Sejak awal Perang Dingin, Amerika telah menjadi satu-satunya negara yang terhindar dari kerusakan serius akibat perang. Bahkan, mereka bisa mengakhiri perang dunia ke-2 dengan pertempuran laut terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia.
Pertempuran laut tersebut bernama Midway, karena terjadi di Midway Atoll, Kepulauan Hawaii, pada 4–7 Juni 1942, atau enam bulan setelah Pengeboman Pearl Harbor. Pertempuran tersebut dianggap titik balik Perang Dunia II di Pasifik yang membuat Amerika Serikat menguasai dominasi Sekutu di Pasifik, sekaligus membuat Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengalami kerugian besar.
Setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, praktis Perang Dingin dianggap usai. Tak lama kemudian Bill Clinton dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke-42. Proyek pertama Clinton adalah membangun tatanan demokrasi global dengan maksud menjatuhkan rezim penguasa yang telah bercokol lama di berbagai negara, termasuk sekutu-sekutu lamanya.
Negara-negara satelit Uni Soviet, sebagai contoh, setelah negara itu runtuh, digiring masuk ke dalam sistem negara demokrasi dan menjauh dari Uni Soviet (yang kemudian bermetamorfosis menjadi Rusia). Salah satu negara yang berhasil digiring adalah Ukraina.
Setelah Ukraina memisahkan diri dari Uni Sovyet, hubungan kedua negara itu kadang membaik, kadang memburuk. Ketika Ukraina membuka keinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO, hubungan kedua negara mulai memanas.
Hal yang sama juga terjadi di Asia Timur, Asia Tengah, hingga Asia Tenggara. Kejatuhan Soeharto, presiden kedua Indonesia, tak bisa dilepas dari agenda global Amerika Serikat. Permainan seorang spekulan bernama George Soros telah menyebabkan Indonesia mengalami krisis mata uang dan berdampak pada krisis ekonomi. Soeharto jatuh dan Indonesia menjadi negara demokrasi murni.
Proyek Amerika selanjutnya adalah masuk ke Irak dan Afghanistan. Irak akhirnya hancur lebur pada Perang Teluk pertama, sedang Afghanistan mereka taklukkan lewat sebuah "drama" bernama Tragedi 911. Semua itu terjadi dengan cepat, nyaris tanpa ada perlawanan dari negara-negara lain.
Amerika Serikat juga memaksakan paham neoliberalnya kepada dunia. Paham ini menekankan pada persaingan pasar bebas. Lewat paham ini, hambatan perdagangan dunia dirobohkan. Negara bukan lagi menjadi faktor berpengaruh terhadap perdagangan internasional. Amerika, sebagai penguasa dunia saat itu, sangat diuntungkan dengan paham ini.
Tahun 2008, dunia mengalami krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis yang terjadi di Amerika Serikat atau disebut juga krisis subprime mortgage. Krisis ini terjadi karena macetnya kredit perumahan warga Amerika. Awalnya, pemerintah Amerika Serikat ingin memudahkan warga negaranya untuk memiliki rumah. Bank kemudian memberikan kredit kepada siapa pun, bahkan pada orang yang kapasitas ekonominya di bawah standar. Suku bunga yang diberikan rendah. Akibatnya, beberapa bank dan lembaga keuangan kolaps. Harga pasar saham di dunia turun.
Di sisi lain, paham neoliberal yang digembar-gemborkan Amerika Serikat tak bisa lagi dipertahankan karena kandungan kezalimannya begitu besar. Neoliberalisme, mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah aliran politik ekonomi yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pasar dan pihak swasta, serta menekan campur tangan pemerintah dalam mengendalikan ekonomi. Sebagai contoh, dalam paham neoliberalisme, pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan gaji, upah, dan jaminan sosial seorang pekerja. Urusan tersebut murni diserahkan kepada pemilik kerja dan pekerjanya.
Bersamaan dengan itu, muncullah dua kekuatan baru, yakni Cina dan Rusia. Supremasi tunggal Amerika Serikat mulai goyah. Tantangan secara ekonomi muncul dari Cina, sedang tantangan secara militer muncul dari dari Rusia.
Terlebih lagi, pada tahun 2008 tersebut, terjadi perubahan kesepakatan pemakaian senjata nuklir. Negara-negara yang tadinya telah setuju untuk membatasi penggunaan senjata nuklir, tiba-tiba membatalkan kesepakatan tersebut.
Sejak itu, baik Amerika, Rusia, maupun Cina, sama-sama berlomba memodernisasi pertahanan lewat senjata nuklir. Bahkan, Presiden Rusia, Vladimir Putin, pernah berseloroh dengan sombongnya, sebagaimana dikutip oleh Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Anis Matta, dalam sebuah ceramah, "Jika ada serangan ke Rusia, maka kalian hanya punya waktu dua menit untuk bertaubat." Rusia kian memantapkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang Amerika.
Agaknya, kemelut global semakin lama semakin memanas. Lantas bagaimana dengan kita? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat