Jumat, 10 Januari 2025

Antara Menyeru Kepada Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran

Umat Islam disebut oleh Allah Ta'ala sebagai umat terbaik karena tiga hal. Ini disebutkan dalam al-Qur'an surat Ali Imron ayat 110. 


كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dengan demikian, kita sebagai umat Islam disebutkan oleh Allah Ta'ala sebagai umat terbaik karena kita menyeru kepada yang ma'ruf atau mendakwahkan kebaikan, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah Ta'ala.

Untuk perkara mendakwahkan kebaikan (ma'ruf), kita hanya ditugaskan sekadar menyampaikan saja. Kita tidak ditargetkan hingga orang yang kita dakwahi berubah menjadi baik. Sebab, hidayah adalah hak Allah Ta'ala

Namun, untuk perkara mencegah kemungkaran, kita diberikan beberapa pilihan, bukan sekadar satu pilihan saja. Dalam salah satu Hadits Arbain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (saw.) berkata, "Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisanmu. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatimu. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman." (Riwayat Muslim).


Jadi, dalam perkara mencegah kemungkaran, jika kita punya kekuasaan untuk mengubah kemungkaran, maka ubahlah dengan kekuasaan. Misal, seorang ayah tentu punya kekuasaan atas anak-anaknya. Atau, seorang pemimpin pasti punya kekuasaan atas bawahannya.  

Demikian pula seorang yang kuat akan punya kekuasaan untuk mengubah orang-orang yang lebih lemah. Rasulullah saw. pernah melakukan cara ini. Ketika Islam telah kuat di Madinah, beliau kembali ke Makkah membawa 10 ribu pasukan untuk menghancurkan semua berhala di sekitar Ka'bah. Beliau juga beberapa kali mengutus pasukan untuk memerangi kelompok-kelompok yang benar-benar menetang Islam.

Ini sejalan dengan seruan Allah Ta'ala dalam al-Quran surat al-Anfal [8] ayat 39:

وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari berbuat zalim), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan." 

Namun, jika kekuasaan itu tak kita miliki, maka kita masih bisa mengubah kemungkaran dengan nasehat yang ma'ruf. Ini juga dilakukan oleh Rasulullah saw., utamanya setelah turun perintah berdakwah dari Allah Ta'ala secara terang-terangan.

Rasulullah saw. juga mendakwahkan Islam kepada para penguasa di sekitar Madinah dengan cara berkirim surat. Beberapa penguasa yang beliau kirimi surat adalah Raja Najasy, Kaisar Heraklius, Raja Ghassan, Penguasa Yamamah, dan Raja Oman.

Dan, jika kita tak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan atau dengan lisan, maka cukup kita ingkari saja di dalam hati. Ini dilakukan oleh Rasulullah saw. beberapa saat setelah peristiwa kenabian. Beliau tidak langsung berdakwah secara terang-terangan, namun sembunyi-sembunyi. Tentu saja ini beliau lakukan agar dakwah bisa terus berlangsung dalam jangka panjang.

Namun, dakwah butuh kebijaksanaan. Adakalanya kita mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, namun tidak kita lakukan karena kita tahu hal tersebut justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atas dakwah. Atau sebaliknya, jika kita bersabar dan menahan diri, justru kebajikan atas dakwah akan datang lebih besar. 

Syaikh Bin Bâz pernah berkata, "Kekerasan hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah." 

Dikisahkan dalam Jaami al-Ulum wa al-Hikam bahwa para murid Ibnu Masud, setiap kali melewati sekelompok orang yang mereka pandang sedang berbuat jelek, maka mereka berkata kepada sesama mereka, "Tak perlu tergesa-gesa, tak perlu tergesa-gesa, semoga Allah merahmati kalian."

Yang juga menarik, ketika Rasulullah saw. berdakwah di Thaif, beliau dihina dan disakiti oleh penduduk negeri itu. Namun, beliau justru tidak menghendaki kehancuran penduduk Thaif meskipun beliau punya kesempatan untuk itu. 

Beliau menolak tawaran malaikat penjaga gunung untuk meluluhlantahkan Thaif dengan berkata, "Aku masih berharap agar Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang hanya menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun." 

Dakwah juga butuh kelembutan. Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Hendaklah memerintah pada yang makruf dan melarang dari kemungkaran dengan tiga hal. Pertama, lemah lembut ketika memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Kedua, bersikap adil ketika memerintah dan melarang. Dan ketiga, berilmu pada apa yang diperintahkan dan yang akan dilarang," (Jaami al-Ulum wa al-Hikam).


Terakhir, dalam berdakwah, baik menyeru kepada kepada kebaikan, maupun mencegak kepada kemungkaran,  perlu kesabaran. Bahkan secara khusus, Allah Ta'ala menempatkan kata sabar (shobr) bersandingan dengan kata haq (kebenaran) dalam surat al-Asr [103]. Wa tawaashou bil haqqi wa tawaashou bish-shobr. 

Harus kita akui, menyeru kepada kebaikan memang tak mudah. Terlebih melarang kepada kemungkaran. Banyak yang akan menentangnya, apalagi bila mereka sudah merasa terusik kenyamanannya, entah kepentingan duniawinya, atau kesenangan syahwatnya.  

Manusia yang sudah merasa nyaman dengan suatu keadaan cenderung mempertahankan keadaan itu. Bahkan, tak sedikit yang rela melakukan apa saja agar keadaan itu tak berubah. Mereka bahkan tak takut dengan azab Allah Ta’ala yang bisa memporakporadakan kenyamanan itu sewaktu-waktu.

Allah Ta’ala sudah mengingatkan hal ini dalam al-Qur'an surat Al A'raf [7] ayat 99, "...Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang datang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi."

Jadi, kalau bukan karena perintah bersabar, mana mungkin kita akan kuat mengajak orang-orang yang telah terlena ini untuk mengingat dan mematuhi Dzat yang mampu melenyapkan segala kenikmatan dalam sekejap? Bukti telah banyak terpapar di depan mata bagaimana para penyeru kebenaran ditentang, disakiti, diancam, bahkan dirampas kebebasannya.

Para penyeru kebaikan tak akan berhenti berdakwah karena mereka mengimani bahwa dengan cara itulah mereka akan menjadi umat terbaik di antara umat lain yang ada di muka bumi. 

Mereka juga mengimani bahwa jalan yang mereka tempuh tersebut, meski harus menghadapi banyak rintangan, justru lebih menguntungkan ketimbang kehidupan manusia yang bergelimang harta namun lalai. Bukankah dalam al-Quran surat al-Asr [103] Allah Ta’ala telah bersumpah demi waktu (wal ashr) bahwa seluruh manusia di muka bumi ini berada dalam kerugian kecuali para penyeru kebenaran yang di dadanya ada iman dan perbuaatannya senantiasa dipenuhi kebajikan (amal shaleh). ***


(Materi khutbah Jumat di Masjid An Nahl, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat pada 10 Januari 2025)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat