Senin, 19 Desember 2016

Riak Kecil di Pulau Nias

Nias hanya pulau kecil di sisi barat Sumatera Utara. Jumlah penduduknya, berdasarkan sensus tahun 2014, mencapai sekitar 750 ribu jiwa.


Namun ada yang menarik dari pulau kecil ini. Jumlah Muslim di sana amat sedikit. Hanya 5,5 persen saja.  Selebihnya beragama Kristen.

Padahal, bila disimak sejarahnya, kaum Muslim lebih dahulu menempati pulau ini. Bagaimana bisa?  Tentulah ada "riak" yang terjadi di pulau ini.

Sayangnya, tak banyak catatan sejarah yang menceritakan ini. Namun, ketika wartawan Suara Hidayatullah, Mahladi, menyambangi pulau ini pertengahan Oktober 2016 lalu, riak-riak tersebut masih terasa. Meskipun kecil saja. ***



o0o


Tak Semua Seberuntung Jaka


Sabtu menjelang sore di bulan Juli 2016. Seorang bocah yang baru lulus SD datang bersama sang ayah ke Pondok Pesantren Hidayatullah Nias, di jalan Pelud Binaka, Km 16, Desa Siwalubanua II, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Sumatera Utara.

Ketika itu libur sekolah hampir usai. Aktivitas belajar mengajar akan dimulai dua hari lagi. Jaka, nama bocah tersebut, telah membuat sebuah keputusan "tak lazim". Mulai tahun ajaran ini, ia akan mendaftar menjadi santri di Pesantren Hidayatullah.

Mengapa keputusan ini "tak lazim"? Sebab sang ayah --yang bekerja sebagai sopir truk-- adalah seorang non-Muslim.

“Tolong didik anak saya supaya jadi anak baik,” pinta sang ayah saat mendaftarkan anaknya ke pesantren Hidayatullah, sebagaimana dituturkan Muhammad Ikhsan Taupik, pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah Nias ketika ditemui pertengahan Oktober lalu.

Ikhsan tentu heran dengan tindakan sang ayah ini. Maklum, Nias didominasi oleh non Muslim. Jumlah pemeluk Islam di pulau ini sedikit sekali, hanya 5,5 persen saja. Yang terbanyak pemeluk Kristen. Jadi, sang ayah seharusnya bisa dengan mudah memasukkan anaknya ke sekolah Kristen atau sekolah umum.

Ikhsan, yang juga mendapat amanah sebagai ketua Dewan Pengurus Daerah Hidayatullah Nias, bertanya kepada sang ayah, “Apa bapak tahu kalau ini pesantren?”

Tanpa diduga, laki-laki itu menjawab, “Yang penting anak saya jadi baik.”

Sejak itu Jaka resmi menjadi santri pesantren Hidayatullah. Hari-hari pertama nyantri, sang ayah hampir setiap hari mendatangi pesantren sekadar melihat bagaimana keadaan buah hatinya. Tapi lama-lama, setelah yakin anaknya bisa menyesuaikan diri, sang ayah mulai jarang menengok Jaka.

“Saya senang mondok di sini,” kata Jaka ketika diajak ngobrol selepas shalat isya di Pondok Hidayatullah Nias pada pertengahan Oktober lalu.

Bocah yang baru duduk di bangku Tsanawiyah ini mengaku sedang berupaya menyelesaikan hafalan Qur’an juz 30. “Sekarang sudah sampai (surat) at Thoriq,” ceritanya lagi.

Saat libur sekolah, Jaka pernah pulang ke rumah. Di rumah, cerita Jaka, sang ayah sering mengingatkannya ketika waktu shalat tiba. “Sudah shalat kau nak? Kalau mau (memeluk) Islam, yang serius!" kata sang ayah sebagaimana ditirukan Jaka.

Jaka beruntung mendapatkan ayah yang mendukung dirinya menemukan hidayah Islam. Namun tak semua anak seberuntung Jaka.  Bunga (bukan nama sebenarnya), misalnya. Ia harus rela berpisah dengan keluarganya selama bertahun-tahun setelah hidayah itu datang padanya.

Ketika masih duduk di bangku kelas 6, cerita Bunga saat ditemui di Pesantren Hidayatullah Nias pertengahan Oktober lalu, ia menyatakan kepada bibinya untuk memeluk Islam. Sang bibi lalu mengantarkan Bunga ke Pesantren Hidayatullah tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya.

“Saya langsung bersyahadat dan tinggal di sini. Kedua orangtua saya tidak tahu kalau saya di sini,” cerita Bunga.

Empat tahun kemudian, ketika Bunga sudah duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, ia memberanikan diri pulang. Inilah kali pertama Bunga pulang setelah “bersembunyi” di Pesantren Hidayatullah.

“Ayah dan ibu saya kaget ketika melihat saya,” cerita Bunga. Maklum, Bunga yang sekarang jelas berbeda dengan Bunga empat tahun lalu. Sekarang, ia telah mengenakan jilbab panjang dengan pakaian longgar.

“Tapi orang tua saya tidak marah (melihat perubahan pada diri saya). Mereka mau menerima saya meskipun saya tahu mereka sangat kecewa,” cerita Bunga.

Meski kedua orangtuanya mau menerima Bunga kembali ke rumahnya, namun gadis yang kini duduk di bangku kelas 1 Aliyah ini tetap memilih tinggal di pesantren Hidayatullah. Alasannya, ia khawatir imannya rusak bila berada di tengah-tengah keluarga non-Muslim, meskipun itu keluarganya sendiri.

Tak Peduli

Kisah Jaka dan Bunga adalah contoh keberagaman di pulau kecil yang terletak di sebelah barat Sumatera ini. Jumlah keluarga seperti ini tentu sedikit sekali. Namun, keberadaan mereka menggelitik kita untuk bertanya, “Mengapa itu bisa terjadi?”

Yakhman Hulu, Ketua Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Idanagao, Kabupaten Nias, punya jawaban. “Masyarakat di sini tidak terlalu peduli dengan perbedaan agama,” kata Yakhman ketika ditemui di kantornya di Nias pertengahan Oktober lalu.

Buat mereka, ikatan kekeluargaan jauh lebih penting dibanding ikatan agama. Jika ada konflik SARA, sentimen agama tidak muncul. Yang dominan adalah sentimen kekeluargaan.

Karena itulah, kata mantan ketua KUA di Kecamatan Gido dan Botomozoi ---keduanya berada di Nias--- jarang terdengar keributan berbau SARA di Nias. Tidak seperti di Tanjung Balai, kota di wilayah sebelah timur Propinsi Sumatera Utara. Di kota ini, beberapa bulan lalu, meletus kerusuhan berbau SARA.

Pemurtadan

Meski konflik antar pemeluk agama jarang mencuat di Nias, bukan berarti tak ada kasus pemurtadan di pulau ini. Muhammad Nuh, dai Hidayatullah yang pernah bertugas di Nias sejak 2005 hingga 2010, punya cerita tentang ini.

Suatu sore di tahun 2010, cerita Nuh, seorang wanita muda datang ke pesantren Hidayatullah seraya menangis. Wanita itu bercerita kepada Nuh bahwa ia lari dari rumah suaminya, padahal sudah 16 tahun menikah. Anak tertuanya sudah duduk di bangku SMA. Apa sebabnya?

“Saya dipaksa masuk Kristen. Saya tidak kuat lagi,” cerita Nuh menirukan penuturan wanita asal Sunda tadi.

Kisah pilu yang mendera wanita tersebut bermula ketika ia menikah dengan laki-laki non Muslim asal Nias belasan tahun lalu. Laki-laki itu menjadi mualaf setelah menikah dengannya. Pernikahan dilangsungkan di kampung halaman sang wanita, di tanah Sunda.

Namun, cerita sang wanita tadi kepada Nuh, laki-laki tersebut sebetulnya  tak benar-benar serius memeluk Islam. Ia jarang sekali shalat. Ia juga tak pandai mengaji.

Selama menikah, sang wanita tak pernah mau diajak pulang ke Nias, kampung halaman sang suami. Ia tahu apa risiko yang akan ia hadapi bila mengunjungi rumah keluarga sang suami. Ia pasti akan "diadili" karena seluruh keluarga suaminya non-Muslim. Ia akan dituduh "memurtadkan" sang suami.

Hingga suatu ketika, sang suami memaksanya ikut ke Nias karena ibunya sakit keras dan ingin sekali bertemu anak cucunya. Wanita tersebut  luluh juga. Tiga anaknya ia bawa serta. Inilah kali pertama ia mengunjungi Nias, sekaligus awal mula musibah itu terjadi.

"Ketika sampai di Nias, ia ternyata ditipu," cerita Nuh tentang wanita itu. Sang ibu ternyata tidak sakit. Justru wanita malang tadi ditahan oleh keluarga suaminya. Ia dan tiga anaknya tak boleh kembali ke tanah Sunda.

Tak sekadar itu, ia juga dipaksa memeluk Kristen. Ia dipaksa ikut beribadat ke Gereja dan menyantap makanan yang diharamkan oleh Islam. Bahkan, anak tertua mereka disekolahkan dengan status sebagai pemeluk Kristen.

Kabur dari rumah

Karena tak tahan dengan perlakuan keluarga suami, si wanita kabur dari rumah suaminya. Ia hanya membawa seorang anak, sedang dua lagi terpaksa ditinggal.

Nuh lalu menyusun skenario untuk membawa sang wanita tadi keluar dari Nias. Ia meminjam mobil temannya buat mengantar sang wanita ke pelabuhan. Namun sayang, di tengah jalan, keluarga suami tiba-tiba menghadang. Terpaksa Nuh buru-buru membalikkan mobilnya kembali ke pesantren.

Keesokan harinya, ketika situasi sepi, pria asal Palembang, Sumatera Selatan, ini kembali melancarkan aksi pelarian bak adegan di film-film laga. Ia mencari jalan yang tak mungkin ditemukan oleh keluarga si wanita. Kali ini upayanya berhasil. Si wanita dan anaknya kabur menggunakan kapal laut. Alhamdulillah!

Nuh mengaku, bukan sekali itu saja ia membantu pelarian wanita yang dimurtadkan oleh keluarga suaminya. Selama 5 tahun bertugas di Nias, empat kali ia mendapati wanita yang kabur dari keluarganya dan meminta perlindungan ke Pesantren Hidayatullah.

Yakhman juga mengakui adanya peristiwa pemurtadan ini. Ia bercerita pernah beberapa kali membantu wanita Muslim yang kabur dari suaminya karena tak mau dimurtadkan. “Kami membantu memulangkan mereka lewat laut, darat, dan udara,” kata Yakhman.

Namun tentu saja upaya pelarian ini tak mudah. “Kita terpaksa kucing-kucingan dengan pihak keluarga,” cerita Yakhman lagi.

Bahkan pernah pihak keluarga mengejar sampai ke atas pesawat. Untunglah ada seorang Polisi Militer yang menolong sehingga wanita yang akan dimurtadkan tersebut berhasil kabur.

“Saya menghimbau kepada seluruh wanita Muslim agar jangan menikah dengan orang yang berlainan agama. Masalahnya bisa runyam!” kata Yakhman.

Jumlah kasus pemurtadan di Nias tentu tak banyak. Namun, ia tak bisa dianggap remeh. Meskipun ia masih berupa riak-riak kecil, lama kelamaan bisa menjelma menjadi gelombang besar yang akan memporak-porandakan pulau tersebut. ***

o0o


Kampung Mualaf yang Tengah Tertidur

Tak jauh dari gerbang masuk Kabupaten Gunungsitoli, ada sebuah kampung kecil yang biasa disebut "Kampung Mualaf". Letaknya di Desa Lolozasai, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias.

Di kampung itu ada sekitar 22 keluarga mualaf yang dibina oleh Hidayatullah. Kebanyakan mereka memeluk Islam karena pernikahan. Pria Nias yang non-Muslim merantau dan menikah dengan Muslimah dari luar Pulau Nias, lalu memeluk Islam.

Sekembalinya mereka ke Nias, mereka tetap memeluk Islam walaupun tinggal berdekatan dengan keluarga besarnya yang non-Muslim.

“Biasanya mereka membuat rumah di dekat rumah ibunya,” jelas Muhammad Ikhsan Taupik, pengasuh pondok pesantren Hidayatullah Nias.

Meskipun mereka Muslim, pengetahuan agama mereka masih minim. Mereka belum lancar membaca Qur’an. Mereka masih belum konsisten beribadah. Dengan kondisi seperti ini, iman mereka berpeluang terkikis. Bahkan sang pria bisa kembali murtad.

Karena itulah Ikhsan dan dai-dai Hidayatullah lainnya berupaya membina warga kampung tersebut. Sepekan sekali Ikhsan mendatangi mereka, memahamkan bagaimana seharusnya ber-Islam, mengajarkan cara membaca al-Qur'an yang benar, dan menyerukan beribadah sesuai tuntunan syariat.

Perkenalan Ikhsan dengan masyarakat kampung mualaf bermula ketika seorang guru di sekitar kampung tersebut bercerita tentang muridnya yang tinggal dalam keluarga “campuran.”  Ayah dan ibunya seorang Muslim, sedang kakek dan neneknya non-Muslim.

Sang guru tertarik melihat bagaimana kehidupan sang murid yang dibesarkan dalam keluarga seperti itu. Ia datangi keluarga tersebut. Ternyata, tak sekadar sang murid yang memiliki keluarga “campuran” seperti itu, namun juga keluarga-keluarga lain di sekitarnya. “Jumlah mereka ada 22 keluarga,” cerita Ikhsan menirukan penuturan sang guru tadi.

Dulu, keluarga-keluarga Muslim tersebut tinggal bersama orangtua mereka yang non-Muslim. Lama-lama mereka mendirikan rumah sendiri di tempat yang tak jauh dari rumah keluarganya. “Biasanya tanah mereka peroleh dari pembagian orang tua,” jelas Ikhsan.

Sang guru kemudian mengumpulkan keluarga-keluarga Muslim tadi dan mengajak mereka mengaji. Setelah mereka mau, sang guru melaporkannya kepada Ikhsan dan kawan-kawannya.

Cerita tentang kampung Muslim di Pulau Nias tentu langka. Sebab, jumlah kaum Muslim di pulau ini amat sedikit. Kurang dari 5 persen.

Selain itu, menurut Ketua Badan Kenazhiran Masjid al-Furqan, masjid terbesar di Pulau Nias, Wilman Harefa, kebanyakan muallaaf di Nias terjadi karena pernikahan. Laki-laki Nias non-Muslim menikahi muslimah lalu masuk Islam.

“Sedikit sekali muallaf yang masuk Islam karena kesadaran sendiri setelah mempelajarinya,” jelas laki-laki usia 44 tahun ini saat ditemui di Masjid al-Furqan pada pertengahan Oktober lalu.

Wilman mengakui, pembinaan Islam di Nias masih sangat kurang. Ini disebabkan kurangnya jumlah dai di pulau ini. Tak heran bila masjid-masjid di Nias masih sepi saat waktu shalat fardhu tiba. Di Masjid al-Furqan sendiri, tak lebih dari satu shaf saja. Padahal, masjid ini terletak di wilayah dengan Jumlah Muslim paling banyak dibanding kabupaten lain di Nias, tepatnya di jalan Gomo, Kota Gunungsitoli, tak jauh dari pendopo kota.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yakhman Hulu, Ketua Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Idanagao, Kabupaten Nias. Perkembangan dakwah di pulau ini, kata Yakhman, nyaris tak ada. Dari tahun ke tahun masjid selalu sepi. Ia baru ramai jika ada perayaan hari besar Islam atau saat Ramadhan. Di luar itu, masjid sepi.

Masyarakat masih menganggap agama sebagai budaya dan kebiasaan saja, bukan tuntunan hidup. Masyarakat memeluk Islam karena keturunan. Ikatan kekeluargaan (marga) masih mendominasi ketimbang ikatan agama.

Selain itu, menurut Yakhman, persoalan ekonomi masih menyandera Muslim Nias. Mereka enggan belajar Islam karena dianggap tak mampu mengatasi persoalan ekonomi mereka.

“Jika ada ormas Islam yang mampu memberikan solusi atas persoalan ekonomi masyarakat Muslim Nias, mungkin saja mereka akan tertarik belajar Islam,” jelas Yakhman.

Islam Lebih Dulu

Nias memang identik dengan pulau Kristen Protestan. Jika kita berkeliling menyusuri jalan utama di Pulau Nias, jarang sekali kita temukan masjid. Namun, tidak demikian dengan gereja. Setiap 100 meter, pasti ada gereja di sana.

Menurut Hejatule, pemandu pada Museum Pusaka Nias, para misionaris Kristen sudah berada di Nias sejak ratusan tahun lalu. Mereka berdatangan ke pulau ini dan menetap.

Di Museum Pusaka Nias, yang terletak di jalan Yos Sudarso, Gunungsitoli, kira-kira 1 km jaraknya dari Masjid al-Furqan, terpampang foto dan nama para missionaris tersebut. Jumlahnya ada puluhan.

“Pendiri musem ini juga seorang misionaris Kristen,” jelas Hejatule saat ditemui Suara Hidayatullah di Museum Pusaka Nias. Namanya Pastor Johaannes M Hammerle, warga Jerman yang telah menetap selama 40 tahun di Nias.

Meski Nias identik dengan Kristen, siapa menyangka rupanya Islam lebih dahulu masuk ke pulau ini ketimbang Kristen. Menurut Pastor Johannes M Hammerle dalam bukunya Tuturan Tiga Sosok Nias, terbit tahun 2008, Teuku Polem bersama para pengikutnya telah datang ke Aceh sejak tahun 1641.

Siapa Teuku Polem? Hammerle menulis, berdasarkan keterangan MI Polem (salah seorang keturunan Teuku Polem yang lahir tahun 1912), Teuku Polem adalah anak dari Teuku Chik dari Meuraxa Kutaraja (Banda Aceh). Teuku Cik sendiri adalah kepala pemerintahan (wakil sultan) di wilayah Kerajaan Aceh bagian barat. Ketika itu Aceh masih dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Tahun 1641, Teuku Polem dan rombongan berlayar dengan tujuh perahu meninggalkan Aceh. Satu perahu ditempati oleh 10 laki-laki. Mereka bertekad, “Ke mana saja perahu berlabuh, di situ kita akan tinggal.” Tak dinyana, mereka ternyata sampai ke Nias, tepatnya berlabuh di sekitar pesisir Gunungsitoli.

Di Nias sendiri, ketika itu, telah ada penghuninya. Namun, mereka belum memeluk agama apa pun. “Agama penduduk masih agama tradisional,” tulis Hammerle.

Kedatangan Polem diterima baik oleh pemimpin masyarakat Nias ketika itu, yakni Balugu Harimao. Keramahan Balugu Harimao dan masyarakat Nias membuat Polem merasa kerasan tinggal di sana. Bahkan, ia juga menikahi putri Balugu Harimao bernama Bowo’ana’a Harefa.

Saat menikah, Bowo’ana’a mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan demikian, jelas Hammerle lagi, Bowo’ana’a adalah mualaf pertama di Nias, jauh sebelum agama Kristen masuk ke pulau ini.

Bowo’ana’a memiliki saudara bernama Mangaraja Fagowa Harefa. Setelah Bowo’ana’a memeluk Islam, anak saudaranya ini bernama Acah Harefa juga memeluk Islam. Anak keturunan dari Acah Harefa ini sekarang berdiam di Kampung Miga, Ori Tabloho Dahana, Gunungsitoli.

Saudara Bowo’ana’a yang lain, Kehomo Harefa, juga memeluk Islam dan anak keturunannya juga tinggal di Gunungsitoli. Sedangkan satu lagi saudara Bowo’ana’a bernama Ko’owa Kahemanu Harefa tidak memeluk Islam. Anak keturunannya memeluk Kristen Protestan, meskipun ada pula yang memeluk Islam.

Setelah Bowo’ana’a memeluk Islam, masyarakat Nias beramai-ramai memeluk Islam hingga tersebar ke seluruh penjuru pulau ini. Dua abad kemudian, barulah penganut Keristen Khatolik masuk ke Nias, tepatnya pada tahun 1854. Sedangkan penganut Kristen Protestan, masuk ke Nias tahun 1865.

Lantas mengapa agama Katholik dan Kristen Protestan bisa berkembang pesat dan mengalahkan Islam? Menurut Hammerle, ini karena perkembangan kedua agama ini didukung penuh oleh negara-negara Eropa seperti Jerman, Italia, dan Belanda. Mereka mengirimkan puluhan misionaris. Nama-nama misionaris itulah yang diperlihatkan Hejatule, sang pemandu di Museum Pusaka Nias, saat menemani Suara Hidayatullah mengamati benda-benda kuno di museum tersebut.

Pesantren Hidayatullah

Bila berabad-abad silam Nias didatangi oleh Teuku Polem dan berhasil meng-Islamkan penduduknya, maka itu pula yang dilakukan oleh Muhammad Ikhsan Taupik dan dai-dai Hidayatullah yang bertugas di Nias sekarang ini.

Ikhsan, pemuda asal Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, yang baru menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara tahun 2013, langsung ditugaskan ke pulau ini setahun setelahnya.

Di Nias, ketika Ikhsan masuk ke pulau ini, telah berdiri Pesantren Hidayatullah dan telah memiliki puluhan santri. Namun, Ikhsan tak merasa puas dengan sekadar berdakwah di dalam pesantren. Ia juga ingin berdakwah di luar pesantren.

Karena itulah, ketika diminta membina Kampung Mualaf di Desa Lolozasai, ia langsung menyambut baik. Ia juga kerap diminta mengisi sejumlah pengajian di masjid-masjid kampung.

Namun Ikhsan tetap belum puas dengan itu. Ia masih menyimpan obsesi membina masyarakat Muslim yang tinggal di pulau-pulau di sekitar Nias.

Namun apa daya, Ikhsan punya keterbatasan untuk menjangkau mereka. “Biaya untuk menjangkau mereka terlalu tinggi,” cerita Ikhsan dalam obrolan dengan Suara Hidayatullah pada suatu sore di pertengahan Oktober lalu.

Nias adalah kampung mualaf yang pernah di-Islam-kan oleh Teuku Polem. Kini, “Kampung Mualaf” itu telah lama “tertidur”. Sejumlah dai muda dengan segala keterbatasannya tengah berupaya membangunkannya kembali. Semoga Allah SWT meridhoi. ***

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat