Mari kita bayangkan ketika ada seseorang membawa sesuatu yang baru kepada kita dan mengajak kita untuk memilikinya. Atau, ada seseorang yang memperkenalkan suatu kegiatan kepada kita dan mengajak kita untuk terlibat di dalamnya.
Bayangkan pula bahwa kita paham apa yang dibawa oleh orang tersebut adalah baik, bahkan bermanfaat untuk kita di masa depan. Atau, bayangkan bahwa kita tahu kegiatan yang diperkenalkan kepada kita bukanlah kegiatan yang buruk, bahkan bermanfaat untuk kita dan orang banyak di masa depan.
Namun, karena sesuatu hal, kita tidak mau memiliki sesuatu yang ditawarkan tersebut. Atau, kita tak bersedia ikut dalam kegiatan yang diperkenalkan kepada kita, lagi-lagi karena sesuatu hal.
BACA JUGA: Bermain-main dengan Keragu-raguan
Lalu kita saksikan berbondong-bondong orang tertarik memiliki sesuatu yang tadi ditawarkan kepada kita. Alasannya tentu karena tahu itu baik. Atau, kita lihat banyak orang yang bersedia ikut dalam kegiatan yang tadi diperkenalkan kepada kita. Alasannya, lagi-lagi karena paham banyak hal positif di dalamnya.
Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita akan ikut dengan mereka atau tetap bersikukuh dengan sikap penolakan kita?
Memang ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, kita akhirnya luluh lalu mau menerima barang yang ditawarkan tersebut, atau bersedia ikut kegiatan yang diperkenalkan kepada kita.
Tentu saja pilihan ini kita ambil setelah mempelajari lebih dalam tentang barang yang ditawarkan kepada kita, lalu menimbang-nimbang mana yang lebih menguntungkan: barang tersebut atau sesuatu yang menghalangi kita untuk memiliki barang itu?
Kemungkinan kedua, kita bersikukuh untuk tidak menerima barang tersebut atau ajakan untuk bergabung dalam kegiatan yang ditawarkan kepada kita. Pilihan ini, sebagaimana kemungkinan pertama tadi, tentu saja kita ambil setelah banyak menimbang-nimbang.
Kita paham bahwa barang itu baik untuk kita, baik pula untuk masa depan kita. Namun, sesuatu yang menghalangi lebih kuat dari pada daya tarik barang tersebut. Akhirnya, kita menutup mata terhadap barang tersebut, menutup telinga, lalu berpaling dan berlalu.
Begitulah Islam dengan konsep tauhidnya. Siapa pun yang mau berpikir, merenung, mengkaji lebih dalam tentang Islam, pasti tak akan bisa membantah bahwa ini agama yang benar. Sebab, Islam adalah agama fitrah. Tak ada sedikit pun ajaran Islam yang menyelisihi fitrah manusia.
Namun, sebagian manusia tak mau mempelajarinya, enggan mendalaminya, malas mengkajinya. Sebagian yang lain paham bahwa Islam adalah agama fitrah, namun menolak untuk memeluknya karena alasan sesuatu yang dianggap lebih penting.
Dan, uniknya, jumlah manusia seperti ini tidak sedikit. Lalu bagaimana dengan kita?
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat