Ini adalah bagian kedua dari tulisan UGAR, Pulau Muslim di Papua. Pada tulisan sebelumnya dikisahkan bahwa Ugar adalah pulau kecil di Fakfak, Papua Barat, yang semua penduduknya beragama Islam. Tulisan kedua ini banyak mengupas kehdupan masyarakatnya. Selamat mengikuti.
***
Malam itu di Pulau Ugar,
jarum jam belum menunjuk angka 10. Film Palestina yang diputar oleh tim
Sahabat al-Aqsha di arena Jambore Dakwah Al Fatih Kaafah Nusantara
(AFKN) belum usai. Para peserta yang berkumpul di tenda utama jambore
masih takjub melihat kegagahan Brigade al-Qosam di dalam film itu.
Namun tiba-tiba, dari sebuah tenda peserta, tak jauh
dari tenda utama, terdengar suara perempuan berteriak histeris. Rupanya
perempuan itu terkejut karena berpapasan secara tiba-tiba dengan seorang
perempuan lain yang tengah mengenakan mukena. Ia pingsan.
Teriakan perempuan itu kontan membuat gaduh malam yang
tak lama lagi akan "penuh". Sejumlah petugas keamanan berlarian
menghampiri, lalu menggotong tubuh perempuan yang tak sadarkan diri itu.
Kegaduhan rupanya tak berhenti sampai di sini. Setelah
peristiwa pertama, berturut-turut terjadilah peristiwa kesurupan yang
melanda sekitar 20 peserta jambore lainnya.
Beberapa panitia mulai sibuk meruqiah 20 peserta tadi.
Lantunan ayat suci al-Qur'an berpadu dengan suara teriakan peserta yang
diganggu oleh jin, memecah malam yang seharusnya kian sepi.
Sementara itu, tak jauh dari tenda utama, kira-kira
sepelemparan batu, ada sebuah ritual mengusir jin yang dilaksanakan
penduduk kampung setempat. Mereka berkumpul di dua tempat. Pertama di
bawah sebatang pohon besar. Kedua, di dekat sebuah sumur tua. Seorang
wanita berkerudung duduk bersimpuh takzim menghadap pohon. Ia seperti
memimpin ritual itu.
Selang beberapa lama, perempuan itu berteriak, "Rokok! Rokok!" Sepertinya ia juga sedang kemasukan jin.
Penduduk setempat buru-buru menyediakan apa yang
diminta perempuan tadi. Lalu ia berteriak lagi meminta kopi. Lagi-lagi
warga buru-buru menyediakannya. Buah pinang ikut disajikan di atas
piring bersama kopi dan rokok tadi. Lantunan ayat suci al-Quran tak
terdengar dari tempat ritual itu.
Salah seorang wanita yang ikut ritual tadi mengatakan,
arwah leluhur telah diganggu dengan kehadiran peserta jambore. Karena
itu, peserta jambore harus meminta maaf agar tidak ada lagi peserta
jambore yang kesurupan.
Beberapa saat sebelum ritual itu berlangsung, beberapa
penduduk telah menghubungi panitia jambore agar menyerahkan peserta
yang kesurupan itu kepada mereka untuk "diobati". Namun pihak painita
menolak permintaan itu dan terus melanjutkan proses ruqiyah secara
Islami.
Begitulah penduduk Ugar. Meski mereka telah mengenal
Islam dan berani memperlihatkan identitas Muslim di antara citra Papua
sebagai propinsi non-Muslim, namun sebagian besar mereka masih
menganggap Islam hanya sebagai budaya saja. Islam bukan sebuah syariat
yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, apalagi mengimani segala
konsekuensi bila mengabaikan syariat Allah SWT.
Hal ini diakui oleh Muntaha, mahasiswa Fakultas Dakwah
dan Komunikasi, UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, yang tengah
kuliah kerja nyata (KKN) di sana. "Penduduk di sini sulit sekali bila
diajak shalat berjamaah," jelas mahasiswa semester 7 tersebut.
Ada saja alasan warga bila diajak shalat berjamaah di
masjid. "Ada yang bilang capek, ada yang sengaja sembunyi gak mau
ditemui, dan ada juga yang bilang, 'mas duluan saja' tapi gak pernah
menyusul ke masjid," cerita Muntaha lagi.
Tapi kalau mereka diajak kerja bakti membangun masjid
atau memperbaiki fasilitas umum, mereka sangat bersemangat. Mereka
segera bergotongroyong tanpa harus menunggu lama-lama.
Ini terbukti pada 22 Desember lalu. Saat kubah Masjid
Rabbul Alam, satu-satunya masjid yang ada di Pulau Ugar, selesai dibuat
atas bantuan donatur yang dihimpun oleh AFKN, penduduk setempat
berbondong-bondong membawanya. Kubah setinggi 5 meter dengan lebar 4
meter tersebut dibawa menggunakan perahu, digotong ke daratan, lalu
dinaikkan ke atas atap masjid.
