Selasa, 28 Juni 2016

Perang Opini Lewat Media Massa

Media publikasi berkembang demikian pesat. Dulu kita hanya mengenal media cetak dengan sebaran dan kecepatan penyebaran yang sangat terbatas. Lalu muncul media elektronik (televisi dan radio), media internet, dan terakhir media sosial yang daya jangkau, kecepatan penyebaran, dan kemampuan interaksinya jauh lebih hebat.

Dulu, tak mudah mempublikasikan karya tulis, karya suara, atau karya video; tak mudah memperoleh informasi secara cepat atau berinteraksi kepada orang lain secara langsung, terlebih secara bersama-sama dalam ruang-ruang diskusi. Dan, reaksi publik atas isu pun lambat.

Sekarang, semua orang bisa menjadi wartawan (meski sedikit sekali yang bisa menjadi wartawan yang baik). Informasi begitu banyak berkeliaran, berlomba-lomba mengambil hati pembaca/pemirsa, bahkan interaksi antar sesama individu begitu mudah terlaksana. Masyarakat pun lebih gampang bereaksi.

Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat ini tentu memiliki dampak, baik dampak positif maupun negatif.


Perang Opini

Dampak paling nyata adalah perang pemikiran yang semakin dahsyat. Jika dulu Sayyid Quthb pernah berkata, Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala, maka sekarang ungkapan tersebut perlu sedikit direvisi. 

Sebab, saat ini, satu tulisan belum tentu bisa menembus satu kepala karena di dalam kepala tersebut sudah bersarang ribuan tulisan yang lain. Muatan dalam tulisan tersebut bisa saja tertolak karena bertentangan dengan isi kepala yang telah dicekoki informasi berlawanan. Bukankah saat ini ada jutaan informasi berseliweran setiap menit, setiap jam, dan setiap hari? Dan, informasi tersebut bisa diakses dengan mudah, gratis pula!

Di sisi lain, masyarakat Indonesia belum dewasa menyikapi berlimpahnya informasi tersebut. Masyarakat gemar menyebar informasi tanpa verifikasi, terutama di media sosial. Masyarakat juga gemar percaya pada informasi yang sensasional. Tak heran bila banyak politikus, termasuk Presiden AS, Barack Obama, memanfaatkan kegaduhan media sosial ini untuk memuluskan langkahnya menuju kursi kekuasaan.

Celakanya lagi, jumlah mujahid berpena sekarang ini amat tak imbang dengan jumlah liberalis/sekuleris berpena. Para jurnalis Muslim betul-betul harus bekerja keras untuk mengimbangi berita-berita yang dibuat oleh para liberalis/sekuleris tersebut.  Tragedi Sarinah, prahara Siyono, dan kasus Saeni adalah beberapa contoh sepanjang tahun 2016 ini.   

Mungkin kita masih bertanya-tanya, mengapa media massa memiliki peran besar terhadap perang opini, padahal wartawan tidak boleh berbohong, bahkan tak boleh beropini sekalipun? Kita tahu, jika seorang wartawan berbohong ---atau beropini--- dalam tulisannya, maka ia terancam menerima sanksi berupa: dipecat dari pekerjaannya, dimeja hijaukan, dipenjara, dikenakan denda, atau setidaknya tak dipercaya lagi oleh publik.

Lalu mengapa media massa punya andil besar dalam perang opini? Bila kita putar kembali sejarah jurnalisme, maka pada awalnya jurnalisme hanyalah kegiatan sederhana saja, yakni melaporkan aktivitas sehari-hari (jurnalisme berasal dari kata journal).

Lantas mengapa saat ini jurnalistik tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang luar biasa hebat?  Jawabnya, karena jurnalis diperbolehkan memiliki sudut pandang. Sudut pandang inilah yang memberi banyak ruang kepada media untuk berpihak.

Caranya, media bisa memberitakan sebagian dan menutup-nutupi sebagian yang lain, melebih-lebihkan sebagian dan mengurangi sebagian yang lain, memilih narasumber yang mendukung opini yang dibangun media tersebut dan membuang/memojokkan narasumber yang tak mendukung opininya, atau menggunakan diksi yang sesuai dengan sudut pandang mereka.

Perang opini tidak seperti dua pasukan yang berhadap-hadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Perang opini bukan seperti dua petinju yang berlaga di atas ring. Perang opini seperti dua atlet yang sedang berlaga di lintasan lari dan disaksikan oleh jutaan pasang mata. 

Terkadang musuh berada di samping kita namun kita tak bisa menghujamnya dengan pukulan. Jika kita pukul lawan yang ada di samping kita, justru kita akan kalah pengaruh meskipun sang lawan tersungkur jatuh setelah kita pukul. Yang bisa kita lakukan hanya berlari sekencang-kencangnya agar musuh tertinggal jauh.


Memanfaatkan Kemajuan Teknologi

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, mau tidak mau, menyebabkan kita perlu menyesuaikan diri. Kita harus memanfaatkan kemajuan tersebut untuk mendukung dakwah yang sedang kita bangun. Bagaimana caranya?

Sudah jamak diketahui bahwa dakwah adalah kegiatan mengajak atau mengundang orang lain. Nah, agar orang yang kita undang mau memenuhi undangan tersebut maka kita harus mengenalkan diri terlebih dahulu.

Setidaknya ada dua strategi yang biasa dilakukan oleh personal atau organisasi yang ingin dikenal oleh publik dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pertama, strategi aktif-reaktif "memainkan" isu. 

Lewat strategi pertama ini, perhatian publik memang gampang kita peroleh. Apalagi bila isu yang kita munculkan atau kita respon sedang diminati banyak orang.  Namun, cara pertama ini membutuhkan daya upaya yang tidak kecil. Bahkan, energi kita bisa habis hanya untuk membangun isu baru atau mengcounter isu yang sudah ada.

Strategi kedua, aktif "memasarkan" program. Strategi ini memang sulit mendapat perhatian publik, terlebih jika kita tak pandai mengemas media publikasi semenarik mungkin. Bahkan, jangankan publik, wartawan pun kerap menganggap tak menarik apa yang kita anggap menarik. 

Namun, bukan berarti strategi kedua ini tanpa harapan. Strategi kedua ini membutuhkan kepiawaian mengubah sesuatu yang tak menarik menjadi sesuatu yang menarik. Atau jika kita belum mampu  pemanfaatan jaringan untuk gerakan publikasi secara massif, bisa pula membuat strategi kedua ini berjalan sukses. Yang terpenting, strategi kedua ini bisa membuat kita lebih fokus pada langkah-langkah mencapai tujuan, dan tidak terlena dengan hingar bingar popularitas yang semu. 


Penutup

Rasulullah SAW pernah berkata (dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari) bahwa salah satu tanda akhir zaman adalah timbulnya fitnah sehingga tak ada satu pun rumah yang tak dimasuki olehnya. 

Dulu, kita masih bisa menyelamatkan keluarga kita dari fitnah dengan menyuruh mereka masuk ke dalam rumah. Tapi sekarang, dengan kemajuan teknologi informasi, sumber fitnah itu sendiri telah bercokol di dalam rumah kita, di dalam kamar kita, bahkan di dalam genggaman kita.

Kita tak bisa lari dari realitas ini. Yang bisa kita lakukan adalah tampil ke gelanggang memanggul senjata-senjata qolami sembari memperkokoh benteng pribadi, keluarga, dan kader-kader Hidayatullah agar kebal terhadap serangan para perusak iman.

Wallahu alam.

(Disampaikan pada diskusi i'tiqaf DPP Hidayatullah di Masjid Ummul Quro' Cilodong, Depok)