Cerita ini kita awali dari kisah Raden Bei Kertowinoto. Menurut cerita turun-temurun yang ditulis oleh Ahmad Baiti pada 17 Agustus 1971, Raden Bei Kertowinoto berasal dari Keraton Solo, Jawa Tengah.
dr. Saridin (foto: istimewa) |
Kemudian, Raden Bei Kertowinoto mendapat amanah sebagai bupati di Semarang, Jawa Tengah. Setelah selesai menjadi bupati, ia tak mau pulang ke Solo. Sebab, keris pusakanya hilang. Ia enggan pulang dalam keadaan tak lagi membawa keris pusaka itu.
Raden Bei Kertowinoto memiliki isteri bernama Mas Adjeng Tepo. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai delapan orang anak, yakni Den Pandji Pati Dirdjo, Den Mas Djojo Ario, Den Mas Kertodiwirdjo, Den Mas Djojo Kesoemo, Den Mas Prawiro Dikoro (Samsudin), Raden Ajoe Maryam, Raden Ajoe Samiati, Raden Ajoe Asna. Raden Bei Kertowinoto meninggal di Semarang.
Selanjutnya, Den Mas Djojo Ario, putra kedua Raden Bei Kertowinoto, memiliki dua orang anak, yakni Raden Ajoe Mia dan Den Mas Saridin Djojo Arifin.
Den Mas Saridin Djojo Arifin merantau ke Batavia (Jakarta) untuk belajar di Sekolah Dokter pada tahun 1835. Ia lulus pada tahun 1845 dengan gelar Dokter Djawa.
Selama sekolah di Jakarta, Saridin tinggal di Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Di sana ia memelihara beberapa anak asuh, di antaranya bernama Kadar dan Hadi. Pada masa selanjutnya, Kadar menjadi bapak angkat dari Anwar Tjokro Aminoto, anaknya HOS Tjokro Aminoto.
Saridin juga teman dekat dr. Wahidin Sudirohosodo, seorang dokter yang ikut mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Saat situasi politik di Jakarta sedang panas, dr Wahidin menyarankan agar Saridin mengasingkan diri ke Bengkulu.
Saran ini dituruti oleh Saridin. Ia pergi ke Bengkulu dan menjadi dokter di sana. Ia menjelajah dari Krui (pesisir barat Lampung) hingga Manna (Bengkulu Selatan) untuk membantu masyarakat yang butuh pengobatan.
Di Manna, Saridin mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting gadis idamannya bernama Sisah. Dari pernikahan ini mereka dikaruniani 10 orang anak, yakni Salbiah, EH Nurdidah, Hatun, Abdul Hamid, EH. Maryam, Bisyahri, Ahmad, Nurlela, Ba'iah, dan Rezali.
Abdul Hamid (foto: istimewa) |
Tahun 1908, Saridin pensiun dari dokter dan pada tahun itu juga ia menunaikan ibadah haji bersama isteri dan 4 anaknya, termasuk Abdul Hamid (tentang Haji Abdul Hamid ini akan diceritakan kemudian). Di Mekkah, Saridin mendapat gelar Haji Abubakar, sedang isterinya diberi gelar Encek Hajah Aminah.
Saridin meninggal pada tahun 1927, sedang isterinya meninggal pada tahun 1940. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat