Kamis, 25 September 2014

Pembonceng

“…  Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al Anbiyaa’ [21]: 7)

Hangatnya perbincangan soal ISIS (Islamic State of Iraq and al-Sham) di Indonesia membuat Sekretaris Jendral Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir, serta sejumlah ulama muda dari Indonesia, merasa perlu menyambangi negara tetangga Malaysia guna menyamakan persepsi tentang fenomena ini.

Pikir mereka, fenomena ISIS ini –belakangan disebut Islamic State atau IS—telah mendunia. Jadi, tak cukup dibicarakan di tingkat nasional saja. Paling tidak fenomena ini dibicarakan juga di tingkat regional Asia Tenggara. Mereka berharap, pertemuan tersebut bisa menelurkan pernyataan sikap bersama supaya langkah yang akan diambil satu padu.

Di sisi lain, fenomena ISIS telah memunculkan banyak fitnah dan kebingungan di kalangan Muslim awam. Berbagai tudingan bertebaran di media massa. Bahkan, tudingan tersebut tak sekadar dialamatkan kepada kaum ekstrimis, melainkan juga kepada MUI dan MIUMI. Dua majelis tempat berkumpulnya para ulama ini belakangan dituding telah membantu ISIS. Tentu “jauh panggang dari api.”

Tak sekadar itu, makna khilafah dan jihad yang nyata-nyata ada dalam khazanah Islam dan dicita-citakan oleh kaum Muslim, tiba-tiba menjadi momok yang menakutkan. Bayangan terorisme dan kekerasan tanpa perikemanusiaan dalam video-video yang bersumber dari Suriah dan Irak, tempat khilafah tersebut diproklamirkan, seolah-olah sengaja disematkan kepada para penegak syariat di mana pun berada.

Inilah salah satu alasan mengapa Bachtiar Nasir dan sejumlah ulama muda MIUMI merasa perlu bertandang ke Malaysia serta berkumpul dengan ulama-ulama lain se Asia Tenggara pada awal Agustus lalu. Draf pernyataan telah mereka susun sejauk jauh hari.

Namun, sesampai di sana, Bachtiar kaget. Para ulama di negara jiran tersebut ternyata tak bersedia memenuhi ajakan Bachtiar untuk membuat pernyataan bersama mengenai ISIS. Mengapa bisa seperti itu?

Rupanya fenome ISIS tidak populer di Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan negara-negara tetangga lain. "Fenome ISIS hanya populer di Indonesia," cerita Bachtiar kepada sejumlah tokoh Islam saat berkumpul di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan Agustus lalu.

Jika fenomena ini dimunculkan di negara-negara tetangga maka mereka khawatir masyarakat di sana akan mengalami kebingungan yang sama sebagaimana di Indonesia. “Mereka takut akan di-Indonesia-kan,” kata Bachtiar agak berkelakar.

Mengapa fenomena ISIS bisa marak di Indonesia? Salah satu penyebabnya, mungkin saja, adalah ulah para pembonceng yang ingin memanfaatkan fenomena ini untuk meloloskan kepentingannya.  Di antara mereka ---sekali lagi mungkin—adalah pihak-pihak yang tak suka dengan Islam. Mereka menghembuskan stigma negatif kepada khilafah, syariah, bai’at, dan panji-panji Islam, sehingga masyarakat takut dan akhirnya jauh dari agamanya.

Jika memang benar begitu maka tak ada cara lain untuk menangkalnya upaya mereka kecuali meminta perlindungan kepada Allah SWT, memperdalam ilmu agama, serta bersikap sesuai dengan ilmu yang kita miliki. Ilmu itulah yang akan menuntun kita agar tidak tergesa-gesa mengambil sikap, termasuk tergesa-gesa berbai’at kepada orang yang tidak kita ketahui betul jati dirinya.

Wallahu a’lam