Apakah boleh seorang wartawan menerima "amplop"? Bagaimana pula bila
"amplop" tersebut sekadar uang transportasi atau uang lelah?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita temukan dalam kisah Rasulullah SAW dan seseorang dari kabilah Azd bernama Ibnu Lutaibhah (ada juga yang menyebutnya Ibnu Luthbiyyah), sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori (9:356). Ia diberi tugas oleh Rasulullah SAW untuk mengurusi harta zakat dan sedekah.
Suatu hari, Ibnu Lutaibhah diutus oleh Rasulullah SAW untuk mengambil harta zakat Bani Sulaim. Rupanya di sana, selain mendapatkan harta zakat, ia juga diberi sesuatu oleh orang-orang yang dilayaninya.
Mendengar hal ini Rasulullah SAW marah. Ia berdiri dan berkhutbah di hadapan banyak orang.
"Saya telah mengangkat salah satu dari kalian untuk menjalankan pekerjaan (mengumpulkan zakat). Kemudian dia datang kepada saya dan berkata, 'ini untukmu dan ini dihadiahkan kepadaku.' Kenapa dia tidak duduk di rumah ayah atau ibunya (maksudnya tidak usah bekerja), apakah hadiah itu akan datang kepadanya bila ia benar?"
"Demi Allah,” kata Rasulullah SAW lagi. “Janganlah kalian mengambil apa yang tidak menjadi hak kalian, kecuali kalian akan dating di hari kiamat menghadap Allah dengan membawa apa yang kalian ambil itu.”
Dari cerita ini jelas tergambar bahwa menerima pemberian terkait profesi adalah sogokan. Demikian pula para wartawan yang menerima uang dalam jumlah berapapun saat melaksanakan tugas jurnalistiknya, termasuk menerima bingkisan yang dapat mempengaruhi pemberitaan, terkategori menerima sogokan (risywah).
Hatta pemberian tersebut sekadar uang transportasi dan uang lelah, tetap terkategori sogokan. Sebab, kata Rasulullah SAW, andai dia duduk-duduk saja di rumah, maka ia tak akan mendapatkan apa-apa.
Risywah atau sogokan, menurut Hasyiyah Ibn Abidin (5/502), adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim (pembuat keputusan) agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan.
Wartawan termasuk pembuat keputusan (hakim) soal ditulis atau tidaknya sebuah berita, termasuk dari sudut pandang mana ia akan menulis dan informasi apa saja yang akan ia publikasi dan yang tidak.
Risywah atau sogokan hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Hal ini tersirat dalam al-Qur'an surat Al Maidah ayat 42, 62, dan 63.
Dalam ayat-ayat tersebut tertulis kalimat akkaaluna lissuhti. Kalimat ini bila diterjemahkan secara umum berarti "memakan harta haram".
Kata as-Suhti dalam beberapa Hadits diterjemahkan sebagai risywah. Misalnya, dalam Hadits Mursal Marfu' yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqoh, Rasulullah SAW berkata, "Setiap daging yang tumbuh dari hasil yang haram (suhti) maka neraka layak baginya." Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah,apa itu as-suhti?" Rasul menjawab, "Ia adalah sogokan dalam perkara hukum." (Fathul Bari 5:360, juga dalam tafsir al-Alusy 3:309)
Hadits lain yang melarang kaum Muslim menerima sogokan (dan menyogok) adalah: Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogokan (HR Turmudzi, dihukumi hasan)
Wallahu a'lam
(Dibuat untuk Kode Etik Jurnalis Muslim)
Suatu hari, Ibnu Lutaibhah diutus oleh Rasulullah SAW untuk mengambil harta zakat Bani Sulaim. Rupanya di sana, selain mendapatkan harta zakat, ia juga diberi sesuatu oleh orang-orang yang dilayaninya.
Mendengar hal ini Rasulullah SAW marah. Ia berdiri dan berkhutbah di hadapan banyak orang.
"Saya telah mengangkat salah satu dari kalian untuk menjalankan pekerjaan (mengumpulkan zakat). Kemudian dia datang kepada saya dan berkata, 'ini untukmu dan ini dihadiahkan kepadaku.' Kenapa dia tidak duduk di rumah ayah atau ibunya (maksudnya tidak usah bekerja), apakah hadiah itu akan datang kepadanya bila ia benar?"
"Demi Allah,” kata Rasulullah SAW lagi. “Janganlah kalian mengambil apa yang tidak menjadi hak kalian, kecuali kalian akan dating di hari kiamat menghadap Allah dengan membawa apa yang kalian ambil itu.”
Dari cerita ini jelas tergambar bahwa menerima pemberian terkait profesi adalah sogokan. Demikian pula para wartawan yang menerima uang dalam jumlah berapapun saat melaksanakan tugas jurnalistiknya, termasuk menerima bingkisan yang dapat mempengaruhi pemberitaan, terkategori menerima sogokan (risywah).
Hatta pemberian tersebut sekadar uang transportasi dan uang lelah, tetap terkategori sogokan. Sebab, kata Rasulullah SAW, andai dia duduk-duduk saja di rumah, maka ia tak akan mendapatkan apa-apa.
Risywah atau sogokan, menurut Hasyiyah Ibn Abidin (5/502), adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim (pembuat keputusan) agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan.
Wartawan termasuk pembuat keputusan (hakim) soal ditulis atau tidaknya sebuah berita, termasuk dari sudut pandang mana ia akan menulis dan informasi apa saja yang akan ia publikasi dan yang tidak.
Risywah atau sogokan hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Hal ini tersirat dalam al-Qur'an surat Al Maidah ayat 42, 62, dan 63.
Dalam ayat-ayat tersebut tertulis kalimat akkaaluna lissuhti. Kalimat ini bila diterjemahkan secara umum berarti "memakan harta haram".
Kata as-Suhti dalam beberapa Hadits diterjemahkan sebagai risywah. Misalnya, dalam Hadits Mursal Marfu' yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqoh, Rasulullah SAW berkata, "Setiap daging yang tumbuh dari hasil yang haram (suhti) maka neraka layak baginya." Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah,apa itu as-suhti?" Rasul menjawab, "Ia adalah sogokan dalam perkara hukum." (Fathul Bari 5:360, juga dalam tafsir al-Alusy 3:309)
Hadits lain yang melarang kaum Muslim menerima sogokan (dan menyogok) adalah: Dari Abdullah bin Amr ia berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogokan (HR Turmudzi, dihukumi hasan)
Wallahu a'lam
(Dibuat untuk Kode Etik Jurnalis Muslim)