Ketika Suriah masih dipimpin oleh Bashar al Assad, kita tidak pernah mendengar ada konflik langsung antara pemerintah Suriah dan "Israel". Bahkan, Suriah juga tak pernah berupaya sungguh-sungguh merebut kembali Dataran Tinggi Golan yang dulu dirampas oleh "Israel". Lantas seperti apa hubungan dua negara ini sebetulnya?
Kita awali jawaban atas pertanyaan di atas dari peristiwa pada tahun 1967. Ketika itu, “Israel” menyerang Mesir, Yordania, dan Suriah, selama 6 hari (perang ini dikenal dengan nama "Pertempuran Enam Hari). Dari pertempuran ini, “Israel” berhasil merebut Sinai dan jalur Gaza dari Mesir, dataran tinggi Golan dari Suriah, serta Tepi Barat dan Yerussalem dari Yordania.
“Israel” dengan mudah menghancurkan angkatan udara musuhnya karena dibantu informasi dari organisasi intelijen Amerika Serikat, CIA. Sementara itu angkatan udara Mesir ragu membalas serangan “Israel”, karena Menteri Pertahanan Mesir saat itu ikut terbang dan memerintahkan untuk tidak melakukan tembakan selama dia di udara.
Perang Enam Hari ini dimenangkan oleh "Israel". Seluruh wilayah barat dan timur Yerusalem dikuasai oleh mereka. Bahkan, di kemudian hari, mereka mengklaim Kota Yerusalem sebagai Ibu Kota negara.
Tanggal 6 Oktober 1973, Mesir dan Suriah menyerang “Israel” dari dua sisi berbeda. Mesir menyerang dari selatan untuk merebut kembali Semenanjung Sinai, sedangkang Suriah menyerang dari sisi utara untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan. Sebelumnya, dua wilayah ini telah direbut oleh "Israel" saat perang Arab-Israel tahun 1967.
Pertempuran di tahun 1973 ini dikenal dengan nama Yom Kippur karena berlangsung tepat pada hari puasa Yahudi, Yom Kippur. Namun orang-orang Arab menyebutnya Perang Oktober, dan ada pula yang menamainya Perang Ramadhan.
Awalnya, dalam pertempuran ini, Mesir dan Suriah hampir menang. Ini karena "Israel" tak memiliki persiapan untuk mengantisipasi perang. Mereka sangat menikmati kemenangan pada perang sebelumnya sehingga lengah. Apalagi serangan dilakukan tepat pada hari Yom Kippur, hari baik bagi orang Yahudi.
Namun, Amerika Serikat tiba-tiba datang membantu “Israel”. Ini menyebabkan pasukan "Israel" berhasil menembus garis pertahanan Mesir dan Suriah pada hari ke-10 perang, tepatnya pada 16 Oktober 1973. Keadaan ini menyebabkan perang tak menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Dua belas hari setelah konflik, negara-negara penghasil minyak Arab, di bawah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), memutuskan untuk mengurangi produksi minyak sebesar lima persen.
Mereka juga memberlakukan embargo terhadap Amerika Serikat dan menghentikan pasokan minyak. Keputusan embargo tersebut membuat Amerika panik. Henry Kissinger, mantan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat datang untuk mendorong perjanjian gencatan senjata.
Kissinger terus mendekati Kairo, Damaskus, dan Tel Aviv. Diplomasi ini berhasil dan terjadilah gencatan senjata.
Bahkan, pada tahun 1977, atas pertimbangan perang akan memboroskan kas negara, Anwar Sadat pergi ke “Israel” untuk menawarkan perdamaian jika “Israel” mengembalikan seluruh Sinai. Kepergian ini tanpa berkonsultasi dengan Liga Arab terlebih dahulu. Negara-negara Arab merasa dikhianati.
Kemudian, pada 17 September 1978, Mesir dan “Israel” menandatangani perjanjian Camp David yang diprakarsai Amerika Serikat. Isinya menjanjikan otonomi terbatas kepada rakyat Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Atas perjanjian ini, Sadat dan PM “Israel”, Menachem Begin, dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 1979.
Belakangan, otonomi versi Camp David tidak pernah diwujudkan. Demikian juga Amerika Serikat, sebagai pemrakarsa perjanjian, tidak merasa wajib memberi sanksi, bahkan selalu memveto resolusi PBB yang tak menguntungkan “Israel”. Yang mengejutkan, pada tahun 1980, “Israel” secara sepihak menyatakan bahwa mulai musim panas tahun itu, kota Yerusalem yang didudukinya resmi sebagai ibukota. Ini jelas melanggar perjanjian Camp David.
Lalu bagaimana dengan Suriah? Bagi Amerika, semua negara Arab yang dulu pernah berperang --terutama memiliki perbatasan langsung-- dengan "Israel" harus memiliki perjanjian damai dengan negara Yahudi itu, termasuk Suriah. Karena itulah pemerintah Amerika secara aktif mengunjungi para kepala negara perbatasan tersebut.
Jimmy Carter, misalnya, pada akhir tahun pertamanya menjabat, telah bertemu dengan Anwar El Sadat dari Mesir, Raja Hussein dari Yordania, Hafiz al-Assad dari Suriah, dan Yitzhak Rabin dari Israel. Raja Hussein dari Yordania awalnya menolak untuk mengambil bagian dalam pembicaraan damai dengan Israel. Raja Hussein takut Yordania akan diisolasi oleh dunia Arab jika dia terlibat secara intensif dalam pembicaraan damai ini. Tapi pada akhirnya ia mendukung inisiatif perdamaian Anwar el-Sadat dari Mesir dengan Israel.
Adapun Hafiz al-Assad tidak terlihat bernegosiasi damai dengan Israel. Ia menolak datang ke Amerika Serikat untuk negosiasi tersebut. Ia hanya setuju bertemu dengan Carter di Jenewa.
Namun, dalam perjalanan waktu selanjutnya, tak pernah terlihat upaya Hafiz al-Assad untuk membebaskan kembali Dataran Tinggi Golan yang dulu dirampas oleh "Israel". Ini memunculkan dugaan kuat bahwa Hafiz al-Assad telah "bermain mata" dengan "Israel". Ia menukar Dataran Tinggi Golan dengan jaminan bahwa kekuasaannya tak akan digoyang oleh Yahudi.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya perjanjian rahasia antara Suriah dan Israel tahun 1974 untuk tidak saling menghancurkan. Tak heran bila Perdana Menteri "Israel" Benjamin Netanyahu mengumumkan setelah Presiden Suriah Bashar al Assad --putra Hafid al-Assad-- tumbang pada akhir 2024 bahwa "Perjanjian tahun 1974 dengan ini selesai!"
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat