Cukuplah seseorang berbuat buruk jika ia meremehkan saudaranya sesama Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (Riwayat Muslim)
Seharusnya, momok paling menakutkan bagi pekerja media massa adalah "jeratan" undang undang pencemaran nama baik. Dalam undang-undang ini dicantumkan, siapa pun yang mendistribusikan informasi yang bersifat penghinaan dan pencemaran nama baik, maka ia akan "dimiskinkan" dengan denda mencapai Rp 12 miliar atau kurungan maksimal 12 tahun.
Belakangan, setelah jejaring sosial merebak ke mana-mana, undang-undang ini menjerat juga masyarakat luas. Jadi, seharusnya, bukan sekadar para jurnalis yang ketakutan dengan momok ini, tapi juga masyarakat. Mereka akan lebih berhasti-hati bila ingin menulis karena khawatir menyinggung perasaan orang lain.
Namun faktanya, kicauan di dunia maya tetap saja banyak yang bernada penghinaan dan pelecehan. Begitu juga berita media massa. Masyarakat rupanya tak peduli dengan ancaman tersebut. Mungkin mereka sudah terbiasa saling mencemooh. Bahkan, jejaring sosial pun ikut menyediakan fasilitas mencemooh dengan mengklik tanda "dislike". Ada apa dengan masyarakat kita?
Jauh sebelum negara ini mengeluarkan larangan menghina, melecehkan, atau merusak kehormatan, Islam telah lebih dulu mengatur soal ini. Larangan ini bahkan termuat dalam salah satu cabang iman tentang haramnya melecehkan orang lain. Artinya, siapa pun Muslim yang masih gemar menghina orang lain, maka imannya diragukan.
Jika larangan itu datang dari Sang Khalik, apakah kita masih berani tak peduli? ***
(Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2015)