Jika ada arus yang dimulai dari belajar dan mengimani Islam secara benar, kemudian berdakwah dan berusaha sabar dengan benturan yang diakibatkannya, lalu bergabung dalam shaf perjuangan untuk tegaknya Islam secara kaffah, lantas ke mana muara dari arus tersebut?
Masjid Ar Riyadh, Pesantren Hidayatullah, Gunung Tembak, Balikpapan. |
Secara personal, kaum Muslim yang ikut dalam arus tersebut ---meski tak sampai kepada muara--- insya Allah akan bertemu dengan kampung halamannya di surga. Itulah cita-cita tertinggi umat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam (SAW).
Namun, setelah kita tiada, arus tersebut masih akan ada dan pejuangan tetap akan dilanjutkan oleh kaum Muslim yang lain. Lantas, ke mana dan seperti apa muara dari arus perjuangan yang panjang itu?
Secara sederhana, jawaban dari pertanyaan di atas adalah tercapainya sebuah kondisi di mana Islam tegak secara kaffah.
Lalu, muncul pertanyaan baru: seperti apa wujudnya?
Untuk menjawab ini tentu acuan kita adalah kisah perjuangan Rasulullah SAW yang dimulai dari Makkah.
Setelah Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, kemudian berdakwah di Makkah selama lebih kurang 13 tahun, lalu hijrah ke Madinah dan mendakwahkan Islam di sana selama lebih kurang 10 tahun, maka pahamlah kita bahwa muara dari perjuangan Rasulullah SAW adalah terbangunnya Madinah.
Namun, kita juga harus paham bahwa Madinah --sebagai sebuah wilayah-- bukanlah unsur paling penting dari perjuangan Rasulullah SAW. Sebab, Madinah hanyalah sebuah tempat. Justru yang jauh lebih penting dari sekadar tempat adalah peradaban yang terbangun di dalamnya. Itulah peradaban Islam.
Jadi, jika kisah sukses Rasulullah SAW ini menjadi acuan maka muara dari arus perjuangan yang panjang ini adalah tegaknya peradaban Islam sebagaimana dulu Rasulullah SAW menegakkannya di Madinah.
Makna Peradaban
Istilah peradaban Islam sesungguhnya bisa dirunut dari asal kata adab. Dalam Kitab Mujam al-Washit disebutkan bahwa kata adab berasal dari adduba dan taaddaba, yang artinya mendidik seseorang dengan akhlak yang baik.
Jadi, orang yang berilmu, halus tutur katanya, berkesusastraan tinggi, berakhlak mulia, disebut sebagai adib (orang yang beradab). Sebaliknya, orang yang kasar, tidak memiliki sopan santun, tidak berperikemanusiaan, disebut qaliil ul adab (orang yang kurang adab atau tidak beradab)
Namun, dalam bahasa Arab, kata peradaban lebih tepat bila disandingkan dengan kata al-hadharah. Artinya, orang yang memiliki adab yang baik. Lawan katanya adalah al-badawah (Badui) atau orang yang tidak memiliki adab.
Serumpun dengan itu, kata peradaban bisa juga bermakna al-hadhirah, artinya kota. Lawan kata al-hadirah adalah al-badiyah, artinya desa. Kata lainnya adalah al-hadhar, artinya orang kota. Anonimnya, al-badw, artinya orang Badui, atau orang desa.
Orang Badui, dalam komunitas orang-orang Arab, dikenal bersikap keras, kasar, kaku, dan bodoh. Mereka tidak berpendidikan dan tidak bisa baca tulis.
BACA JUGA: Jangan Merasa Aneh Bila Dunia Tak Sempurna
Tak seorang Rasul pun yang berasal dari kalangan Badwi. Mengapa? Beberapa ahli tafsir memberi argumentasi, di antaranya Imam Ibn Zaid, bahwa penduduk kota (al-hadhar) lebih berpendidikan dan lebih sopan dari pada penduduk Badwi (al-badw).
Bahkan, para ulama berpendapat bahwa hukum menjadi orang Badwi itu makruh. Hukum ini bisa berubah menjadi haram bila orang yang telah hijrah menjadi orang kota kembali menjadi orang Badwi.
Orang-orang Malaysia jarang menggunakan kata "peradaban". Mereka lebih memilih kata tamadun. Sedang orang Turki menyebutnya medeniyet, dan orang Iran menyebutnya tamdun. Tidak ada negara yang menggunakan istilah "peradaban" yang berakar dari kata Bahasa Arab ‘adaba’ selain Indonesia.
Jadi, menilik dari definisi tersebut, hakikat sebuah peradaban bukanlah sekadar tempat atau wilayah. Bukan pula sekadar manusia atau kelompok manusia. Peradaban sesungguhnya lahir dari sesuatu yang bersifat spiritual sehingga ia merupakan manifestasi dari sebuah keyakinan dan ideologi.
Dengan demikian jelaslah bahwa membangun manusia yang beradab bagi kaum Muslim menjadi sebuah keharusan. Ini pula yang dilakukan oleh Muhammad SAW pada masa awal kenabian.
Beliau berdakwah kepada orang-orang terdekatnya, lalu mentarbiyah mereka, sehingga mereka menjadi pribadi yang beriman. Iman inilah yang mengantar mereka menjadi pribadi yang beradab, jauh dibanding sebelumnya ketika mereka masih jahiliah.
Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah SAW saat di Madinah setelah hijrah. Beliau membangun manusia-manusia yang beradab di negeri itu dengan konsep wahyu, konsep yang datang dari Sang Pemilik Kehidupan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat