Selasa, 28 Januari 2025

Membaca Kebangkitan Ekonomi dan Militer Cina

John M. Hay, Sekretaris Presiden Roosevelt, presiden Amerika Serikat ke-32, pernah berkata, “Suatu saat nanti, Atlantik sebagai lautan di masa sekarang, akan memberikan jalan kepada Pasifik sebagai lautan masa depan.” Atlantik tentu mengarah pada negara-negara di Eropa dan Amerika, sedang Pasifik mengarah pada negara-negara di Asia.


Peta negara Tiongkok atau Cina

Awalnya, banyak pengamat yang beranggapan, negara di wilayah Pasifik yang bakal menggantikan dominasi Eropa dan Amerika adalah Jepang. Ternyata anggapan ini keliru. Negara yang dimaksud ternyata Cina.

Tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto Cina mencapai 10 persen setiap tahunnya, sementara tingkat pertumbuhan industri mencapai 17 persen. Cina juga mengukuhkan diri sebagai negara pengekspor dan importir tebesar kedua di dunia. Selama 30 tahun terakhir, Cina membebaskan setidaknya 600 juta penduduknya dari kemiskinan.

Padahal, setelah Cina resmi menjadi negara komunis pada tahun 1949, rakyat Cina hidup dalam kemiskinan yang luar biasa. Ini disebabkan kebijakan Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Cina sekaligus pendiri Republik Rakyat Cina, yang menerapkan program The Great Leap Forward (Melompat Jauh ke Depan). 

Lewat program ini Mao mengubah Cina dari semula agraris (pertanian) menjadi industri. Mao terobsesi meniru negara-negara Eropa dan Amerika yang sukses dengan revolusi industrinya. Rakyat Cina yang terbiasa hidup bertani selama berpuluh tahun tiba-tiba dipaksa pindah menjadi buruh pabrik.

Ribuan petani Cina dipaksa meninggalkan sawah dan ladangnya. Tapi, di sisi lain, Mao juga menginginkan produksi pertanian meningkat. Padahal, jumlah petani sudah menurun drastis. Langkah-langkah yang diambil pemerintah Mao Zedong justru membuat gagal panen di mana-mana. Cina dilanda kelaparan hebat. Lebih dari 40 juta rakyat Cina --atau hampir 10 persen dari seluruh rakyat Cina, meninggal sia-sia.

Di samping itu, sebagai negara komunis, Cina tidak memperkenankan kepemilikan pribadi atas tanah pertanian dan sawah. Semua dimiliki oleh negara. Jika ada yang menentang maka dianggap pelaku kriminal dan akan ditangkap. Singkatnya, sebagai negara komunis, pemerintah Cina memonopili pasar.

Cina sendiri, selama berabad-abad, menganut sistem dinasti. Dinasti Cina terakhir adalah Qing yang berkuasa dari tahun 1644 hingga 1912. Dinasti ini juga dikenal sebagai Dinasti Manchu. Dinasti Qing runtuh setelah digulingkan oleh Revolusi China yang dimulai sejak 1894. Penyebab utama revolusi adalah kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan yang kerap menyengsarakan mereka. Tokoh yang berperan penting dalam revolusi ini adalah Sun Yat Sen.

Pada tahun 1949, Cina mengalami revolusi kembali. Kali ini dilakukan oleh partai komunis pimpinan Mao Zedong. Secara ideologis Mao seorang Marxisme-Leninisme. Teorinya, strategi militernya, dan kebijakan politiknya secara kolektif dikenal sebagai Maoisme.

Tahun 1976, Mao Zedong yang telah berusia 82 tahun meninggal karena sakit. Penggantinya adalah Deng Xiaoping. Deng tidak mau mengulangi kegagalan Mao. Ia melakukan reformasi ekonomi yang signifikan. Partai Komunis yang dipimpinnya melonggarkan kontrol pemerintah atas kehidupan pribadi warga negara. Deng berkesimpulan bahwa ekonomi sosialis yang selama ini dianut Cina menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan. Deng mengubahnya menjadi ekonomi berbasis pasar (market) dan berupaya meyakinkan seluruh Cina bahwa sosialisme dan ekonomi pasar bukan dua hal yang bertentangan.

Deng belajar banyak dari Singapura. Ia memodernisasi 4 sektor secara berurutan. Pertama, sektor pertanian. Kedua industri. Ketiga pertahanan. Keempat, sains dan teknologi. Jadi, sebelum Cina masuk era industri, menurut Deng, mereka harus memodernisasi terlebih dahulu sektor pertanian. Karena itulah, Deng mengembalikan semua lahan pertanian kepada rakyat, bahkan membantu mereka mengolah sawah ladangnya dengan sentuhan teknologi.

Setelah pertanian di Cina mulai menggeliat, Deng membuka keran investasi kepada investor asing tahun 1979. Tenaga kerja yang banyak dan murah menyebabkan para investor asing berbondong-bondong masuk Cina. Kebijakan ini memberikan dana segar yang dibutuhkan Cina untuk membangun infrastruktur. Saat ini Cina tercatat sebagai negara manufaktur terbesar di dunia, sekaligus produsen terbesar di dunia. Mereka kerap disebut "pabrik dunia". Ini dimungkinkan karena biaya tenaga kerja rendah, dan mereka memiliki tenaga kerja terampil secara teknis dan infrastruktur.

Cina akhirnya berhasil membanjiri dunia dengan barang-barang made in Cina, mulai dari elektronik, peralatan rumah tangga, tekstil, hingga otomotif. Cina juga membuka bursa saham pertama di Shanghai pada tahun 1990. Kemudian, pada tahun 1997, Cina mulai melakukan privatisasi, atau penjualan industri milik negara.

Menurut Justin Yifu Lin, ekonom terkenal di Cina, ada satu faktor lagi yang membuat Cina maju, yakni ketertinggalan Cina dari negara maju. Mengapa bisa begitu? Sebab, kata Yifu Lin, untuk melakukan inovasi, Cina tak perlu menciptakan teknologi atau melakukan riset dengan biaya mahal. Cina dapat dengan mudah ‘meminjam’ teknologi, industri, juga institusi dari negara-negara maju dengan risiko dan biaya amat rendah. Dengan kata lain, Cina banyak melakukan pencurian kekayaan intelektual.

Tahun 2019, Cina berhasil menjadi peringkat terbesar kedua di dunia dengan PDB nominal $14,3 triliun (99 triliun Yuan). Cina memiliki jumlah miliarder tertinggi kedua di dunia dengan total kekayaan $ 996 miliar. Dari 500 perusahaan terbesar di dunia, 129 berkantor pusat di Cina, memiliki cadangan devisa senilai $ 3,1 triliun.

Ketika ekonominya maju, rasa percaya diri Partai Komunis Cina, atau disebut juga Partai Komunis Tiongkok, meningkat. Mereka adalah satu-satunya partai yang berkuasa di Cina. Mereka memang mengizinkan berdirinya delapan partai lain namun harus membentuk front dan berada di bawah pembinaan Partai Komunis Cina.

Dengan rasa percaya diri yang besar inilah Cina mulai berani unjuk gigi. Pada tahun 2013, mereka melakukan aktivitas pembangunan di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan yang masih dalam persengketaan kepemilikan sejak tahun 1947 dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Begitu juga di wilayah Kepulauan Paracel. Tindakan ini mendapat kecaman internasional yang luas. Sejak 2015 Amerika Serikat dan negara-negara lain seperti Prancis dan Inggris telah melakukan operasi navigasi kebebasan (FONOP) di wilayah tersebut.

Pada musim semi 2010, para pejabat RRC dilaporkan telah mengomunikasikan kepada para pejabat Amerika Serikat bahwa Laut Cina Selatan adalah "area kepentingan utama yang tidak dapat dinegosiasikan". Hal itu jelas menimbulkan gesekan perbatasan dengan negara-negara tetangga. Namun, Cina telah melakukan antisipasi lewat modernisasi militer secara besar-besaran.

Cina sekarang membanggakan kapal induk pertamanya, Liaoning. Mereka juga dikabarkan memiliki enam kapal selam balistik bertenaga nuklir, enam kapal selam serangan bertenaga nuklir, dan 48 kapal selam serangan bertenaga diesel.

Pada Mei 2020, Cina mengumumkan anggaran pertahanan tahunan sebesar RMB 1,268 triliun ($ 178,6 miliar), meningkat 6,6 persen dari anggaran 2019 sebesar 1,19 triliun yuan ($ 177,5 miliar). Namun, Departemen Pertahanan AS (DoD) menyimpulkan bahwa anggaran pertahanan Cina tahun 2018 kemungkinan melebihi $200 miliar.

Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) telah merilis data bahwa Cina menjadi negara pemboros militer terbesar kedua di dunia pada 2019. Mereka menghabiskan anggaran sekitar $261 miliar untuk angkatan bersenjatanya, atau sebesar 14% dari total pengeluaran global. Nilai ini meningkat 5,1% dibanding tahun 2018 dan 85% lebih tinggi dari tahun 2010.

Di peringkat pertama tetap diduduki Amerika Serikat dengan $732 miliar, hampir setara dengan gabungan 10 negara pembelanja berikutnya. Arab Saudi berada di posisi ketiga tahun 2019, tetapi sejak tahun 2023 telah merosot ke urutan kelima, dengan India dan Rusia masing-masing menempati posisi ketiga dan keempat.

Gelagat hegemoni Cina tak dapat disembunyikan setelah mereka meluncurkan proyek Cina Belt and Road Initiative (BRI) pada tahun 2013. Proyek ini diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping, membentang dari Asia Timur ke Eropa, dan sering disebut pula Jalan Sutra Baru. Inilah proyek infrastruktur paling ambisius yang pernah mereka buat.

Beberapa analis melihat proyek ini sebagai upaya memperluas pengaruh ekonomi dan politik Cina. Tak urung, proyek ini meresahkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat, yang mengkhawatirkan bakal meningkatkan kekuatan Cina. BRI bisa menjadi kuda Trojan untuk pengembangan regional dan ekspansi militer.

Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Mark Esper, pernah mengklaim bahwa Cina menjadi ancaman yang serius bagi tatanan dunia. Esper menuduh Cina melakukan ekspansi komersial dan militer, dan mendesak sekutu Washington untuk mengambil sikap menentang kebijakan Beijing. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat