Jika ditanya kapan praktik jurnalistik pertama kali muncul? Maka jawabnya sejak sekitar 1.000 tahun sebelum masehi. Kok bisa? Ya. Sebab, ketika itu, Raja Firaun, Amenhotep III, sering mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang bertugas di provinsi-provinsi di Mesir untuk mengkhabarkan apa yang tengah terjadi di ibukota.
Namun, praktik seperti ini tentu saja jauh berbeda dengan praktik jurnalisme profesional seperti sekarang. Pada masa itu lebih tepat bila kita sebut cikal bakal munculnya praktik jurnalistik. Sebab, ketika itu, ada pesan yang disampaikan lewat media.
Dulu, praktik komunikasi dengan perantaraan media tak mengkhawatirkan. Sebab, pesan disampaikan kepada orang yang tepat. Sekarang, kemajuan teknologi informasi justru membuat praktik jurnalistik menjadi berbahaya. Pesan tidak lagi tersampaikan kepada orang yang tepat.
Dalam peristiwa belakangan ini, misalnya. Banyak sekali informasi berseliweran tentang korban virus corona yang barjatuhan secara tragis. Padahal, apakah masyarakat membutuhkan itu? Tidak! Masyarakat hanya butuh cerita tragis itu dalam dosis yang tepat. Cerita yang jauh lebih dibutuhkan mereka adalah tentang kesembuhan, upaya yang pantang menyerah, dan keyakinan bahwa mereka bisa meghadapi semua ini.
Belum lagi bila kita berbicara tentang jurnalisme warga, banyak sekali informasi yang tidak tepat sasaran, tidak tepat situasi, dan tidak tepat waktu, karena syahwat ingin segera berbagi cerita. Ceramah di sebuah masjid, misalnya, barangkali hanya cocok didengar oleh jamaah di masjid tersebut yang memang telah terdidik. Bila ceramah itu diam-diam direkam, lalu dibagi kepada publik, maka boleh jadi yang muncul adalah praduga, tudingan, bahkan fitnah.
Padahal, Islam menganjurkan agar kita memperhatikan kondisi masyarakat yang kita dakwahi, termasuk materi dakwahnya, bila hendak berdakwah kepada sebuah masyarakat. Materi dakwah yang bermanfaat untuk kaum awam, belum tentu bermanfaat untuk kaum terdidik. Begitu pula sebaliknya. Jika dipukul rata, boleh jadi akan memicu timbulnya konflik.
Sebegitu pentingnya hal ini sampai Imam Bukhari membuat bab dalam Shahihnya tentang mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak boleh disampaikan kepada kaum yang lain karena khawatir akan salah persepsi. Beliau menukil perkataan Ali bin Aabi Thalib, "Berbicaralah kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka pahami. Sukakah kalian bila mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya?”
Ibu Masud juga berkata hal senada. "Tidakkah kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu kaum, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka."
Bahkan Islam juga menganjurkan kepada kita agar memperhatikan waktu dan kondisi dalam berdakwah, serta memperhatikan skala prioritas masyarakat yang didakwahi. Kisah mashur tentang Muadz yang diutus oleh Rasulullah SAW ke Yaman untuk berdakwah adalah contoh bagaimana dakwah harus dijalankan secara sistematis, bukan _semau gue_.
Kata Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, "Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah awal dakwahmu kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika mereka telah mengenali Allah, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada fakir miskin. Jika mereka menaatinya maka ambillah harta-harta itu dan hindarilah harta-harta kesayangan mereka."
Jadi, kemajuan teknologi belum tentu melahirkan kemajuan peradaban bila tidak diikuti dengan etika yang benar.
Wallahu alam.
Sabtu, 28 Maret 2020
Bagilah Informasi Kepada Orang yang Tepat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat