Jumat, 03 Juni 2022

Saat Seorang Ayah Harus Kehilangan Putranya

Dulu, duluuu sekali. Ada seorang ayah yang kehilangan putra kesayangannya. Sang putra hanyut terbawa air dan hilang. Padahal, ia putra satu-satunya ketika itu.


Nama sang ayah adalah Nuh Alaihissalam (AS), sedang sang putra adalah Kan'an. 

Yang menyedihkan, peristiwa hanyutnya sang putra terjadi di depan mata sang ayah. Saat itu, gelombang besar telah menyapu daratan.  Sang ayah berhasil selamat karena telah diperintahkan oleh Sang Maha Pencipta untuk naik ke atas bahtera. Namun, sang anak tidak terselamatkan!

Sebelum gelombang besar benar-benar berhasil merenggut nyawa sang anak, Nuh AS sudah berteriak memanggil-manggil putranya. "Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami," (Hud [11]: 42).  

Namun, sang anak tak mau memenuhi ajakan ayahnya. Ia bahkan menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah," (Hud [11]: 43).

Nuh AS jelas merasa tersayat-sayat mendengar jawaban anaknya. Tak ada ayah yang tega melihat darah dagingnya sendiri kepayahan menyelamatkan diri dari gelombang yang ganas, meskipun sang anak telah membangkang perintah sang ayah. 

Lalu Nuh AS berteriak lagi, "Tidak ada yang dapat melindungimu dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang," (Hud [11]: 43).

ٍٍSang anak tetap tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Ia hanyut terbawa gelombang yang sangat tinggi. Nuh AS sedih. Hatinya pilu. Bahkan, dalam kisah selanjutnya diceritakan bagaimana Nuh AS seolah-olah "protes" kepada Allah Ta'ala atas kejadian itu.

Begitulah naluri seorang ayah, juga seorang Nabi. Meskipun anaknya nyata-nyata membangkang perintahnya, namun ia tetaplah merasa sedih ketika putranya hilang dari dirinya. 

Apalagi bila seorang ayah --yang hanya manusia biasa-- harus kehilangan seorang putra yang berbakti. Rasa pilu itu jelas akan lebih menyayat. Kami semua, para ayah, bisa merasakannya ...***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat