Sabtu, 09 April 2022

KH Asrorun Ni'am: Kita Harus Proporsional Memaknai Jihad

Pada 12 Februari 2022, penulis dan seorang wartawan Majalah Suara Hidayatullah bersilaturahimke Pondok Pesantren Al Nahdlah di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, untuk menemui KH Asrorun Ni'am, Ketua MUI Bidang Fatwa. Obrolan santai di masjid pesantren ditemani sajian pisang goreng ini berlangsung hampir dua jam.

Penulis saat mewawancarai KH Asrorun Ni'am di Depok, Jawa Barat.

Obrolan ini kemudian dimuat di Majalah Suara Hidayatullah rubrik Figur edisi Januari 2022. Berikut beberapa petikan obrolan santai tersebut.


Makna jihad dibahas juga dalam ijtima' ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang digelar pada pertengahan November 2021 lalu. Apa yang melatarbelakanginya?

Ini keinginan MUI untuk memproporsionalkan pandangan masyarakat tentang jihad. Karena ada kecenderungan dua tarikan ekstrim dalam memaknai jihad sebagai salah satu ajaran Islam. Pertama, mereka yang memaknai jihad hanya sebagai  qital (perang) saja. 

Begitu sudah disebutkan jihad, maka yang diartikan oleh kelompok ini ya perang. Mereka tidak membedakan antara darul harbi (wilayah perang) dan darul sulhi (wilayah damai).

Mereka menyimplikasikan makna jihad dengan memerangi orang atau kelompok yang tidak sesuai dengan pandangan kelompoknya. Kelompok seperti ini faktanya memang ada di negara kita.

Namun ada bentuk ekstremisasi yang lain, yakni mereka yang menyalahgunakan makna jihad. Menurut mereka, jihad bisa menyebabkan terorisme. Mereka meyakini bahwa jihad akan menjadi embrio kekerasan dalam beragama. Mereka mengeluarkan jihad dari mata pelajaran agama. Mereka menganggap jihad bukan bagian dari ajaran agama. Ini ekstrim yang kedua.

Karena itu MUI merasa perlu mengingatkan kembali masyarakat tentang makna jihad dalam aturan agama. Bahwa jihad itu adalah ajaran agama. Namun, memaknainya harus proporsional. 


Apa yang Anda maksudkan dengan proporsional itu?

Memang ada makna jihad dalam arti qital (perang). Tapi, dalam situasi apa? Itu harus dijelaskan. 

Dalam konteks NKRI, memang ada jihad dengan makna perang. Yaitu, ketika kita harus mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Dari sini lahirlah resolusi jihad. Ini panggilan keagamaan. Manifestasi makna jihad yang bisa mengobarkan semangat perlawanan para santri dan para kyai.

Tapi dalam situasi damai, jihad tidak dimaknai dalam konteks qital. 


Bagaimana manifestasi jihad dalam konteks damai?

Banyak. Misalnya, melakukan riset untuk menemukan vaksin yang halal. Itu jihad fi sabilillah. Kemudian mencari nafkah untuk menghidupi anak dan isteri, atau orang tua yang sudah sepuh. Itu juga jihad. Bekerja sungguh-sungguh untuk menjaga kehormatan agar tidak menjadi beban orang lain. Itu jihad fi sabilillah.

Jadi, ada proporsionalitas dalam memaknai jihad yang perlu kita ingatkan. 


Bagaimana menjelaskan kepada masyarakat agar mereka proporsional dalam memaknai jihad?

Di situlah peran dakwah. Memang dakwah itu butuh waktu. Tidak bisa sim salabim. Tidak bisa dengan model instan. Kadang kita tidak sabar. Begitu dakwah sekali, orang yang diajak nggak mau ikut, langsung dilibas. Ini kan sama dengan berpikir ekstrim. Pokoknya saya yang benar, yang lain salah.


Dakwah itu butuh waktu. Hasilnya tidak harus hari ini. Bahkan kita tidak dituntut hasil. Kita dituntut proses. Kita tidak diberi kewenangan untuk membuka hati orang lain. Hatta Nabi sendiri, tidak punya kewenangan. Tugas kita hanya menyampaikan.

Cuma kadang kita merasa gregetan. Sudah dikasih tahu, nggak mau berubah. Tangan jadi mukul. Itu yang salah. 

Demikian juga perlakuan kita kepada santri. Sudah diajari berkali-kali, tetap nggak mau nurut. Akhirnya tangan melayang. 

Tugas kita hanya memberi tahu mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk. Kalau diikuti ya alhamdulillah. Dakwah kita hanya menjadi wasilah agar hatinya terbuka. 

Jika tidak terbuka juga, bukan berarti kita boleh memaksa dia atau menganiayai dia. Yang memaksa itu tugas qadi, bukan tugasnya dai. Tidak usah kita merasa gagal. Karena di situ ada kekuasaan mutlak Allah Ta'ala yang tidak bisa kita jangkau.

Nabi sendiri tidak bisa memberi hidayah kepada pamannya, Abu Thalib. Padahal, Nabi SAW sangat dekat dengan Abu Thalib. Beliau yang melindungi dakwah Nabi.   


Apakah pertemuan MUI dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) tempo hari ada hubungannya dengan kekhawatiran pemaknaan jihad dan ekstremisme yang keliru?

MUI tempo hari berdiskusi langsung dengan BNPT. Alhamdulillah diskusi berjalan penuh kekeluargaan. 

Kita sampaikan bahwa pesantren adalah institusi keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai wasathiyah. Seandainya ada satu pesantren yang salah satu pengurusnya atau santrinya memiliki pandangan yang keluar dari prinsip wasthiyah dan melakukan aktivitas yang menjurus kepada terorisme, tidak bisa dijustifikasi itu adalah masalah pesantren. 

Sebagaimana ada orang Jawa yang mencuri, tak bisa digeneralisir bahwa orang Jawa pencuri. Begitu juga kalau ada anggota polisi yang korupsi atau melanggar peraturan, kan tidak bisa disebutkan institusinya yang berbuat seperti itu. 

Dalam satu komunitas selalu ada saja orang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh institusinya. Berbeda halnya kalau institusi tersebut memang mengajarkan keburukan. Misalnya, geng narkoba, komunitas lesbi, atau geng pembunuh bayaran. Aktivitas institusi seperti itu sudah salah sehingga harus diberangus.


Apakah pihak MUI yang mengundang BNPT atau BNPT yang datang sendiri?

Awalnya MUI berkomunikasi dengan BNPT. Kemudian BNPT minta minta waktu untuk bertemu. BNPT datang dengan full tim. Mulai dari kepala BNPT, seluruh deputi dan direkturnya. Sedangkan dari MUI ada beberapa ketua, antara lain ketua bidang hukum, saya sendiri ketua bidang fatwa, ketua bidang dakwah, ketua bidang pengkajian, ada sekjen dan wakil sekjen.


Apakah MUI juga meminta kepada BNPT untuk melibatkan MUI dalam isu-isu keagamaan, terutama saat akan mengumumkan hasil temuan kepada publik agar tidak terjadi kegemparan?

Yang pertama kita sampaikan bahwa MUI dan BNPT berada dalam satu barisan yang sama untuk mencegah dan menanggulangi kasus terorisme dan ekstremisme, serta mengutamakan wasathiyah dalam ber-Islam.

Penulis bersama KH Asrorun Ni'an saat berkunjung ke pesantrennya di kawasan Bojongsari, Depok, Jawa Barat.

Tapi masing-masing punya porsi pekerjaan. Untuk urusan penegakan hukum bukan porsinya MUI. Itu porsinya aparat. Tapi kalau bicara soal keagamaan, itu porsi MUI. 

Jangan overlap. Berbincang soal jihad, memaknai jihad, meluruskan makna jihad, bukan porsinya BNPT. Itu porsi lembaga keagamaan untuk merumuskannya. Pemahaman seperti itu yang harus terus disinergikan. Jangan sampai terjadi overlap. Sebab, overlap ini yang sering menimbulkan masalah. 


Sejak kapan MUI mulai konsen menanggulangi terorisme dan ekstremisme ini?

Jauh sebelum berdirinya BNPT, MUI sudah konsen menanggulangi terorisme melalui TPT,  atau Tim Penanggulangan Terorisme berbasis bahasa keagamaan. Kita dakwahkan prinsip wasathiyah yang memang menjadi mainstream keagamaan kita, baik dalam konteks keyakinan beragama, praktik keagamaan, ibadah, maupun muamalah. 

Pada saat Munas MUI tahun 2020, MUI memperkuat kelembagaan penanggulangan terorisme dengan membentuk BPET, atau Badan Penanggulangan Ektremisme dan Terorisme. 


Apakah karena adanya overlap itu lalu pihak BNPT meminta maaf?

Yang pasti, sekali pun mereka tidak menyebut semua nama 198 pesantren yang mereka katakan terkait terorisme, namun hal itu telah melahirkan stigma buruk terhadap pesantren. Itu yang saya sampaikan. Saya sebagai pengasuh pesantren juga terdampak dengan hal tersebut. Apalagi sekarang sedang masa penerimaan santri baru. Banyak wali santri yang bertanya kepada saya. 

Kita juga sampaikan kondisi faktual dan akibat yang ditimbulkan (atas  beredarnya informasi tentang pesantren dari BNPT) di tengah masyarakat. Sekali pun hal tersebut tidak dituju dan diniatkan, tapi kondisi faktualnya menimbulkan dampak. 

Apalagi nama-nama yang tercantum di dalam 198 pesantren tersebut  secara faktual tidak semua pesantren walaupun judulnya pondok pesantren. Ada radio, ada TK, ada SD. Atas dasar itulah BNPT kemudian menyampaikan permintaan maaf.  Tentu kiita apresiasi. 

Kami berkomitmen untuk saling menguatkan dalam konteks mewujudkan kedamaian, kemaslahatan, dan penegakan nilai keagamaan yang benar.  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat