Dulu, bertahun-tahun yang lalu, dia adalah mahasiswa saya di Depok, Jawa Barat. Setelah ia diwisuda, saya tak tahu lagi bagaimana kabarnya.
Beberapa hari lalu, saya mendengar cerita tentang seorang dai muda yang rela melewati hari-harinya di sebuah kampung kecil di kaki Gunung Sebayak, Sumatera Utara.
Saya tertarik menjumpainya, melihat dari dekat kehidupannya, dan bertanya apa yang membuatnya memilih untuk berani tinggal di tempat yang tak disukai anak-anak muda seusianya.
Lalu terbanglah saya ke tempat itu. Setelah mendarat di Medan, saya masih butuh waktu sekitar 5 jam perjalanan menuju tempat itu. Pada satu jam terakhir, jalanan yang dilewati penuh lobang dan bebatuan besar. Sebatang pohon sempat tumbang dan menutupi jalanan yang harus saya lalui.
Kampung itu bernama Lau Gedang, berada di ketinggian 1.350 mdpl, dikelilingi bukit barisan.
Berada di sana, kita seakan berdiri di cekungan piring raksasa. Di sekeliling kita berdiri kokoh gunung dan bebukitan hijau.
Udara di kampung itu amat dingin. Hembusan angin serasa menusuk sampai ke tulang.
Ketika saya tiba di sana, gerimis sedang turun. Sinyal ponsel tak ada. Komunikasi dengan "dunia luar" praktis terputus. Listrik PLN belum masuk ke kampung tersebut.
Saya akhirnya bertemu dai muda tersebut. Dialah mahasiswa yang dulu saya bimbing. Melihat kehidupan yang dipilihnya sekarang, rasanya terbalas jerih payah perjalanan berjam-jam dari Depok menuju Kampung Lau Gedang di kaki Gunung Sebayak.
Ah, jika dulu anak muda ini sering mencari-cari saya, hingga datang ke rumah saya, sekadar untuk berkonsultasi tugas akhir kuliah, maka sekarang sayalah yang bersusah payah menemuinya di sini.
Saya senang. Saya merasa bangga melihatnya! ***
Kisah lebih lengkap silahkan baca di link berikut ini Lika-Liku Dakwah di Lau Gedang
BACA JUGA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat