Senin, 11 Mei 2020

Jangan Biarkan Kekeliruan Tetap Menyebar

Ketika wabah covid-19 di Indonesia tengah menuju puncaknya pada pertengahan Mei 2020, sebuah situs berita nasional menurunkan laporan dengan judul mengejutkan: Pemerintah Takkan Umumkan Lagi Kasus Positif Covid-19.

Judul itu muncul ketika jumlah pengidap baru covid-19 di Indonesia terus bertambah, masa pandemik belum reda, ketakutan masyarakat jelas masih terasa. Wajar bila judul ini langsung menuai kritikan, bahkan kecaman, dari netizen yang terhambur di jejaring sosial. Bukan kepada si pembuat judul atau reporter yang membuat berita, tetapi kepada pemerintah yang membuat aturan.

Beberapa saat kemudian media yang menurunkan berita itu meralat judulnya menjadi: Pemerintah Ubah Metode Pelaporan ODP-PDP Covid 19. Di akhir artikel tercantum permintaan maaf dari redaksi dengan menggunakan huruf miring (italic). “Judul diubah karena terjadi kekeliruan dalam pengutipan. Redaksi minta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan.”

Kekeliruan yang dibiarkan (tak diubah) akan meninggaalkan dosa bagi sang penulis (reporter), bahkan juga pengedit (redaktur), dan penyebar. Allah Ta’ala dalam akhir surat An Nur [24] ayat 11 berfirman, “... Setiap orang dari mereka (yang berperan membuat dan menyebarkan berita bohong) akan mendapat balasan dari dosa yang dibuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang dibuatnya), dia mendapatkan azab yang besar pula.”

Namun, kekeliruan karena khilaf adalah hal yang manusiawi. Jurnalis bukanlah malaikat yang tak pernah salah. Apalagi profesi jurnalis akrab dengan tekanan. Tekanan deadline, misalnya. Dalam kondisi tertekan itu, mereka dituntut menulis secara cepat dan detil. Peluang menyajikan berita salah cukup besar.

Karena itu, bagi jurnalis Muslim, memohon ampun kepada Allah Ta’ala seraya segera memperbaiki kesalahan adalah langkah paling tepat ketika ia khilaf menulis berita. Setelah itu, sertai perbaikan kesalahan itu dengan permohonan maaf kepada pihak-pihak yang dirugikan atas kekeliruan itu. Dengan demikian, mudah-mudahan Allah Ta’ala berkenan memaafkan kekhilafan kita.

Inilah yang harus diatur dalam kode etik jurnalis Muslim. Selengkapnya, kode etik tersebut berbunyi: Jurnalis Muslim harus segera memperbaiki kekeliruan dalam pemberitaan dengan cara mencabut berita tersebut atau meralat bagian-bagian yang keliru, disertai pemberitahuan dan permintaan maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut.

Dari kode etik di atas, ada dua pilihan tindakan yang harus dilakukan seorang jurnalis (atau media tempat jurnalis bekerja) ketika mereka mempublikasikan berita yang keliru. Pertama, mencabut berita, yakni menarik secara keseluruhan berita yang sudah terlanjur dipublikasikan. Ini biasanya terjadi karena pemahaman pembaca terhadap keseluruhan berita berpotensi keliru. Misalnya, keliru pada alur cerita.

Kedua, meralat berita, yakni mengubah data-data yang salah dalam berita tersebut. Bisanya kesalahan seperti ini tak terlalu fatal. Hanya sedikit dari bagian tulisan yang perlu diperbaiki.

Selain itu, hal penting yang perlu juga dipublikasikan adalah “pemberitahuan kesalahan.”  Tujuannya agar publik mengetahui bahwa telah terjadi perbaikan kesalahan pada artikel sebelumnya. Bentuk dan cara pemberitahuan bisa bervariasi.

Setelah itu, cantumkan juga permintaan maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan. Maksudnya, pernyataan maaf dari redaksi yang dipublikasikan di media yang memuat kesalahan dengan cara yang telah disepakati oleh pihak redaksi dan pihak yang dirugikan atas kesalahan tersebut.

Penetapan kode etik tentang ini erat hubungannya dengan kode etik sebelumnya tentang larangan menyebarkan berita bohong. Atas dasar larangan ini maka setiap ada kekeliruan informasi yang dipublikasikan tentu harus diperbaiki (diralat)

Allah Ta'ala berulangkali menganjurkan kepada manusia dalam al-Qur'an agar menyadari kekeliruan, memohon ampunan, lalu memperbaiki kesalahan. Satu di antaranya terdapat dalam surat Hud [11] ayat 3, yang artinya, "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat."

Selain itu, dalam Hadits yang diriwatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik," (Riwayat Tirmidzi).

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat