Selasa, 13 Februari 2024

Dirty Vote dan Perut yang Terasa Mual

Setelah menonton film dokumenter Dirty Vote di hari peluncurannya, Ahad (11/2), saya berceloteh di grup WA yang beranggotakan para wartawan senior dan mantan wartawan. 

Potongan film dokumenter Dirty Vote.

"Film ini memang menarik. Banyak data yang ditampilkan. Namun pembawaan ketiga dosen (pemandu acara) kaku. Tidak ada senyum. Terkesan serius banget."

Celoteh saya ini langsung ditimpali oleh rekan-rekan saya di grup tersebut. "Mereka bukan artis, jadi harap maklum," kata seorang teman, mantan wartawan koran nasional yang sekarang menjadi dosen jurnalistik di Bandung, Jawa Barat.

"Yaelah, namanya juga dosen. Kalau mau (nonton) yang aktingnya bagus, nonton film Pengabdi Setan saja," kata teman yang lain, mantan wartawan yang sekarang juga menjadi dosen di Depok, Jawa Barat.

Tentu saya tidak bermaksud mengatakan kalau film dokumenter tersebut jelek. Sama sekali tidak! Saya salut dengan kegigihan orang-orang yang telah bersusah payah mengumpulkan semua data menarik dalam film tersebut. Data-data itu telah membuat banyak orang gusar. Mungkin mereka tersentil, atau tertampar, dengan film itu.


Tiga pembawa acaranya ---Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari-- sangat kredibel. Mereka pakar hukum tata negara sekaligus dosen. Data dan analisa ilmiah adalah dunia mereka.

Saya mengkritik film itu hanya karena terbiasa menonton beberapa podcast yang dibawakan dengan santai dan diselingi senyum dan gelak tawa. Jadi, ketika disuguhkan tayangan serius seperti itu, seketika saya "protes". Bukan pada substansinya, tapi pada kemasannya.

Tapi, setelah saya pikir-pikir, rasanya tidak mungkin sutradara sekaliber Dandhy Dwi Laksono yang pernah sukses membuat film dokumenter Sexy Killer tak paham dengan hal tersebut. Apalagi film ini dibuat dengan menggandeng sejumlah kelompok masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch, Greenpeace Indonesia, Jaringan Anti Tambang, dan Aliansi Jurnalis Independen

Tak heran bila seorang jurnalis --juga di grup WA tempat saya berdiskusi tadi -- bercerita tentang temannya yang menonton film dokumenter ini. "Di menit ke-51 dia memutuskan berhenti menonton karena secara fisik dia sampe mual. Padahal dia (seorang) psikolog yang seharusnya lebih bisa menata  perasaan." 

Jadi, saya yakin film dokumenter Dirty Vote memang sengaja dikemas serius. Sebab, data-data yang mereka suguhkan mereka yakini bakal berdampak sangat serius pada bangsa ini. 

Pesan serius tersebut harus ditangkap dengan baik oleh pemirsa dan disikapi secara serius pula oleh siapa saja yang menonton film ini. Bukan disikapi dengan cengar-cengir, apalagi joget-joget.

Itu barangkali yang diinginkan oleh Dandhy, dan mungkin juga sebagian besar bangsa ini. Salut! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat