Jumat, 13 November 2015

Bukan Sekadar Pesantren Biasa

Usai shalat Isya berjamaah di Pesantren Hidayatullah, Gunung Tembak, Kalimantan Timur, pada  Oktober 2012, beberapa tetua Hidayatullah berkumpul di sebuah ruang tak terlalu luas di dekat masjid Ar-Riyadh, masjid utama di kawasan Pesantren Hidayatullah.

Ustadz Abdurrahman Muhammad, pemimpin tertinggi Hidayatullah, memimpin langsung pertemuan mendadak tersebut. Pertemuan itu bertujuan memberi arahan kepada tim yang akan ditugaskan menyusun film dokumenter tentang Hidayatullah. Ustadz Abdurrahman Muhammad merasa perlu memaparkan fikrah dan kiprah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, sang pendiri Hidayatullah yang wafat pada 4 Maret 1998, agar bisa divisualkan secara benar.

Para tetua telah duduk di kursinya masing-masing. Penggalan surat al-Hujarat telah selesai dibacakan, membuka pertemuan itu. Ustadz Abdurrahman Muhammad, dengan suara pelan, kemudian bercerita. “Kiprah almarhum Ustadz Abdullah Said ada dua,”ujarnya mengenang sosok sahabat yang dulu pernah bersama-samanya menghadapi pahit getirnya perjalanan dakwah di Pare-pare, Sulawesi Selatan. Ustadz Abdullah Said sendiri meninggal dunia pada 4 Maret 1998.

“Pertama, beliau melahirkan kader.  Kedua, beliau melahirkan pondok,” jelas Ustadz Abdurrahman Muhammad lagi.

Lalu pria sederhana ini bercerita, pada awal berdirinya Pesantren Hidayatullah di Kalimantan Timur, Ustadz Abdullah Said pernah mengumpulkan sejumlah santrinya yang masih belia.

Anak-anak muda itu bukanlah santri-santri pilihan. Mereka tak memiliki segudang keahlian, juga tak terlalu banyak menguasai ilmu-ilmu agama. Mereka hanya santri-santri biasa.

Namun, yang membuat para santri itu menjadi luar biasa adalah keberanian mereka memikul amanah yang rasanya tak akan sanggup dipikul oleh anak muda kebanyakan. Yakni, membuka Pondok Pesantren Hidayatullah di Papua, wilayah paling timur Indonesia.

Sekelompok anak muda ini berangkat dengan bekal seadaanya. Uang yang dibawa hanya cukup untuk perjalanan hingga di atas kapal penyeberangan. Selebihnya, para santri ini dipersilahkan berikhtiar sendiri seraya selalu berharap pertolongan dari Allah SWT.

Setibanya di pulau paling ujung wilayah timur ini, para pemuda tersebut harus memanggul sendiri bahan-bahan bangunan yang kelak akan dipakai membangun pesantren melewati hutan belantara berjarak puluhan kilometer.
Jika ada persoalan berat yang sulit sekali dipikul, para santri ini diminta mengadukan seluruh persoalan tersebut kepada Allah SWT lewat shalat malam. “Mengadulah kepada Allah lewat rukuk dan sujud yang lama,” begitulah Ustadz Abdullah Said menasihati para santrinya.

Bertahun-tahun kemudian sekelompok anak muda ini telah berhasil mendirikan Pesantren Hidayatullah di tanah Papua. Namun, tugas belumlah selesai. Sebagian dari mereka akan ditugaskan kembali membuka Pesantren Hidayatullah ke daerah lain. Bukan di timur, tapi di barat, tepatnya di sebelah utara Pulau Sumatera.

“Beginilah kader-kader Ustadz Abdullah Said. Mereka bukan dai biasa. Mereka dai pejuang. Kita semua adalah kader beliau. Kita adalah buah dari kiprah beliau,” jelas Ustadz Abdurrahman Muhammad di hadapan para tetua Hidayatullah.

Dari hari ke hari, jumlah kader dan Pesantren Hidayatullah kian bertambah. Saat ini, menurut catatan Biro Humas Pimpinan Pusat Hidayatullah, ribuah kader Hidayatullah telah tersebar di hampir 300 cabang Hidayatullah di 33 propinsi di seluruh Indonesia.

Selain itu, ada juga organisasi-organisasi otonomi, seperti Syabab, Mushida, Anisa, dan Search and Rescue Hidayatullah. Ada beberapa amal usaha, seperti Pos Dai, Baitul Mal Hidayatullah, dan Islamic Medical Service. Juga beberapa badan usaha, seperti PT Lentera Jaya Abadi, perusahaan yang menerbitkan media cetak Kelompok Media Hidayatulah, dan mini market Sakinah.

Banyak di antara cabang-cabang Hidayatullah berdiri di atas lahan seluas lebih dari 1 hektar. Di Timika, Papua, misalnya, Pesantren Hidayatullah menempati lahan seluas 10 hektar. Di Sorowako, Sulawesi Selatan, Pesantren Hidayatullah menempati lahan seluas 27 hektar. Di Tanjung Uncang, Batam, pesantren ini menempati lahan seluas 3 hektar. Sedang di Sumatera Selatan, menempati lahan seluas 20 hektar.

Jangan bayangkan pondok-pondok pesantren ini sama seperti kebanyakan pondok pesantren yang dikenal masyarakat. Kehidupan di Pesantren Hidayatullah sangat khas. Di pondok ini, para santri tak sekadar beribadah dan menimba ilmu agama, tapi juga menerapkan cara bermasyarakat dan berjamaah.

Justru, kata Ustadz Abdurrahman Muhammad lagi, fikrah sang pendiri tergambar di dalam kehidupan berjamaah di pondok-pondok tersebut. Pondok-pondok ini akan menjadi miniatur peradaban Islam yang dicita-citakan oleh sang pendirinya.

“Fikrah almarhum Ustadz Abdullah Said adalah berjamaah. Di dalam jamaah ada kepemimpinan. Ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Ada ketaatan, militansi, keteladanan, karakter, dan ada cita-cita,” jelas ayah dari 5 putra dan 5 putri ini lagi.  Tak heran bila kemudian Hidayatullah menyebut dirinya sebagai al-harakah al jihadiyah al-Islamiyah (gerakan perjuangan Islam).

Pondok yang Berperadaban

Dalam kesempatan lain, saat acara Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat Hidayatullah di Batam, Kepulauan Riau, September 2015 lalu, Ustadz Abdurrahman Muhammad bercerita tentang seseorang yang datang bertanya kepadanya tentang Hidayatullah. Bagaimana Hidayatullah bisa mendidik kadernya sehingga mau sungguh-sungguh memperjuangkan Islam?

Ustadz Abdurrahman menjawab, “Jika saya harus menjelaskannya, panjang sekali, dan belum tentu Anda akan paham. Jadi, daripada saya jelaskan, lebih baik Anda tinggal saja di kampus Hidayatullah selama satu bulan. Lihat apa yang ada di sana, baru Anda bisa paham seperti apa Hidayatullah.”

Para kader Hidayatullah memang lebih suka menyebut pondok ini sebagai kampus, bukan pesantren. Mungkin ini karena kekhasan yang melekat pada pondok-pondok tersebut.

Lantas bagaimana gambaran kampus yang dicita-citakan Ustadz Abdullah Said saat pertama menggagas berdirinya kampus Hidayatullah di Gunung Tembak, 50 tahun yang lalu? Mari kita “berselancar” ke puluhan tahun silam lewat buku yang ditulis oleh Ustadz Manshur Salbu, salah seorang tokoh Hidayatullah sekaligus sahabat Ustadz Abdullah Said, berjudul Mencetak Kader.

Dalam buku itu tertulis bahwa Ustadz Abdullah Said pernah mengimpi-impikan berdirinya sebuah perkampungan Islam sebagaimana pernah didirikan oleh Syaikh Sidi Abdullah di sebuah desa di Libya, sebelah selatan kota Tripoli.

Ustadz Abdullah Said mengetahui seluk beluk kampung tersebut dari buku karya tokoh Muhammadiyah, KH Mas Mansur, berjudul Mutu Manikam.  Ketika itu Ustadz Abdullah Said masih muda dan masih tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan.

Desa Syanggit, tertulis dalam buku tersebut, dihuni oleh 5 ribu santri. Mereka tinggal di sebuah asrama besar,  terdiri atas 100 kamar yang luas. Di sana, para santri belajar Islam dan hidup secara terbina. Jadwal mereka diatur sejak bangun pagi hingga tidur malam.

Ustadz Abdullah Said berencana membangun perkampungan semacam itu di Indonesia. Di sanalah ulama dan para pakar akan berkumpul, menetap, dan mengajar. Di kampung ini pula syariat Islam akan ditegakkan, pergaulan antar masyarakat akan diatur, pernikahan akan dimudahkan, lingkungan akan ditata rapi, dan penghuninya akan dibuat betah berlama-lama tinggal di sana. Bahkan, di kampung itu pula kader akan dididik hidup berjamaah dan menjadi seorang mujahid dakwah.

Kini, kampung yang diidam-idamkan itu telah berdiri. Bukan sekadar satu, bahkan banyak. Itulah kampus-kampus Hidayatullah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Manhaj Nabawi

Setelah kampus yang dicita-citakan ini berdiri, cerita Ustadz Manshur Salbu dalam buku karangannya, masih ada satu masalah yang terus menghantui pikiran Ustadz Abdullah Said.

Menurut Ustadz Abdullah Said, mengapa Nabi Muhammad SAW begitu cepat mencapai hasil sedangkan kita tidak? Rasulullah SAW telah merampungkan hal-hal mendasar, mengubah peta sejarah, merombak kultur jahili menjadi kultur Islami, hanya dalam waktu 23 tahun. Namun kita sudah berapa kali melampaui waktu 23 tahun. Kita belum mampu membuat perubahan secara signifikan. Padahal, al-Qur’an yang digunakan Nabi Muhammad SAW masih itu juga yang kita pakai sekarang, tanpa perubahan sedikit pun. Kalau soal berpedoman kepada al-Qur’an, semua lembaga perjuangan Islam pasti mengaku al-Qur’an sebagai pedomannya. Lalu di mana letak masalahnya?

Ustadz Abdullah Said kemudian merenungkan bagaimana Allah SWT mengurutkan wahyu demi wahyu kepada Rasullah SAW. Menurut beliau, tata urutan ini bukanlah tanpa kesengajaan. Tata urutan ini ---mulai dari wahyu pertama yang memuat perintah membaca dengan nama Tuhan hingga wahyu kelima yang memuat pengakuan total atas kekuasaan Tuhan –pasti mengandung maksud dan tujuan.

Tata urutan yang sempurna ini adalah juga sistematika yang diberikan Allah SWT untuk membangun kembali peradaban Islam yang dulu pernah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Tertib nuzulnya al-Qur’an inilah yang kemudian dijadikan oleh Ustadz Abdullah Said sebagai manhaj gerakan Hidayatullah hingga kini.

Jadi, kader yang berkampus, jamaah yang berkarakter, dan cita-cita yang diperjuangkan lewat manhaj Nabawi, itulah kekhasan Hidayatullah.  ***


(Baca kelanjutan kisah ini pada artikel berjudul Bangunan yang Belum Selesai, serta kisah sebelumnya pada artikel berjudul Mengenal Hidayatullah Lewat Kisah Dua Pemimpin)

(Diterbitkan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Nopember 2015)