Masyarakat di sini juga masih percaya dengan
budaya-budaya yang tak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya, kata
Muntaha, menjalankan ritual mandi Safar dengan segala kembang
warna-warninya. Bahkan, ketika akan menggali sumur pun, cerita salah
seorang penggali di sana, mereka menggelar sejumlah ritual meminta
perlindungan.
Keadaan yang sama juga melanda para remaja. "Di sini
ada 20-an remaja. Namun cuma dua orang saja yang mau belajar mengaji.
Itu pun sekarang (semangatnya) sudah kendur," kata Muntaha.
Bila mereka ditanya mengapa tidak pernah kelihatan
mengaji, mereka mengatakan tak punya waktu. Muntaha sendiri kurang paham
apa sebetulnya kesibukan mereka sampai-sampai tak bisa menyempatkan
diri mengaji. Padahal, kebanyakan dari mereka tak pandai baca al-Qur`an.
Mereka memang bisa melafazkan beberapa surat pendek, namun cara
pengucapannya masih kurang benar.
Untunglah anak-anak masih semangat mengaji. Setiap
sore mereka sudah berkumpul di masjid Rabbul Alam. "Anak-anak itu bahkan
memanggil-manggil kami kalau kami belum kelihatan," kata Muntaha.
Anak-anak tersebut diajar cara dan bacaan shalat, berwudhu, azan,
iqomat, dan baca Qur`an.
Muntaha dan para mahasiwa UIN Walisongo telah lebih
dari 10 hari berada di Ugar. Mereka kembali ke kampus pada awal Januari
2015. Entah siapa yang akan menggantikan tugas mereka membina anak-anak
ini bila mereka telah selesai KKN.
Dulu, tahun 2009, kata Muntaha, pernah ada sejumlah
mahasiwa dari STIA Fakfak yang KKN di Pulau Ugar. Mereka berada di
pulau ini sekitar 2 pekan. Setelah itu, tak ada lagi mahasiswa KKN yang
bertugas di pulau ini hingga sekarang.
Kepala Kampung Ugar, Sarif Biaruma, mengakui kalau
warganya masih banyak yang tak pandai baca Qur'an. "Mungkin 80 persen
penduduk di sini tidak bisa baca Qur'an," katanya kepada penulis akhir Desember lalu. Bahkan juga tak bias baca tulis latin.
Pengajian juga jarang sekali digelar di kampung ini.
"Kalau ada ustadz yang dibawa AFKN datang, baru ada pengajian. Tapi
mereka kan tidak sering datang ke pulau ini membawa ustad. Yang mereka
bawa biasanya bantuan dari donatur untuk perbaikan (infrastruktur) di
sini," kata Sarif.
Sementara itu Sirajuddin, dai Pulau Arguni, sekitar 15
menit perjalanan dari Pulau Ugar, mengatakan apa yang terjadi di Pulau
Ugar hampir sama dengan apa yang terjadi di pulau-pulau lain di Papua.
Mereka juga masih sulit meninggalkan budaya leluhur yang berbau sirik.
Bahkan di beberapa bagian di Papua, masih sering terjadi perang antar
suku.
"Saya sering berdakwah dari satu pulau ke pulau lain
sambil menjajakan majalah-majalah Islam dan obat-obat herbal. Saya masuk
dari satu rumah ke rumah yang lain. Saya mengajak mereka shalat dan
mempertahankan wudhu. Tapi saya malah dikira menyebarkan aliran sesat,"
cerita Sirajuddin kepada Suara Hidayatullah.
Hal yang sama juga diungkap Ruslan, dai AFKN yang
tinggal di Sorong, Papua Barat. Menurutnya, berdakwah di Papua tak bisa
dilakukan secara massal. Mereka harus di datangi dari satu rumah ke
rumah yang lain.
"Bagi mereka, mengaji bersama-sama itu ya makan-makan," kata Ruslan.
Pulau Ugar hanyalah satu di antara sekian banyak pulau
di Papua. Bila di pulau ini seluruh penduduknya beragama Islam, maka di
Papua tidak demikian. Laporan Majalah Suara Hidayatullah pada 2008 menyatakan
baru 40 persen penduduk Papua yang beragama Islam. Selebihnya, gabungan
pemeluk Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan animisme.
Bila kondisi masyarakat Ugar yang seluruhnya Muslim
tersebut masih seperti itu, maka bagaimana kondisi umat Islam di Papua
secara keseluruhan? Agaknya, masih panjang jalan dakwah di Nuu War. ***
CATATAN
1. Silahkan baca kelanjutan kisah ini pada artikel berikutnya berjudul Dai Itu Seperti Dokter Bukan Seperti Hakim
2. Untuk melihat video tentang Ugar, silahkan klik di Memotret Ugar, Memotret Muslim Papua)
3. Artikel ini telah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2015)