Kamis, 06 Februari 2014

Drama

“… Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu,  dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (al-Anfal [8]: 30)

Mengawali 2014 kita kembali disuguhi sebuah tontonan penggerebekan para terduga teroris di sebuah rumah kontrakan, di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang, oleh anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88).

Dalam aksi selama 8 jam tersebut, enam terduga teroris tewas. Satu di antaranya ditembak saat membonceng sepeda motor tak jauh dari tempat kejadian. Bila membayangkan suasana di tempat itu, barangkali amat mirip film laga di televisi.

Ibarat sebuah panggung tontonan, meski di awal cerita para penonton mendadak disuguhi adegan kekerasan berujung pembunuhan, namun adegan ini tidak lagi mencengangkan para penonton. Sebab, bukan sekali ini saja adegan seperti ini dipertunjukkan.

Sebelumnya, dalam episode yang lain, telah berkali-kali adegan seperti ini dipertontonkan.  Adegan penyerbuan di Temanggung, Jawa Tengah, atas tersangka teroris, Nurdin M Top dan rekan-rekannya pada September 2009 lalu, misalnya. Polisi memerlukan waktu 18 jam untuk melumpuhkan mereka.

Di akhir episode ini, polisi bersenjata lengkap: senjata laras panjang jenis styer, senjata tangan glock, rompi anti peluru, dan granat tangan, menembak mati juga para tersangka teroris yang bersembunyi di rumah berbata tak berplester itu.

Episode lainnya, ketika polisi menghabisi tersangka teroris Ibrohim, juga di Temanggung pada medio 2009 lalu. Ketika itu, sendirian sang paƱata bunga (florist) ini menghadapi satu kompi polisi bersenjata lengkap yang menghamburkan ratusan peluru, sedang ia sendiri cuma memiliki sepucuk senjata dengan jumlah peluru amat terbatas.

Sekali lagi, bila mengibaratkan ini semua sebagai drama, maka drama ini tidak tuntas. Sebab, masih menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya, mengapa polisi kerap menghabiskan waktu berlama-lama untuk melumpuhkan seorang atau beberapa orang terduga teroris kalau toh akhirnya ditembak mati juga?

Mengapa pula para terduga itu harus ditembak mati? Apakah mungkin polisi terlatih yang dipersenjatai lengkap ini takut menghadapi anak-anak muda bersenjata rakitan dan kurang terlatih ini?

Sudah sangat sering Densus 88 memerankan dirinya sebagai "kelompok pencabut nyawa" dalam adegan penggerebekan atas terduga teroris. Menurut data Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM), sudah lebih dari 100 tersangka teroris yang ditembak mati oleh Densus Anti Teror. Komnas HAM menilai, ini sudah kelewatan.

Sekali lagi, bila ini semua diibaratkan sebuah drama, apakah memang begitu skenario yang dibuat sang sutradara? Apakah para polisi dan sang sutradara ini yakin bahwa cara seperti itulah yang efektif untuk memberantas terorisme di Indonesia?

Ketahuilah, andai ini semua sebuah drama, maka drama yang dipertontonkan ini sungguh amat sangat kecil. Kelak akan ada sebuah “drama” amat dahsyat yang dibuat oleh Sang Maha Pembuat Makar.

“… Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya (makar) itu, dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”

Wallahu a’lam


(Tulisan ini telah dipublikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2013)