Jangan Akui Itu Karyamu!

Berbagi itu memang baik.  Tapi, itu tak sepenuhnya berlaku bila apa yang kita bagi adalah informasi. Kita harus jujur mengutarakan dari mana informasi itu kita peroleh.

Mengapa? Sebab, mengakui apa yang kita bagi adalah karya kita --padahal bukan-- jelas tindakan yang buruk. Itu sebuah kebohongan.

Bahkan, sekadar tak menyebutkan dari mana sumber informasi yang kita bagi, juga berpotensi kebohongan. Sebab, pembaca akan menduga informasi itu berasal dari kita.

Di sisi lain, tugas seorang jurnalis hanyalah mengabarkan. Profesi jurnalis tak memberi ruang pada karya opini sang wartawan.

Selain itu, kualitas sebuah informasi biasanya amat tergantung kepada siapa yang memberikan informasi tersebut. Apakah ia memiliki kapabilitas dan kapasitas? Apakah ia bisa dipercaya?

Itulah sebabnya para ulama pada zaman dahulu selalu mencantumkan riwayat dari mana sebuah Hadits diperoleh. Ketika ada salah seorang periwayat yang tak bisa dipercaya maka Hadits tersebut langsung dinilai meragukan, bahkan bisa palsu.

Begitu pentingnya seorang jurnalis mengutarakan secara jujur dari mana informasi ia peroleh maka ini harus diatur dalam kode etik yang berbunyi: Jurnalis Muslim harus mencantumkan sumber data/informasi yang ia peroleh atau ia kutip dari media publikasi yang lain.

Islam melarang praktik klaim. Dalam kitab al-Arbain an-Nawawiyah, dikisahkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Seandainya setiap orang bebas mengklaim, pasti banyak orang yang mengklaim harta dan jiwa orang lain. Karena itu orang yang mengklaim harus mendatangkan bukti, dan orang yang menyangkal harus bersumpah, (Riwayat Imam Baihaqi).

Allah Ta'ala juga melarang kita mengikuti sesuatu yang kita tak paham tentangnya. Dalam al Qur'an surat Al-Isra [17] ayat 36, Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."

Wallahu a'lam