Senin, 11 Mei 2020

Fahisyah Bukan Kisah yang Harus Diceritakan

Ranu Muda Adi Nugroho, jurnalis Panjimas.com, terpaksa menyamar agar bisa masuk ke sebuah tempat hiburan di Solo, Jawa Tengah, pada 2017 silam. Ia memang menerima khabar bahwa tempat itu kerap menyajikan tarian erotis.

Pikir Ranu, jika ia bisa menemukan bukti adanya tarian erotis tersebut, lalu ia ungkap bukti itu di media tempat ia bekerja, maka pihak berwewenang bisa menindak laporan tersebut. Atau, setidaknya, masyarakat yang membaca laporan investigasinya bisa medesak aparat untuk segera menutup tempat hiburan tersebut.

Ranu tidak menyamar sendiri. Ia tahu, menyamar sendiri berbahaya bagi seorang jurnalis Muslim. Ia ditemani oleh rekannya dari Laskar Umat Islam (LUIS), Solo, lembaga yang memang konsen memerangi kemaksiatan di Solo.

Maka, pada suatu malam, menjelang jarum jam melewati angka 12, Ranu dan temannya sudah berada di tempat hiburan itu. Mereka menunggu sampai bukti sudah mereka dapatkan. Ternyata, benar adanya. Tempat hiburan itu memang menyuguhkan tarian erotis. Ranu dan temannya langsung pulang, tanpa perlu berlama-lama di sana.

Pertanyaannya, apa yang harus Ranu ungkapkan dalam laporannya? Perlukah ia menceritakan secara detil bagaimana tarian erotis itu dipertontonkan? Perlu jugakah ia mendeskripsikan suasana di ruangan itu? Bukankah semua informasi tersebut bakal memperkuat bukti bahwa di sana memang berlangsung tarian erotis?

Tidak! Sebagai jurnalis Muslim, tak perlu ia mencantumkan data sedetil itu. Sebab, jika ia deskripsikan semuanya, maka bukan saja sekadar memperkuat bukti, tapi ia telah membangun imajinasi yang bisa membangkitkan syahwat kepada pembaca. Itu artinya, ia terjebak untuk menceritakan perbuatan fahisyah.

Fahisyah,  menurut ahli bahasa, berarti semua hal buruk yang terjadi karena melampaui batas, baik berupa perkataan maupun tindakan. Ia merupakan keliaran dan kebodohan, kebalikan dari kesantunan, kendali diri, dan akal sehat.

Secara khusus, perbuatan fahisyah mengandung tiga unsur. Pertama, penyimpangan perilaku seksual (zina, homoseks, incest dan menikah dengan mahram). Kedua, syirik. Dan ketiga, tindak pidana. Namun, di dalam al-Qur'an dan Hadits, fahisyah memiliki makna lebih khusus lagi, yakni hal-hal yang menjurus kepada perzinaan.

Larangan fahisyah ini mengharuskan para jurnalis Muslim bersepakat untuk menghindari mempublikasikannya.  Kesepakatan ini harus tertuang dalam kode etik dengan bunyi: Jurnalis Muslim tidak boleh membuat berita yang mengandung unsur fakhisyah.

Jadi, berdasarkan kode etik ini, para jurnalis Muslim tidak diperbolehkan membuat karya jurnalistik yang mengandung setidaknya dua unsur. Pertama, sesuatu yang dapat menimbulkan syahwat, baik melalui indera penglihatan (teks dan gambar), pendengaran (audio), maupun perabaan. Kedua, sesuatu yang memancing orang untuk meniru melakukannya.

Karena batasan ini para jurnalis Muslim, dalam memberitakan kasus pornografi dengan tujuan nahi mungkar, dituntut membuat gagasan kreatifnya agar tidak membuat orang justru penasaran dan tertarik untuk melakukan kemungkaran tersebut.

Ada sejumlah dalil larangan terhadap fahisyah, terutama yang berhubungan dengan zina, homoseksual, dan menikah dengan mahram. Beberapa di antaranya adalah, pertama, firman Allah Ta'ala, yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji (fahisyah) dan jalan yang buruk.” (Al Israa [17]: 32)

Kedua, firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka, 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas'," (al-Araf [7]: 80-81).

Ketiga, firman Allah Ta'ala, yang artinya, "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji (fahisyah) dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)," (An-Nisaa [4]: 22).

Keempat, firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji (fahisyah), mereka berkata, 'Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.' Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji (fahisya). Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?'," (al-Araf [7]: 28).

Wallahu a'lam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat