Rabu, 22 Januari 2025

Arab Spring dan Perseteruan Amerika versus Rusia

Tahun 2010 dunia dikejutkan oleh fenomena Arab Spring atau Musim Semi Arab. Yakni, gejolak yang terjadi di negara-negara Arab hingga Afrika Utara, yang berdampak tergulingnya rezim yang lama berkuasa di negara-negara itu.


Peta Jazirah Arab

Sebutan Arab Spring merujuk pada revolusi yang terjadi tahun 1848 ketika pergolakan politik melanda Eropa. Revolusi tersebut dikenal sebagai People's Spring atau Musim Semi Rakyat.

Fenomena Arab Spring bermula dari Tunisia, kemudian menyebar ke Aljazair, Irak, Yordania, Kuwait, Maroko, Oman, dan Sudan; dan protes kecil terjadi di Mauritania, Arab Saudi, Djibouti, dan Sahara Barat.

Buntut dari peristiwa Arab Spring ini menyebabkan Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari 2011. Presiden Mesir, Husni Mubarak, terpaksa harus mengakhiri kepemimpinannya selama 30 tahun pada 11 Februari 2011 setelah 18 hari diserbu para demonstran.

Pemimpin Libya, Muammar Gaddafi, digulingkan pada 23 Agustus 2011 setelah Dewan Transisi Nasional (NTC) mengambil alih Bab al-Azizia. Dia terbunuh pada 20 Oktober 2011 di kota asalnya Sirte setelah NTC menguasai kota.

Hegemoni Amerika membantu menggulingkan rezim yang kritis terhadap Barat sangat jelas terlihat pada fenomena Arab Spring ini. Amerika, yang ketika itu dipimpin oleh Barack Obama, bermain dengan memanfaatkan proxy-nya, tekanan diplomasi internasional, pengembangan opini, hingga bantuan militer.

Namun, ketika fenomena Arab Spring menyentuh negeri Syam, tepatnya di Suriah, terjadi benturan kepentingan antara Amerika dan Rusia. Presiden Suriah, Bashar al-Asad, yang sejatinya lemah dan mudah digulingkan, tiba-tiba menjadi sangat kuat karena dukungan militer Rusia. Dari sini terlihat bagaimana Amerika bukan lagi pengendali tunggal dunia.

Amerika dan Inggris serta proxy-nya ingin segera menggulingkan Bashar al Assad dan menggantinya dengan pemerintahan baru yang pro meraka, sekaligus juga bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Akan tetapi rencana itu tidak berjalan mulus karena kehadiran Rusia yang powerfull, menyelamatkan Assad dari keruntuhan sebagaimana dialami negara-negara Arab sebelumnya.

Perang di Suriah mulai terjadi pada 15 Maret 2011. Masyarakat dan para pejuang oposisi yang sudah lama tertindas akibat kezaliman sang pemimpin, mulai menggeliat. Damaskus dan Aleppo meletus. Sejumlah wilayah di Suriah berhasil dikuasai pejuang oposisi.

Intervensi militer Rusia pada perang Suriah dimulai pada September 2015 setelah adanya permintaan resmi dari pemerintah Bashar. Rusia melancarkan serangan udara yang diarahkan ke pangkalan Khmeimim. Lalu meluas ke sejumlah wilayah.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Maret 2016, Kota Palmyra berhasil diambil alih kembali oleh pemerintah Bashar, disusul kota utama Aleppo pada Desember 2016. Pada akhir Desember 2017, pemerintah Rusia mengumumkan bahwa pasukannya akan dikerahkan ke Suriah secara permanen.

Lantas mengapa Amerika tidak merespon intervensi Rusia ini? Rupanya, pada saat yang sama, Amerika tengah sibuk mengantisipasi munculnya musuh baru yang lebih besar dan lebih nyata, yakni kebangkitan ekonomi dan militer Cina.

Karena Negeri Paman Sam ini mengalihkan fokus strategisnya ke arah Cina, maka kebijakan strategis di Timur Tengah agak berkontraksi dan cenderung pragmatis. Salah satu contohnya, mereka menarik sebagian dominasinya dari Irak dan mengakhiri perang Irak yang telah berlangsung hampir satu dekade.

Di sisi lain, Rusia juga tengah berkonflik dengan negara-negara di Eropa lewat perang Ukraina, terlebih setelah Ukraina mengemukakan keinginannya untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO, menyusul sejumlah negara Eropa Timur seperti Polandia dan negara-negara Balkan. Rusia khawatir Amerika dan Eropa melakukan aktivitas militer di Ukraina dan Eropa Timur. Ini sangat berbahaya bagi keamamam negara mereka.

Awal tahun 2022, Rusia benar-benar menyerang Ukraina. Ledakan terdengar di sejumlah kota seperti Kyiv, Odessa, Kharkiv, dan Mariupol. Ini semua mengakibatkan Suriah tak lagi menjadi fokus kebijakan politik Rusia dan Amerika. 

Pada akhir 2024, para pejuang opisisi Suriah di bawah pimpinan Ahmad Hussein al-Shar'a atau Abu Muhammad al-Julani berhasil merebut kekuasaan dari Bashar al Assad. Diktator yang telah memimpin Suriah selama 24 tahun ini pada Ahad (8/12/2024) kabur ke Moskow, Rusia. 

Lalu bagaimana Cina bisa berkembang sedemikian rupa sehingga memaksa Amerika harus mengalihkan fokus strateginya ke Negara Tirai Bambu ini? Bagaimana pula Rusia bisa bangkit menjadi negara penyeimbang Amerika? Kita akan bahas nanti. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat