Sabtu, 10 Februari 2024

Mencoba Membaca Peta Pilpres 2024

Ketika saya menulis ini, gegap gempita kampanye di Jakarta International Stadium (JIS) dan Gelora Bung Karno (GBK) baru saja usai. Hari ini, 10 Februari 2024, kampanye tiga pasang capres dan cawapres yang akan berlaga di pemilu 2024 berakhir. Dua pasang di Jakarta, Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (di JIS), dan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming (di GBK), serta satu pasangan, Ganjar Pranowo - Mahfud MD,  di Jawa Tengah.

Kawat-kawat berduri telah dipasang di depan kantor KPU di Jl Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat pasca pemilu presiden 2019. Kawat-kawat ini dipasang untuk mengantispasi gelombang protes atas pelaksanaan pemilu pada tahun itu.

Siapa yang akan menang? Tentu kita hanya bisa menebak. Soal peluang tebakan kita benar, sulit dikalkulasi. Sebab, dalam politik, semua bisa berubah begitu cepat. Variabel yang menentukan begitu banyak. 

Sebenarnya, saya jarang sekali membuat tulisan seputar politik di blog ini menjelang pemilu, baik tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya. Tapi malam ini saya ingin sekali menulis tentang ini. Apalagi beberapa hari belakangan, saya cukup sering mendengarkan podcast tentang politik, juga berdiskusi dengan beberapa orang yang memiliki info valid seputar pemilu. Tangan saya menjadi "gatal" untuk menulis tentang ini. 

Jadi, izinkan saya sedikit menganalisa peta politik menjelang pilpres 2024, setidaknya meninggalkan jejak yang nanti bisa dibaca oleh generasi mendatang. Bismillah.


Pertama, saya menebak bahwa pemilu ini akan berlangsung dua putaran. Tentang ini tentu banyak pengamat yang sepaham, meskipun kubu pasangan 02 sejak awal sering sekali menggembar-gemborkan keyakinan bahwa pemilu akan berjalan satu putaran.

Berbagai survei --meskipun tidak semuanya-- juga menyatakan sebagaimana yang saya katakan tadi. Perolehan suara kubu 02 disinyalir di bawah 50 persen. Bahkan, seorang sahabat jurnalis yang memiliki kedekatan dengan sumber di istana bercerita bahwa survei di internal pasangan 02 menunjukkan perolehan pasangan tersebut tidak mencapai 40 persen. Itu artinya, berat sekali bagi pasangan 02 untuk mewujudkan pemilu satu putaran.

Podcast Bocor Alus milik Tempo juga membahas soal ini. Menurut penelusuran mereka, setelah mendapati hasil survei yang anjlok seperti ini, Jokowi --yang juga Presiden Republik Indonesia-- sempat marah dan memanggil semua ketua partai koalisi 02 untuk membahas hal tersebut. 

Kedua, siapa yang akan maju ke putaran kedua? Saya menebak jawabannya kubu 01 dan 02. Mengapa? Beberapa survei menunjukkan hal itu. Kubu 02 di peringkat pertama, disusul 01, lalu kubu 03 di posisi buncit. Lagi pula, jika kita simak sejumlah tayangan di media massa, lalu kita bandingkan kedua kubu ini, terlihat bahwa pasangan 01 memang lebih unggul dibanding 03.

Alasan lain, kubu 02 yang didukung oleh istana dan otomatis memiliki "daya dukung" paling besar dibanding dua pasangan lainnya tentu saja lebih senang bertarung dengan kubu 01 di putaran kedua nanti ketimbang 03. Secara "ideologi", kubu 02 dan 03 mirip. Bahkan, kebanyakan pemilih baru di kubu 02 adalah pecahan dari pemilih di kubu 03. Hal ini sudah banyak dibahas oleh para pengamat politik di media massa. 

Di sisi lain, kubu 02 tak sekadar punya kemampuan untuk memenangkan putaran pertama, tapi juga punya kemampuan untuk "menahan" salah satu kubu agar tidak masuk ke putaran kedua. Ya, siapa lagi yang akan mereka tahan kalau bukan kubu 03.

Dalam sebuah podcast, Andi Widjajanto, putra politisi senior PDI-P Theo Syafii dan mantan Ketua Lemhanas mengatakan, ia pernah dipanggil oleh Presiden Jokowi beberapa hari sebelum pengumuman capres kubu 02. Kala itu Jokowi mengatakan bahwa suara PDI Perjuangan akan turun. "Dalam hati saya (mengatakan), lho bapak masih kader (PDI-P), mengapa membuat rencana untuk menurunkan suara partai sendiri?" kata Andi. 

Salah seorang politisi yang juga dekat dengan kubu 02, Romahurmuziy mengungkapkan hal senada di podcast yang lain. Menurutnya, kubu 02 secara diam-diam telah "membantu" memuluskan kubu 01 melaju ke putaran kedua. Mereka bisa melakukan hal ini karena "daya dukung" mereka memungkinkan untuk itu. Bukankah mereka didukung oleh penguasa?

Baiklah! Kita anggap saja asumsi ini benar bahwa 01 dan 02 akan maju ke putaran kedua, lantas apa yang akan terjadi selanjutnya? Inilah yang akan kita bahas dalam poin ketiga, yakni bagaimana peta politik pada putaran kedua nanti. Ini lebih seru!


Namun, sebelum itu, izinkan saya menceritakan strategi "gas dan rem" yang diterapkan kubu 02 kepada kubu 03. Gas tentu saja identik dengan "melaju" atau "melawan", sedang rem identik dengan "mengurangi  laju" atau "menahan diri".

Mengapa saya lebih banyak mengupas kubu 02 ketimbang yang lain? Tentu bukan karena saya pro 02. Sama sekali bukan! Ini semata karena ada cukup banyak kisah menarik di kubu ini. Akan banyak pelajaran yang bisa kita petik dari dinamika yang dibuat kubu ini. Jika Anda sepakat, teruslah membaca ulasan ini sampai selesai. Jika tak sepakat, silahkan berhenti sampai alinea ini.

Baik, kita lanjutkan! 

Meskipun kubu 02 tak suka kubu 03 maju ke putaran kedua, namun di sisi lain, mereka juga berharap kubu 03 akan berkoalisi bersama mereka di putaran kedua nanti. Artinya, selama di putaran pertama, tak selamanya mereka ngegas sampai kencang. Adakalanya mereka menahan diri, bahkan berusaha menggandeng kubu 03. Apalagi setelah survei internal menunjukkan pemilu tak akan bisa berjalan satu putaran.

Hal ini setidaknya terlihat dari keinginan Jokowi untuk bertemu Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, beberapa pekan sebelum kampanye akbar terakhir Sabtu (10/2/2014). Tentang keinginan pertemuan ini telah dibahas cukup detil di podcast Bocor Alus Tempo

Dikisahkan bahwa misi melobi Megawati diemban oleh Pratikno yang juga Menteri Sekretaris Negara lewat sejumlah koleganya di PDI-P. Tak sekadar itu, Jokowi juga mengirimkan karangan bunga anggrek bulan berwarna ungu kepada Megawati yang berulang tahun ke 77 pada Selasa (23/1/2024). Konon, bunga anggrek adalah kesukaan Megawati. Namun, keinginan Jokowi tersebut tak mendapat respon positif dari Megawati. Sampai artikel ini ditulis, pertemuan itu tak pernah terlaksana.

Seorang sahabat jurnalis yang dekat dengan narasumber istana mengatakan Ganjar Pranowo, capres 03, pernah bertemu Jokowi atas restu Bu Mega. Sayangnya, tak ada informasi tentang apa yang mereka bicarakan dalam pertemuan tersebut. Hanya saja, kalau benar mereka bertemu, itu bukan hal aneh. Kedekatan Jokowi dengan Ganjar sudah terjalin sejak lama, bahkan sejak tahun 2022, 

Jokowi-lah yang mendorong Ganjar agar maju sebagai calon presiden dari PDIP. Padahal ketika itu, PDIP sama sekali belum menentukan siapa calonnya. Hal ini sempat membuat hubungan Jokowi dan Megawati agak renggang.

Ganjar sendiri, dalam podcast yang dipandu Akbar Faisal mengungkapkan kedekatannya dengan Jokowi selama ini dan ia sama sekali tidak marah ketika Jokowi beralih dukungannya kepada pasangan Prabowo-Gibran. Ganjar juga mengaku sangat cocok dengan rencana-rencana yang diusung Jokowi. Bahkan ia berjanji akan melanjutkan sejumlah program yang dilakukan Jokowi bila nanti terpilih menjadi presiden, termasuk proyek IKN.

Kita kembali ke anggapan bahwa 01 dan 02 akan maju ke putaran kedua. Pertanyaannya, ke mana kubu 03 akan berpihak? Berhasilkah pasangan Prabowo dan Gibran dibantu Jokowi menarik kubu 03 bergabung bersama mereka?

BACA JUGA: Diskualifikasi

Tentu tak mudah menebaknya. Megawati sendiri sudah terlanjur sakit hati dengan Jokowi yang juga kader PDI-P. Setidaknya ada tiga peristiwa yang membuat rasa sakit hati itu terasa mendalam. Pertama, ketika Jokowi mendorong Ganjar untuk menjadi capres padahal Megawati sama sekali belum membuat keputusan.

Kedua, ketika muncul wacana di publik tentang masa jabatan presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, hingga penundaan pemilu. Megawati sangat menentang wacana-wacana tersebut.

Ketiga, ini sebagai puncaknya, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk melenggangkan Gibran, putra Jokowi, untuk maju sebagai cawapres Prabowo. Setelah deklarasi pasangan Prabowo-Gibran, PDI-P tak lagi mengikutsertakan Jokowi dalam kegiatan partai, termasuk saat hari ulang tahun PDI-P pada Rabu (10 Januari 2024).

Namun di sisi lain, andai PDI-P akan berkoalisi dengan salah satu kubu, tentu mereka tak akan memilih kubu yang berpotensi kalah. Di mata mereka, kubu yang didukung penuh oleh penguasa pastilah paling berpeluang untuk menang. Apalagi secara formal Gibran masih berstatus kader PDI-P. Faktanya sampai hari ini, kartu keanggotaan Gibran di partai itu tak pernah dicabut oleh PDI-P.

Jadi, bagaimana peluang kubu 03 bergabung dengan 02? "Fifty-fifty," kata sahabat saya seorang jurnalis senior yang dekat dengan sumber istana. Saya sendiri lebih condong untuk mengatakan bahwa kubu 03 pada akhirnya tak memihak ke mana-mana. Sebab, rasa sakit hati Megawati bakal menghalangi PDI-P bergabung dengan kubu 02 lalu mendukung kader yang dinilainya telah berkhianat itu.

Sementara PDI-P juga sulit bergabung dengan kubu 01. Selain secara ideologi mereka berbeda, PDI-P juga belum pernah mendukung pasangan capres dan cawapres yang bukan berasal dari partai mereka. Jika mereka kalah di putaran pertama atau kedua, mereka selalu menjadi oposisi.

Nah, jika skenario ini terjadi --kubu 01 akan berhadapan dengan kubu 02-- maka polarisasi kemungkinan akan kembali mengental sebagaimana pemilu tahun 2019. Mungkin saja skenario ini yang diinginkan Jokowi. Sebab, ia sudah berpengalaman bagaimana "mempecundangi" kubu lawan di 2019.

Namun, Jokowi lupa, bahwa pada tahun ini polarisasi akan berbeda. Tak lagi sekadar perbedaan antara "kadrun" dan "kampret" sebagaimana lima tahun lalu. Kali ini, perbedaan akan lebih luas. Sejak awal pilpres telah muncul --bahkan bergema-- narasi-narasi seperti "penjahat demokrasi", "dinasti politik", "kecurangan terstruktur," bahkan "pengkhianat demokrasi". 

Narasi-narasi ini dibuat oleh mereka yang telah membuang jauh istilah "kadrun" dan "kampret". Narasi-narasi ini dibuat oleh mereka yang gelisah, bahkan marah, dan dialamatkan ke kubu 02. Narasi-narasi ini bukan tanpa alasan dan tanpa data-data penunjang. Ini semua jelas akan menjadi batu sandung yang tak mudah disingkirkan.

Jadi, "pesta demokrasi" di putaran kedua ini akan jauh lebih "semarak", baik dibanding putaran pertama, atau dibanding tahun 2019. Semoga negara ini baik-baik saja. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat