Beliau bernama Ust Ismail Ali. Belum lama saya dekat dengan beliau. Baru empat hari. Pada Jumat (20/12) kami sama-sama berangkat ke Morowali Utara, Sulawesi Tengah, untuk membersamai PosDai Hidayatullah membawa bantuan ke Suku Taa Wana, suku tertua yang mendiami pedalaman Morowali Utara.
Penulis bersama Ust Ismail Ali. |
Perjalanan selama empat hari dimulai dari Palu, terus ke Poso, Luwuk, Toili, masuk ke pedalaman Desa Tanakuraya, Kecamatan Bungku Utara, hingga berujung di Desa Salubiro di lereng Gunung Tokala (ada juga yang menyebut Bente Bae).
Udara dingin dan berkabut di Desa Salubiro. Maklum, desa itu terletak pada ketinggian 550 dpl. Hujan turun sangat deras, memaksa kami harus bermalam di desa tersebut. Keesokan harinya barulah perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, karena kendaraan sudah tak mungkin lagi menembus tebalnya lumpur di sepanjang perjalanan.
Hampir lima jam berjalan membuat kami semua lelah. Kami tiba di pinggir anak sungai Bongka ketika hari sudah meninggalkan siang. Perkampungan Suku Wana yang akan kami datangi ada di seberang sungai. Perjalanan tinggal sedikit lagi, hanya perlu menyeberang saja. Namun, takdir Allah berkehendak lain atas diri Ust Ismail Ali. Tiba-tiba beliau berhenti berjalan, mengucap istighfar dengan suara tertahan, lalu roboh.
Kami menyangka beliau hanya pingsan karena kelelahan. Setelah tubuhnya kami baringkan di atas anjungan di pinggir sungai, barulah kami menyadari denyut jantungnya sudah tak ada. Tangan dan kakinya dingin. Nafasnya sudah tak terasa.
Innalillahi wainnailaihi rojiun. Ust Ismail Ali rupanya telah lebih dulu sampai pada akhir perjalanan hidupnya. Ada senyum tipis terlihat jelas dari raut wajahnya. Sementara kami, belum diperkenankan oleh Allah Ta'ala untuk mencapai akhir dari perjalanan ini.
Perjalanan selama empat hari bersama Ust Ismail Ali membuat saya merasa dekat dengan beliau. Dalam sebuah kesempatan beristirahat di rumah salah seorang penduduk di Toili, saya berbincang lama dengan beliau.
Rupanya, sosok sederhana ini menyimpan segudang teladan yang luar biasa. Meskipun hidup beliau sering bepindah-pindah karena tugas dakwah, namun semua dijalani dengan suka cita. "Saya hanya menjalani takdir Allah saja," jelasnya.
Jiwa sosial beliau juga tinggi. Terbukti, beliau aktif di tim SAR Hidayatullah. Beliau hadir di sejumlah bencana untuk menolong para korban. Sejatinya, perjalanan seperti ini adalah hal biasa buat beliau.
Ketika masih muda, beliau memiliki tekad yang kuat untuk belajar. Beliau menguasai bahasa Inggris dan Arab. Beliau juga menguasai komputer dan perangkat lunaknya. Semua dipelajari secara otodidak.
BACA JUGA: Berdakwalah, Jangan Ditunda-tunda!
Saat lahir anak pertama, Ust Ismail Ali masih kuliah di luar kota. Akibatnya, beliau harus terpisah dengan buah hatinya. "Saya takut anak saya tak kenal dengan saya. Tapi saya tidak punya pilihan lain," kata beliau.
Lalu ia tempelkan foto sang buah hati di dekat tempat tidurnya. "Setiap kali akan tidur, saya pandangi wajah anak saya. Muncul kembali semangat untuk belajar. Saya bangkit dan belajar lagi sampai saya ketiduran karena lelah," ceritanya.
Beliau juga cerita tentang sang isteri yang begitu memahami tugas beliau sebagai dai. "Isteri saya tidak pernah mempermasalahkan kalau saya sering ke luar kota. Bahkan, isteri saya tidak pernah marah kalau tiba-tiba saya harus pergi dan tidak sempat pamit," cerita beliau lagi.
Saya lalu menggoda beliau dengan bertanya, "Bagaimana dengan kepergian ke Suku Wana ini? Apa antum sempat berpamitan kepada isteri?"
"Ya, saya sudah pamitan. Isteri saya bilang, 'kalau abi merasa sehat, pergi saja'," jawab beliau sambil tersenyum.
Rupanya, itulah pamitan terakhir beliau kepada sang isteri. Beliau pergi dalam perjalanan dakwah yang indah. Semoga Allah Ta'ala merahmati dan mengampuni beliau, dan memasukkan beliau ke surga-Nya bersama para Nabi dan syuhada. Aamiiin. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat