Pada penghujung 2024, saya menerima ajakan dari PosDai Hidayatullah untuk mengunjungi masyarakat Suku Wana, atau biasa disebut Tau Taa Wana, suku tertua yang mendiami pedalaman Provinsi Sulawesi Tengah bagian timur.
![]() |
Penulis dan Ust Muhaimin saat berada di Kecamatan Salubiro, Sulteng. |
Kebanyakan masyarakat suku ini masih mengembara di hutan-hutan. Karena itulah mereka dipanggi Tau Taa Wana, yang berarti orang yang tinggal di hutan. Mereka biasanya tak suka menetap lama di satu tempat. Mereka sering bepindah-pindah.
Namun, sebagian kecil masyarakat Suku Wana sudah ada yang mendatangi perkampungan. Bahkan, mereka menetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Salah satu dusun yang kerap dikunjungi masyarakat Suku Wana adalah Watu Marando. Di dusun ini juga sudah ada masyarakat Suku Wana yang menetap.
Dusun ini terletak di Desa Salubiro, Kecamatan Bungku Utara, Morowali Utara, tepatnya di lereng Gunung Tokala dengan ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut (mdpl). Di dusun itulah rencananya saya diajak menemui masyarakat Suku Wana oleh PosDai Hidayatullah.
Watu Marando memiliki arti batu yang berukir. Disebut demikian karena di dusun ini memang terdapat sebuah batu besar dengan bulatan-bulatan terstruktur pada permukaannya. Batu ini teronggok di tepi Sungai Bongka, sungai besar yang melewati dusun Watu Marando.
Sungai Bongka menjadi salah satu alternatif jalan menuju Dusun Watu Marando. Namun, masyarakat setempat jarang menggunakan jalur ini. Sebab, biaya perjalanan sudah pasti tak sedikit. Setidaknya, harus menyewa perahu.
Cara lain adalah lewat jalur darat. Namun, jalur darat jauh lebih menantang. Jika Anda tertarik mencobanya, Anda bisa memulainya dari Luwuk, Kabupaten Banggai, terus melaju ke Toili, menggunakan kendaraan mobil. Setelah itu Anda terus melaju ke Desa Tanukaraya.
Dari desa ini, Anda harus mengganti kendaraan dengan menggunakan motor. Sebab, jalanan yang dilewati mulai licin dan berlumpur. Belum lagi Anda harus menyeberangi beberapa sungai tanpa jembatan. Setelah mengendarai motor selama kurang lebih dua jam, melewati jalan tanah yang berbelok-belok, kadang mendaki, kadang menurun, Anda akan sampai di Desa Salubiro.
Perjalanan belum selesai. Dari desa ini, Anda harus berjalan kaki menaiki lereng gunung selama kurang lebih empat jam, barulah Anda akan tiba di pinggir anak Sungai Bongka. Di seberang sungai inilah dusun Watu Marando berada.
Perjalanan akan lebih sulit jika musim hujan tiba. Sebab, jalanan akan berubah menjadi kubangan lumpur. "Kita bisa menginap satu malam di perjalanan," jelas Abdul Muin, Ketua PosDai Hidayatullah, bercerita kepada saya saat kami akan terbang dari Jakarta menuju Palu, Sulawesi Tengah, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Sepertinya perjalanan ini sangat menantang!
Janji 100 Rumah
Kita putar sejenak waktu ke masa dua tahun silam, tepatnya pada 26 Agustus 2022. Ketika itu, dalam sebuah perjalanan ke Palu, Sulawesi Tengah, saya menemui Ust Muhaimin di rumahnya, di dekat Pondok Pesantren Hidayatullah, Palu, untuk mendengarkan kisahnya membina para mualaf Suku Wana.
Ust Muhaimin adalah dai Hidayatullah yang telah membina masyarakat suku Wana sejak tahun 2016. Awalnya, cerita Muhaimin, ia diminta datang ke Dusun Watu Marando oleh seorang sahabat untuk membimbing ikrar syahadat sejumlah masyarakat Suku Wana yang ingin memeluk Islam.
Sempat ada keraguan dalam hati Muhaimin. "Jangan-jangan mereka ini tidak sungguh-sungguh ingin memeluk Islam," cerita Muhaimin. Apalagi tak mudah menjangkau Dusun Watu Marando dari Toli-toli tempat Muhaimin saat itu tinggal. Setidaknya perlu waktu dua hari dua malam, bahkan bisa lebih.
Namun, sang sahabat terus meyakinkan Muhaimin bahwa ikrar syahadat ini serius. Orang-orang Suku Wana ini, menurut sang sahabat, telah melihat bagaimana kaum Muslim menjalankan agamanya saat Ramadhan. Dari sinilah mereka tertarik memeluk Islam.
Akhirnya, atas dukungan dana dari PosDai Pusat, Muhaimin berangkat ke Dusun Watu Marando. Perjalanan menuju ke lokasi tentu saja tidak mudah. "Beberapa kali motor saya harus diangkat karena terbenam di dalam lumpur," cerita Muhaimin.
Sesampai di lokasi, Muhaimim kaget. "Awalnya saya menyangka cuma satu atau dua kepala keluarga saja yang mau bersyahadat. Rupanya ada banyak," tutur Muhaimin.
Ia memperkirakan jumlah masyarakat Suku Wana yang mau memeluk Islam saat itu lebih dari 200 orang. Ada yang masih muda, ada kakek dan nenek, ada pula keluarga besar. Totalnya mencapai 47 kepala keluarga, atau hampir satu dusun.
Sejak saat itu Muhaimin mulai serius membina masyarakat Suku Wana yang telah memeluk Islam di Watu Marando. Terlebih lagi setelah ia pindah dari Toli-toli ke Poso, Sulawesi Tengah, tahun 2017. Jarak Poso ke Dusun Watu Marando, Desa Salubiro, Kabupaten Morowali Utara, relatif lebih dekat ketimbang dari Toli-toli. "Setelah tinggal di Poso, hampir setiap bulan saya mengunjungi suku Wana," tutur Muhaimin.
Perjalanan selama berjam-jam menembus Watu Marando menjadi kisah menarik yang menemani hari-hari Muhaimin. Ketika tiba Idul Kurban, Muhaimin mengupayakan bisa membawa hewan kurban ke Suku Wana.
Tentu bukan perkara mudah membawa sapi atau kembing ke daerah tersebut. Sekadar membawa motor saja sulitnya luar biasa, apalagi hewan kurban. Untunglah masyarakat Suku Wana selalu membantu Muhaimin menjemput hewan kurban tersebut.
Sebenarnya, cerita Muhaimin, masyarakat Suku Wana masih banyak yang berkeliaran di hutan-hutan Sulawesi Tengah, terutama di hutan adat Wana Posangke yang terdapat di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara. Di Desa Salubiro sendiri, menurut data dari kantor desa, jumlah masyarakat Suku Wana sekitar 1.400 orang. Mereka hidup dari menanam coklat, damar, dan nilam.
"Kita tak boleh sembarang bila ingin bertemu Suku Wana. Harus ada orang yang paham bahasa mereka dan bisa memberi isyarat kalau kita saudara mereka," jelas Muhaimin.
Luas hutan adat Wana Posangke, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 4.660 hektar. Masyarakat Suku Wana yang tinggal di hutan ini masih primitif.
Mereka mendirikan gubuk-gubuk sederhana beratap rumbia. Rumah-rumah ini tentu tak bertahan lama. Jika sudah rusak, mereka pindah. Pada dasarnya, jelas Muhaimin, mereka bangsa nomaden alias gemar berpindah-pindah.
Moh. Nutfa, peneliti sosial di Sulawesi Tengah, juga menyatakan demikian. Dalam makalahnya berjudul Tau Taa Wana, dari Alam Untuk Alam: Filosofi dan Praktik Bijaksana Menata Relasi Manusia dan Alam, ia menceritakan bahwa kehidupan masyarakat Suku Wana berpindah-pindah sambil berladang, terutama di sepanjang aliran Sungai Bongka, mulai dari Kabupaten Tojo Una Una sampai Morowali Utara. Di Sulawesi Tengah, secara keseluruhan, ada 6 sungai besar. Sungai Bongka salah satunya. Panjang sungai ini diperkirakan 122 km.
Suku Wana kerap menyebut dirinya sebagai orang Taa, atau Tau Taa. Artinya, "orang yang tinggal di hutan". Namun, masyarakat luar lebih terbiasa menyebut “orang Wana”. Mereka berbicara dalam bahasa Taa. Bahasa ini mirip dengan bahasa yang digunakan masyarakat tradisional di Kabupaten Banggai dan Tojo Una-Una.
Suku Wana, menurut Nutfa, termasuk suku tertua di Sulawesi. Bahkan, diduga, suku ini adalah suku pertama yang menghuni daratan Sulawesi. Nenek moyang mereka berasal dari sekitar Teluk Bone.
Sebagaimana suku-suku pedalaman lainnya, suku Wana sangat menjaga keharmonisan dengan alam. Mereka meyakini bahwa tanah menjadi unsur terpenting dalam hidup. Sebab, tanah -- yang mereka sebut poga‘a -- diciptakan Tuhan sebagai tempat hidup para leluhur.
Unsur penting kedua adalah pohon yang berfungsi sebagai perekat tanah leluhur. Sedang satu unsur lagi yang tak kalah penting dan harus dilindungi adalah sungai.
Pohon (kaju), tanah (tana), dan sungai (ue) adalah satu kesatuan yang saling terkait. Kesatuan itulah yang mereka namakan hutan atau pangale. Jika salah satu dirusak, maka mereka meyakini, keseimbangan alam juga akan rusak. Karena itu, menurut keyakinan Suku Wana, jika manusia ingin terhindar dari bencana, maka mereka harus mampu menjaga kelestarian pangale-nya.
Pada awalnya Suku Wana sama sekali tidak mengenal istilah masyarakat atau komunitas adat, hutan adat, hukum adat, apalagi lembaga adat. Bagi Suku Wana, mereka adalah sekumpulan orang yang menghuni kawasan hutan. Namun, setelah rezim Orde Baru runtuh, menurut Nutfa, mulailah ada pemberdayaan di komunitas ini. Sejak saat itu masyarakat Suku Wana mulai mengenal istilah-istilah tersebut.
Seorang ilmuan Belanda, Albert Christian Kruyit, pada 1930 sempat melakukan penelitian terhadap Suku Wana. Ia menyimpulkan bahwa pola penyebaran Suku Wana menyebabkan dialek bahasa mereka terbagi menjadi empat sub-etnis, yaitu Tau Burangas, Tau Kasiala, Tau Posangke, dan Tau Untunu Ue.
Berdasarkan studi ini diketahui bahwa Suku Wana Posangke merupakan bagian dari salah satu suku di Kabupaten Poso, yaitu Suku Pamona.
Peneliti lain, Jane Monning Atkinson, juga menyatakan hal serupa. Suku Wana, menurutnya, merupakan sub-etnis dari kelompok etnolinguistik Suku Pamona. Suku ini memang sejak lama mendiami wilayah di sekitar Sungai Bongka, Ulu Bongka, Bungku Utara, dan Barong.
Kembali kepada kisah Muhaimin. Suatu ketika, ia mendapat pesan dari salah seorang kepala Suku Wana yang masih tinggal di hutan bahwa mereka butuh sepatu dan kain sarung.
Muhaimin berusaha menyediakan barang-barang yang diminta tersebut. Kepala suku tentu saja senang dengan persahabatan yang ditunjukkan Muhaimin.
Pada suatu kesempatan, Muhaimin mengutarakan kepada kepala suku --lewat seorang penerjemah-- keinginannya untuk membangun kampung Muslim di Watu Marando. Kampung tersebut akan diisi oleh masyarakat Suku Wana yang telah memeluk Islam. Di kampung tersebut, selain akan dibangun rumah-rumah penduduk, juga akan dibangun masjid dan sekolah.
Sang kepala suku tentu menyambut baik keinginan Muhaimin. Bahkan, ia mempercayakan lahan seluas 20 hektar di Watu Marando untuk dibangun perkampungan tersebut. Sang kepala suku berjanji akan membawa 100 kepala keluarga Suku Wana untuk di-Islam-kan dengan catatan Muhaimin harus membangunkan 100 rumah untuk mereka.
"Saya anggap ini tantangan. Saya bersemangat sekali mendengar tantangan ini," cerita Muhaimin. Ia berjanji kepada sang kepala suku untuk mengupayakan 100 rumah bagi masyarakat Muslim Suku Wana.
Kita lanjutkan kembali cerita tentang janji membangun 100 rumah Suku Taa Wana ini pada catatan perjalanan selanjutnya berjudul Tantangan Dakwah di Suku Taa Wana. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat