Senin, 27 Juni 2016

Hapus Kesedihanmu dengan Shalat

Tahun kesepuluh kenabian, ketika bulan Ramadhan tiba, Rasulullah SAW ditimpa kesedihan luar biasa. Bahkan, karena kesedihan itu, masyarakat menamainya sebagai Tahun Duka Cita.

Sejarah mencatat, pada tahun ini Rasulullah SAW kehilangan dua orang yang amat beliau cintai. Pertama, sang paman, Abu Thalib. Beliau telah mengasuh Rasulullah SAW sejak kecil. Beliau juga yang selalu menjaga Rasulullah SAW dari kekejaman kaum kafir Quraisy.

Pada bulan Rajab, enam bulan setelah dibebaskannya umat Islam dari pemboikotan, sakit yang diderita Abu Thalib kian bertambah parah. Lalu, di bulan Ramadhan, Sang Paman dipanggil oleh Allah SWT.

Kedua, serta sang istri, Khadijah. Beliau wafat pada 10 Ramadhan, atau tiga hari setelah wafatnya Abu Thalib (ada juga yang menyebutnya dua bulan). Beliaulah yang setia mendampingi Rasulullah SAW dalam suka dan duka selama seperempat abad. Beliu pula yang meringankan beban Rasulullah SAW di saat-saat genting, serta rela menghabiskan semua hartanya untuk mendukung dakwah Rasulullah SAW.

Tentang Khadijah ini, Rasulullah SAW pernah berkata, "Dia mengimaniku ketika banyak manusia mengingkariku. Dia percaya pada kejujuranku ketika banyak manusia menuduhku berdusta. Dia memanfaatkan hartanya untukku, ketika banyak manusia gemar menumpuk hartanya. Darinya Allah mengaruniaiku anak dan tidak dari isteri-isteriku yang lain," (Imam Ahmad).

Kematian sang isteri membuat rasa sedih yang belum sempurna pulih, kian bertambah sedih. Hilangnya orang yang selama ini melindungi dakwah Rasulullah SAW dan orang yang setia mendampingi perjuangan beliau memaksa Rasulullah SAW hijrah ke Thaif. Kebetulan Kota Thaif ketika itu dipimpin oleh pemuka Bani Syaqif yang masih ada hubungan keluarga dengan Rasulullah SAW. Wajarlah bila kemudian Rasulullah SAW berharap mendapat perlindungan dan dukungan dari keluarganya sendiri di Thaif.

Namun, Allah SWT justru berkehendak lain. Masyarakat Thaif justru mencerca beliau, bahkan termasuk para budak dan para penjahat. Mereka melempari Rasulullah SAW dengan batu hingga luka-luka, mengusir beliau dari Thaif, dan mengejar beliau hingga ke sebuah kebun milik Uqbah bin Rabi'ah.

Melihat derita yang melanda Rasulullah SAW, Malaikat Jibril datang dan menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif. Namun Rasulullah SAW menolaknya. Beliau justru telah memaafkan mereka dan berharap Allah SWT menurunkan hidayah kepada penduduk Thaif.

Setelah kepedihan demi kepedihan ini menimpa Rasulullah SAW, Allah SWT seakan-akan menurunkan sebuah hiburan kepada beliau. Sebuah rihlah yang luar biasa telah disiapkan oleh Allah SWT, yakni perjalanan dari Makkah ke Madinah dan naik ke langkit ketujuh. Peristiwa ini terjadi pada 27 Rajab sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.

Inilah perjalanan yang fenomenal. Inilah “rihlah” agung yang selama ini kita kenal dengan sebutan Isra' Mi'raj.

Dan, kita tahu bahwa “oleh-oleh” terbesar dari rihlah ini adalah shalat. Inilah hikmah besar yang bisa kita petik dari rangkaian sejarah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Inilah “oleh-oleh” dari sebuah rihlah yang manjadi pelipur lara Rasulullah SAW.

Allah SWT berpesan dalam al-Qur’an surat Al Baqarah [2] ayat 153, “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.”

Jadi, ketika persoalan demi persoalan datang melanda, kepedihan demi kepedihan datang mendera, segera kuatkan diri kita dengan shalat.

Wallahu a'lam.