Kamis, 02 Oktober 2014

Nikah Beda Agama

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. (Al Baqarah [2]:221)

Entah apa sesungguhnya yang ada di benak Anbar Jayadi saat mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Pernikahan ke Mahkamah Konstitusi tentang pernikahan beda agama beberapa waktu lalu. Anbar, mahasiswi berjilbab dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menentang undang-undang yang selama ini melarang masyarakat berbeda agama di Negara ini untuk menikah.

Adalah pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang dipersoalkan oleh wanita berusia 21 tahun itu. Ayat tersebut berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."

Menurut Anbar, sebagaimana ia ungkap kepada wartawan di Gedung MK pada Kamis (4/9/2014) sore, UU ini akan memperbanyak warga yang status hukum perkawinannya tidak diakui oleh negara.  Akibatnnya, mereka tak memiliki hak sebagaimana diperoleh kebanyakan keluarga di negara ini, terutama hak untuk mendapat perlindungan hokum bila suatu saat nanti perkawinan mereka menuai masalah.

Namun itu yang terucap, entah apa yang tersirat. Alasan yang dibungkus oleh isu-isu ketidakadilan kepada minoritas dan kemanusiaan seperti ini biasanya kerap dibawa oleh kaum liberal untuk mengusung paham nyeleneh mereka.

Dalam Islam, pernikahan beda agama itu dilarang. Memang, ada pengecualian untuk wanita ahlul Kitab. Laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita dari kalangan alhlul Kitab. Namun, tetap saja pernikahan tersebut serta kehidupan keluarga itu setelah pernikahan, harus sesuai dengan syariat Islam.

Di Indonesia, pernikahan beda agama telah biasa terjadi. Beberapa selebritis pun mencontohkannya. Entah bagaimana cara mereka menikah, yang jelas mereka telah hidup bersama, bahkan telah memiliki anak dan cucu.

Haruskah praktik-praktik seperti ini kita legalkan, lindungi, bahkan kita permudah hanya karena alasan kemanusiaan dan keadilan? Tentu saja tidak. Seorang Muslim harus mencgah peluang terjadinya praktik keliru seperti itu, bukan malah mempermudah mewujudkannya.

Niat Anbar harus kita cegah. Sebab, jika tidak, maka praktik-praktik nyeleneh lainnya akan bermunculan. Bahkan, bisa jadi, legalitas pernikahan sejenis pun akan diperjuangkan juga.

Wallahu a’lam.