Kamis, 05 Februari 2015

UGAR, Pulau Muslim di Papua

Ada sebuah pulau kecil di sebelah utara Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Namanya Pulau Ugar. Luas pulau ini hanya sekitar 17 kilometer persegi, kira-kira sama dengan luas bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Meski kecil, tapi Ugar telah dikenal luas oleh masyarakat Fakfak. Rasanya tak ada penduduk Fakfak yang tak kenal pulau ini. Apalagi, Pulau Ugar telah menjadi salah satu tujuan pariwisata Kabupaten Fakfak, meski tak setenar pulau-pulau lain yang ada di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat

Pulau Ugar terletak di Kecamatan Kokas, Kabupaten Fakfak. Untuk menuju pulau ini tidak sulit. Dari kota Fakfak, Anda bergerak menuju utara, menempuh perjalanan mobil selama kira-kira 1 jam, hingga tiba di pinggir laut di kecamatan Kokas.

Dari sini, Anda meneruskan perjalanan mengunakan perahu motor selama kurang lebih 45 menit. Sepanjang perjalanan laut ini Anda akan disuguhi pemandangan indah. Ada pulau-pulau kecil yang hijau, burung-burung camar yang terbang rendah di atas air, bahkan sekali-kali ada ikan lumba-lumba yang menampakkan diri ke permukaan.

Anda juga bisa merasakan hembusan angin yang kencang, percikan air laut yang mengenai muka, serta goyangan perahu yang melaju, membelah ombak-ombak kecil. Semua itu akan menambah takjub kita kepada ke-Mahabesar-an Allah SWT.

Dulu, Ugar hanyalah sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Tak ada yang menetap di pulau ini. Kalau pun ada yang datang, kata Sarif Biaruma, kepala Kampung Ugar, mereka hanya sekadar mampir.

"Dulu nelayan yang sedang melaut sering mampir ke pulau ini. Tapi mereka tidak menetap," kata Sarif kepada Suara Hidayatullah saat ditemui di Pulau Ugar akhir Desember lalu.

Orang pertama yang menetap di pulau ini adalah Belima Biaruma. Ia datang ke pulau ini pada tahun 1945 bersama seorang saudaranya. Ketika itu, ia melihat Ugar sudah tertata rapi. Lalu ia berkata, "bai sudah." Artinya, "(Pulau ini) sudah baik".

Kata-kata inilah yang menjadi makna kata "Ugar". Maksudnya, pulau Ugar ketika disinggahi oleh Belima sudah tertata cukup rapi untuk dijkadikan tempat menetap. Belima sendiri adalah ayah dari Sarif.

Mengapa pulau ini sudah tertata rapi ketika Belima memutuskan untuk menetap? Menurut buku Profil Kampung Ugar yang diterbitkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Fakfak tahun 2006, pulau ini juga dijadikan tempat berkebun oleh para nelayan yang mampir ke pulau ini. Mereka kerap membersihkan lahan untuk ditanami buah-buahan. Aktivitas inilah yang membuat Ugar terlihat tertata rapi.

Beberapa tahun setelah ditempati, ketika jumlah penduduk kian bertambah banyak, pemerintah mulai menata pulau ini menjadi sebuah kampung. Tahun 1987, jalan setapak mulai dibangun. Demikian pula sekolah dan masjid.

Tahun-tahun berikutnya jumlah penduduk Ugar kian bertambah. Tahun 2006, misalnya, tercatat 27 kepala keluarga telah menetap di sini. Total jumlah penduduk saat itu sebanyak 170 jiwa.

Kini, menurut Sarif yang telah tinggal di Pulau Ugar sejak ia lahir, jumlah penduduk pulau Ugar telah mencapai 53 kepala keluarga, atau sekitar 300 jiwa. Mereka menempati lahan sekitar 15 persen saja dari keseluruhan pulau. Selebihnya masih berupa hutan dan semak-semak.

Sebagian besar penduduk Ugar bekerja sebagai nelayan. Ada beragam hasil laut yang bisa mereka tangkap, seperti ikan kakap merah, ikan kerapu, ikan tenggiri, udang lobster, dan teripang laut.

Hasil laut tersebut, sebagian mereka konsumsi sendiri, sebagian lagi mereka jual ke Kecamatan Kokas. Satu kilogram ikan, mereka jual Rp 25 ribu. "Rata-rata pendapatan masyarakat di sini Rp 100 ribu per hari," kata Sarif.

Selain menangkap ikan, ada juga penduduk yang berkebun. Namun, hasil berkebun tak sebanyak hasil melaut. Jumlah pekebun juga tak banyak. Sarif memperkirakan, tak lebih dari 10 kepala keluarga saja. Pohon yang ditanam antara lain kelapa, sukun, mangga, kayu besi, dan jeruk bali.

Kebersihan dan kerapian Pulau Ugar tetap dipertahankan sampai sekarang. Jalan kampung selebar 1 setengah meter telah dicor. Di kedua sisinya diberi pagar kayu bercat biru dan putih. Antara satu rumah dengan rumah yang lain diberi jarak, tak saling berdempetan.

Tak ada sepeda motor di sana, apalagi mobil. Sebab,total panjang jalan di pulau itu hanya sekitar 150 meter saja. Jadi, cukup dilalui dengan berjalan kaki. Yang menarik, tak ada sinyal telepon seluler di pulau ini. Tapi untunglah listrik sudah menyala meski berasal dari swadaya sendiri.

Pada musim-musim tertentu, air laut di kampung Ugar mengalami surut luar biasa. Penduduk setempat menyebutnya metti. Pada kondisi ini kita bisa melihat dengan jelas dasar laut hingga beberapa ratus meter ke tengah. Para nakhoda juga akan menjalankan perahu motornya dengan perlahan-lahan jika hendak menuju pulau. Mereka khawatir kipas mesin akan terbentur karang atau terkena ladang rumput laut milik masyarakat.

Kampung Muslim

Semua penduduk Ugar beragama Islam. Ciri khas Muslim terlihat jelas dari pakaian yang mereka kenakan. Para wanita telah terbiasa mengenakan jilbab atau tutup kepala meski masih suka memakai baju lengan pendek. Sedang para lelaki sering mengenakan kopiah meski masih suka memakai celana pendek di atas lutut.

Hebatnya lagi, jangan harap Anda menemukan anjing berkeliaran di pulau ini. Yang ada cuma beberapa jenis unggas seperti burung bangau dan ayam. Kadang-kadang, penduduk juga menangkap rusa. Kondisi ini jelas kontras dengan keadaan kampung di sepanjang jalan antara Kota Fakfak menuju Kokas. Di sana, anjing-anjing banyak berkeliaran.

Menurut catatan sejarah yang ditulis dalam buku Profil Kampung Ugar , Islam pertama kali masuk ke kampung ini dibawa oleh Aguan Saimima. Ketika itu telah terjadi kontak dagang antara bangsa Papua dengan bangsa Arab. Komoditas yang dijual dari daerah ini adalah teripang, lokas, dan beberapa jenis ikan.

Kini, telah berdiri sebuah masjid kecil di tengah-tengah kampung. Masjid ini bernama Rabbul Alam. Kapasitasnya cuma 100 orang. Tak jauh dari masjid, ada juga Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Namanya TPA Almahdi.

Jambore Akbar

Meski Pulau Ugar tak luas dengan penduduknya yang sedikit, namun pulau ini telah dipercaya menjadi tuan rumah perhelatan akbar Jambore Dakwah Internasional yang diselenggarakan Al Fatih Kaafah Nusantara (AFKN) pada 22 Desember 2014 hingga 1 Januari 2015 lalu. Sebanyak 1.100 pemuda asal Papua berkumpul di pulau ini, termasuk beberapa pemuda Muslim Papua yang tinggal di luar pulau, seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Ada juga seorang utusan dari Malaysia.

Sejumlah pemateri diundang dari Jakarta dan Yogyakarta untuk memberi pencerahan kepada para peserta jambore. Para peserta bersemangat mendengarkan pemaparan penyaji dan sesekali melontarkan pertanyaan yang terkadang menggelitik di telinga.

"Ustad," kata seorang peserta kepada Dr Adian Husaini, salah seorang penyaji, "Mengapa Islam ini dikatakan agama yang benar sedang yang lain salah? Apakah berarti agama yang lain tidak baik, padahal mereka juga mengajarkan kebaikan?"

Di kesempatan lain, ada juga peserta yang bertanya, "Jika Islam itu agama yang benar, lalu mengapa dalam Islam ada perbedaan antar kelompok seperti Muhammadiyyah, NU, dan tabligh?"

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Adian dengan gaya santai menjawab lewat beberapa analogi. Misalnya, terhadap pertanyaan pertama, ia menjawab, "Andai ada seorang anak yang selalu berbuat baik kepada bapaknya namun ia tidak mau mengakui kalau bapaknya itu benar-benar orangtua kandungnya, apakah anak tersebut tergolong baik atau jahat?"

Menurut Ketua Umum AFKN, M Zaaf Fadzlan Rabbani Garamatan, lembaganya telah lama membina masyarakat Ugar, sebagaimana mereka telah lama pula membina masyarakat Nuuwar, nama lain untuk Papua. "Kami berharap, di kampung Ugar ini tak hanya berjalan rutinitas kehidupan, tapi juga tumbuh kegiatan belajar al-Qur'an," kata Fadlan kepada Suara Hidayatullah.

Sedang menurut Ketua Panitia Jambore Dakwah, Maryam Sully, Pulau Ugar memiliki sumberdaya alam melimpah berupa hasil laut dan potensi wisata. "Sayangnya, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, mengakibatkan rendah pula pemahaman kehidupan beragama mereka," jelasnya. Maryam sendiri, selepas jambore tersebut, dipanggil oleh Sang Khalik setelah terserang stroke.

Latas seperti apa fakta-fakta rendahnya pemahaman ber-Islam di Pulau Ugar, sebagaimana diungkap Maryam, dan bagaimana pula dengan kebanyakan masyarakat Muslim Papua? Yang pasti, harapan yang diungkap Fadlan bahwa suatu saat kelak di kampung Ugar akan tumbuh kegiatan belajar al-Qur'an dan belajar beri-Islam secara kaafah, adalah sama dengan harapan seluruh masyarakat Muslim Papua. ***


CATATAN
1. Silahkan baca kelanjutan kisah ini pada artikel berikutnya berjudul Di Sini Jalan Dakwah Masih Panjang dan Dai Itu Seperti Dokter Bukan Seperti Hakim.
2. Untuk melihat video tentang Ugar, silahkan klik di Memotret Ugar, Memotret Muslim Papua)
3. Artikel ini telah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2015)