah cetak ketika itu 5 ribu eksemplar dan dijual seharga Rp 1.500. Bahkan, pada pencetakan berikutnya, oplah terus bertambah dan semua habis diserap oleh masyarakat.

Para kader Hidayatullah di seluruh Indonesia sangat bersemangat mengedarkan Majalah Suara Hidayatullah. Mereka rela berjalan kaki atau mengayuh sepede hingga puluhan kilometer hanya untuk menyampaikan majalah ini ke tangan pembacanya. Mereka meyakini bahwa menyampaikan Majalah Suara Hidayatullah kepada masyarakat sama nilainya dengan berdakwah di atas mimbar masjid. 

Lewat majalah ini, para kader tidak perlu lagi berbicara panjang lebar tentang Hidayatullah dan kiprahnya. Mereka cukup menyerahkan majalah ini kepada para tokoh, pejabat, pengusaha, atau masyarakat luas maka otomatis sasaran dakwah akan mendapat banyak informasi tentang Pesantren Hidayatullah. 

Karena itu, pada saat kader-kader Hidayatullah melakukan kunjungan ke berbagai instansi dan lembaga, Majalah Suara Hidayatullah selalu dijadikan oleh-oleh andalan. Para kader Hidayatullah juga merasa percaya diri tampil di tengah masyarakat dengan membawa majalah ini. Sebab, isi dan manajemen pengelolaannya sudah bagus. Banyak masyarakat yang bersimpati setelah membaca majalah ini, bahkan berlanjut dengan penyaluran bantuan ke Hidayatullah. 

Majalah Suara Hidayatullah juga menjadi salah satu sumber ekonomi bagi dai saat merintis pendirian Pesantren Hidayatullah di berbagai wilayah. Biasanya, para perintis ini mendapatkan potongan harga khusus dari pengelola, bahkan kerap juga dibekalah majalah-majalah lama secara cuma-cuma. 

Awalnya, majalah ini dijual untuk sekadar menyambung hidup para dai di wilayah dakwahnya. Namun, Allah Ta'ala justru menjadikan majalah ini sebagai wasilah bagi para dai untuk bertemu para muhsinin yang akan menopang semua biaya dakwah mereka.

Selain itu, Majalah Suara Hidayatullah menjadi media rekrutmen anggota baru Hidayatullah. Banyak masyarakat yang tertarik menjadi santri atau kader Hidayatullah setelah membaca majalah ini.

Bahkan, Majalah Suara Hidayatullah menjadi sarana untuk membangun arus dakwah yang baru. Ini karena isi majalah Suara Hidayatullah bukan mengikuti trend masyarakat, tapi berusaha membuat arus baru. Majalah ini juga menjadi sistem penjelas tentang misi dakwah yang diemban oleh para kader Hidayatullah.

Pada Maret 1994, pengelola Majalah Suara Hidayatullah membuka kantor perwakilan di Jakarta, tepatnya di jalan Porselin, Jakarta Timur. Pembukaan kantor perwakilan ini menjadi penting karena majalah ini tidak sekadar menyajikan hal-hal terkait ke-Hidayatullah-an, namun juga isu-isu nasional dan internasional terkait Islam dan kaum Muslim. 

Pada Desember 1995, oplah Majalah Suara Hidayatullah mencapai puncaknya, yakni 70 ribu eksemplar per bulan dengan harga Rp 3.500 per eksemplar. Tak banyak majalah Islam saat itu yang mampu memproduksi dengan jumlah sebanyak itu. Majalah Suara Hidayatullah, dengan dukungan semua kader Hidayatullah di seluruh Indonesia, alhamdulillah bisa mewujudkannya. Bahkan, dalam perjalanan waktu, majalah ini dicetak sendiri oleh perusahaan yang menerbitkan Suara Hidayatullah. 

Pada tahun 1996, Majalah Suara Hidayatullah memiliki situs di internet yang menjadi cikal bakal berdirinya situs www.hidayatullah.com. Dengan demikian, majalah ini menjadi majalah Islam pertama di Indonesia yang memiliki situs di internet. 

Hadirnya situs ini membuat gerakan dakwah Hidayatullah lewat media semakin gencar, disamping profesionalime kerja para jurnalis semakin baik. Ini terbukti pada tahun 1999 situs ini telah dinobatkan oleh Master Web Indonesia (www.master.web. id) sebagai salah satu situs portal Indonesia terbaik. 

Pada Maret 1999, Majalah Suara Hidayatullah yang tadinya hanya mengantongi Surat Tanda Terdaftar (STT), berhasil mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yaitu No 1105/SK/Menpen/SIUPP/1999.

Kerja-kerja jurnalistik para pengelola Majalah Suara Hidayatullah dan Hidayatullah.com semakin lama semakin diakui oleh pihak eksternal. Pada tahun 2010, misalnya, wartawan media ini mendapat penghargaan sebagai jurnalis terbaik oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atas keberaniannya ikut dalam pelayaran kapal Mavi Marmara menuju peraiaran Gaza, Palestina.

Sebelumnya, pada September 2006, wartawan media ini berhasil mewawancarai secara ekslusif salah seorang petinggi Hamas, Palestina, Khalid Misyal. Ia menjadi wartawan pertama Indonesia yang berhasil melakukan wawancara dengan pemimpin Hamas tersebut di markasnya di Suriah. 

Selain itu, pada 2019, media Hidayatullah mendapat 212 Award bersama sejumlah media nasional seperti Republika dan TV One. Ini semua menjadi catatan sejarah bahwa Hidayatullah telah mampu berkiprah di bidang media, tak hanya sebagai alat dakwah, namun juga sebagai bagian dari perjuangan menegakkan opini yang benar di tengah masyarakat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat