Jumat, 06 Agustus 2021

Ulama Ikut Berperan Cegah Penyebaran Covid 19

Ketika wabah covid-19 muncul pertama kali di Indonesia awal Maret 2020, Majelis Ulama Indonesia (MUI) langsung mengimbau masyarakat agar berhati-hati terhadap virus ini. Imbauan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Komisi Fatwa MUI yang ketika itu dijabat oleh Dr Asrorun Niam Sholeh dalam konferensi pers di kantor BNPB, Jakarta, pada 19 Maret 2020.


"(Berhati-hati terhadap virus) merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-dharuriyat al-khams)," kata Asrorun Niam ketika itu. Dua pekan sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan bahwa dua warga Indonesia positif terjangkit virus corona.

Meski pada awal Maret 2020 virus ini belum mewabah di Indonesia, namun masyarakat mulai ketakutan. Apalagi pemerintah meminta agar aktivitas keluar rumah dibatasi. Pelaksanaan ibadah Ramadhan dan Syawal yang sudah di depan mata bakal terganggu. MUI Pusat lantas mengeluarkan fatwa No 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah covid-19. Fatwa ini kemudian disusul dengan fatwa soal cara mengurus jenazah pasien covid 19 yang keluar pada akhir Maret 2020.

Dua bulan kemudian, covid-19 kian mewabah di Indonesia, sementara masyarakat mulai merasa jenuh berada di dalam rumah. MUI dan ormas-ormas Islam menggencarkan imbauan agar masyarakat tetap bersabar dan berhati-hati. "Situasi penyebaran Covid-19 masih tinggi dan terus meningkat. (Karena itu) setiap anggota masyarakat harus tetap waspada dengan menjaga diri dan keluarganya masing-masing," jelas Sekretaris Jenderal MUI yang ketika itu dijabat oleh Anwar Abbas dalam siaran persnya pada 11 Juni 2020.

Seruan serupa diungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir. Dalam penjelasannya kepada wartawan pada 18 Agustus 2020, Haedar mengungkapkan bahwa mencegah penularan wabah adalah wujud optimalisasi ikhtiar, bukan bentuk ketakutan, apalagi paranoid. Haedar juga menegaskan bahwa menjaga keselamatan diri dan lingkungan harus diutamakan.

Namun, jangan pula menganggap enteng pandemi ini. "Pandemi covid-19 itu nyata dan bukan maya," ungkap Haedar sebagaimana dikutip Republika.co.id. Karena itu, belajarlah bijak dan berempati, karena menjaga jiwa adalah bagian dari syariat Islam.

Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj. Menurut Kyai Said, sapaan Ketum PBNU, dalam Konser Amal dan Harlah NU ke 95 secara virtual pada 30 Januari 2021, Indonesia tengah berjuang menangani pandemi covid-19. Karena itu ia meminta masyarakat agar menegakkan disiplin menjalankan protokol kesehatan.

"Kepada bapak, ibu, semuanya, bahwa virus corona itu ada, sangat membahayakan, terutama kepada orang yang sudah mempunyai penyakit jantung, diabetes, paru-paru, dan usia lebih dari 50 tahun seperti saya ini," jelas Said Aqil.

Himbauan-himbauan serupa juga diutarakan tokoh-tokoh organisasi Islam lainnya. Ketua Umum DPP Hidayatullah, Dr Nashirul Haq, misalnya, menjelaskan bahwa sejak April 2020, mereka telah mengeluarkan Protokol Krisis guna menghadapi dampak penyebaran covid-19. Protokol tersebut berisi 10 butir, termasuk pentingnya menjaga keimanan dan kebugaran tubuh.

Demikian juga Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII), telah mengeluarkan seruan lewat surat bernomor 002/SU DD/I/1442 H/2021 M. Isinya berupa ajakan kepada seluruh elemen bangsa, khususnya kaum Muslim, untuk bersatu padu mengatasi pandemi covid-19 dengan sungguh-sungguh, termasuk berikhtiar menjalankan protokol kesehatan yang telah dikeluarkan pemerintah.

Organisasi-organisasi Islam lain tak ingin ketinggalan mengeluarkan himbauan serupa, baik secara lisan maupun tertulis, kepada publik. Imbauan-imbauan ini disertai juga dengan keteladanan seperti menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.

Ketika vaksin covid-19 telah ditemukan dan didistribusikan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, muncul kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan dan kehalalan vaksin tersebut. MUI yang sejak awal dilibatkan oleh pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan vaksin ini ikut berperan besar.

Pada Januari 2021, MUI telah mengeluarkan fatwa suci dan halal untuk vaksin Sinovac. Bahkan, keluarnya fatwa ini diikuti oleh pelaksanaan vaksinasi masal untuk seluruh pengurus MUI Pusat, bahkan termasuk anggota keluarganya. Pelaksanaan vaksinasi ini berlangsung awal Maret 2021, dilanjutkan dengan pengurus MUI di semua propinsi di Indonesia. Menurut Sekjen MUI Pusat, Amirsyah Tambunan, program vaksinasi seluruh pengurus MUI adalah bentuk hifdzun nafs (menjaga jiwa) ,serta memberikan contoh yang baik (qudwah hasanah) kepada masyarakat umum.

Demikian pula ketika vaksin astrazeneca masuk ke Indonesia, MUI telah membolehkan meskipun statusnya haram. Menurut Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat, KH Cholil Nafis, pembolehan sesuatu yang haram ini karena situasinya darurat. Artinya, ada keharusan untuk segera mengakhiri situasi tersebut sehingga tidak jatuh korban lebih banyak lagi.

Fatwa-fatwa serupa juga dikeluarkan ormas-ormas Islam. Tujuannya sama, yakni sebagai ikhtiar untuk mengakhiri wabah covid 19. Rais Syuriah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin, misalnya, menyerukan kepada masyarakat, khususnya warga NU, untuk mengikuti program vaksin. Bahkan ia sendiri termasuk dalam tokoh yang menerima vaksin perdana bersama Presiden Joko Widodo. Adapun Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, menegaskan bahwa vaksin merupakan keniscayaan sebagai bagian dari usaha menghadapi covid-19 (www.muhammadiyah.or.id).

DPP Hidayatullah, lewat surat bernomor 26/16/A28/II/2021, membolehkan seluruh kader Hidayatullah untuk divaksin sesuai himbauan pemerintah. Demikian pula DDII, dalam poin ke 3 maklumatnya menyatakan dukungan kepada MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas dan terpercaya untuk mengeluarkan fatwa tentang vaksinasi.

Pengurus Besar Mathla'ul Anwar (PBMA) juga menerbitkan himbauan serupa. Dalam surat bernomor A.370/PBMA/I/2021 yang ditandatangani pada 19 Januari 2021, PBMA menyatakan dukungan kepada keputusan MUI tentang kehalalan vaksin covid-19. Bahkan, mereka juga mengajak kepada warga Mathla'ul Anwar untuk bersungguh-sungguh dan bersatu padu mengatasi pandemi covid-19 ini.

Di masa-masa mendatang, insya Allah, peran ulama untuk mengatasi persoalan-persoalan umat akan terus dirasakan oleh masyarakat. ***


(Artikel ini dimuat juga di Majalah Mimbar, MUI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat