Minggu, 02 November 2025

Kekuasaan, Unsur Fundamental dari Peradaban

Ibnu Khaldun, dalam karya monumentalnya, Muqaddimah, mengemukakan bahwa kekuasaan (al-mulk) merupakan unsur fundamental dari terbentuknya peradaban (ʿumrān). 


Mengapa? Sebab, kehidupan manusia tak dapat berjalan tanpa adanya kerja sama (ta‘āwun), dan kerja sama pasti memerlukan otoritas yang mengatur serta menegakkan keadilan dan ketertiban. Otoritas inilah kekuasaan, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan politik.

Manusia, menurut Ibnu Khaldun, secara fitrah adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok. Namun, karena setiap manusia memiliki nafsu dan kepentingan, mereka berpotensi saling menzalimi. Karena itu dibutuhkan kekuasaan untuk mencegah kezaliman dan mengatur hubungan antarindividu.

Lagi pula, Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk memilih pemimpin bila sedang berpergian meskipun hanya tiga orang. Hadits tersebut berbunyi, " Apabila tiga orang keluar (berpergian) bersama, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin," (Riwayat Abu Dawud, dan dinilai hasan oleh sebagian ulama seperti Albani).

Di sisi lain, jelas Ibnu Khaldun, kekuasaan adalah ṭabī‘iyyun fī al-insān atau sesuatu yang alami bagi manusia. Dari kekuasaan inilah muncul negara (daulah). Dan, dari negara yang stabil lahirlah peradaban (ʿumrān).

Peradaban Islam, khususnya di masa Rasukullah SAW, juga dibangun dengan kekuasaan. Namun, kekuasaan tesebut tidak didapatkan dari penaklukan, apalagi penjajahan. Kekuasaan tersebut diserahkan secara sukarela oleh masyarakat Madinah kepada Rasulullah SAW dengan tujuan agar mereka bisa hidup lebih baik dari peradaban sebelumnya. 

Setelah Madinah berdiri, peradaban Islam meluas melalui sejumlah futūḥāt  (pembuka). Istilha futūḥāt jelas berbeda dengan penaklukan. Futūḥāt (الفتوحات) berasal dari akar kata ف ت ح (fataḥa) yang berarti membuka. Jadi, futūḥāt tidak selalu identik dengan peperangan atau kekerasan, tetapi bisa bermakna terbukanya pintu-pintu rahmat dan hidayah. 

Tujuan futūḥāt, bukan sekadar memperluas wilayah, melainkan membuka akses bagi masyarakat terhadap ajaran Islam (dakwah, keadilan, dan tatanan sosial baru) yang selama ini ditutup rapat oleh orang-orang kafir.

Contoh futūḥāt adalah pembebasan Makkah (Futūḥ Makkah) pada tahun 8 H. Pembebasan ini bukanlah penaklukan berdarah, bahkan hampir tanpa perlawanan. 

Justru dalam futūḥāt ini Rasulullah SAW mengampuni musuh-musuhnya. Ini menunjukkan semangat futūḥ sebagai pembukaan hati dan kota kepada Islam, bukan dominasi militer. 

Lalu bagaimana dengan cita-cita sebagian besar umat Islam, baik yang terhimpun dalam organisasi Islam atau sendiri-sendiri, untuk membangun peradaban Islam di negaranya atau di muka bumi? Kita akan bahas kembali nanti! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat