Kamis, 09 Oktober 2014

Aria dan Perang Opini Media AS

Aria hanyalah gadis remaja berusia 15 tahun. Ia dan keluarganya tinggal di kamp pengungsi Khanke, di luar kota Duhok, di sebelah barat laut Irak.

Keluarga Aria adalah penganut Yazidi. Mereka terpaksa meninggalkan Sinjar, tempat kediaman mereka, menuju kamp pengungsian, karena takut kepada tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), atau disebut pula IS (Islamic State).

Aria sendiri mengaku kepada reporter CNN, Anna Coren, bahwa ia memiliki pengalaman amat pahit dengan tentara berpakaian hitam-hitam tersebut. Menurutnya, ia pernah ditangkap, disekap, bahkan mengetahui banyak gadis-gadis Yazidi yang diperkosa tentara ISIS. Aria sendiri mengaku tak ikut diperkosa.

"Mereka benar-benar kotor," cerita Aria sebagaimana dilaporkan situs CNN pada 23 September 2014.  "Mereka memiliki jenggot panjang dan berbadan besar."

"Mereka mencoba mengubah iman kami," kata Aria lagi. "Mereka mengatakan kepada kami, 'bacalah Qur'an.' Padahal kami tidak pernah diajarkan membacanya."

Lalu, kisah tentang Aria ini mengalir bagai drama pilu yang dikemas dengan gaya renyah. Untuk mendapatkan semua data tersebut, Coren menemui langsung gadis ini dan orang tuanya di kamp pengungsian.

Kisah pilu tentang masyarakat sipil, terutama anak-anak, orang tua, dan wanita, bukan sekali ini saja ditampilkan CNN. Berkali-kali jaringan media Amerika Serikat (AS) ini mengeluarkan kisah-kisah serupa di antara kecamuk perang di Irak dan Siria.

Ada kisah seorang gadis remaja berusia 19 tahun asal Glasgow, Skotlandia, bernama Aqsa Mahmud, yang tak kalah memilukan.  “Bulan November tahun lalu, Aqsa memberi ayahnya, Muzaffar, pelukan panjang, pelukan perpisahan,” tulis CNN dalam situsnya pada 5 September 2014.  Setelah itu, Aqsa menghilang. Pihak pengacara keluarga menduga, gadis itu telah bergabung bersama ISIS.

Ada juga kisah memilukan tentang seorang ayah yang kehilangan anak laki-lakinya yang jenius. Sang anak juga ditengarai telah bergabung dengan ISIS.  "Anakku bercita-cita menjadi seorang ahli komputer. Namun sekarang ia menjadi teroris," tulis situs CNN dalam feature edisi Agustus, mengutip perkataan sang ayah, lengkap dengan suara paraunya.

Kisah-kisah feature ini mungkin saja benar, namun jelas tak lengkap. Kisah-kisah seperti inilah yang mengantarkan serangan tentara Amerika Serikat ke Suriah pada 23 September lalu.

Serangan tersebut berdalih untuk menghambat gerak ISIS, yang sebelumnya telah  dikonotasikan amat jahat oleh media Amerika Serikat.  Faktanya, banyak media melaporkan, serangan tersebut tak cuma ditujukan kepada ISIS.  Serangan itu ditujukan kepada semua kelompok pejuang di Suriah, termasuk Jabhah Nushrah dan Ahrar Syam. Bahkan, warga sipil pun tak sedikit yang menjadi korban.

Akankah serangan tentara AS ini akan mendapat restu dari masyarakat Amerika sebagaiman dulu mereka juga memberi restu atas penggempuran Irak dengan dalih mencari senjata pemusnah massal yang hingga kini tak pernah ditemukan itu? Boleh jadi, feature-feature menggugah sebagaimana disajikan CNN tadi telah membutakan mata masyarakat Amerika Serikat --- juga dunia--- atas apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah.

(Dipublikasikan oleh Hidayatullah Online pada 1 Oktober 2014)