Sesungguhnya, orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka. ( Al-Ahzaab [33]: 57)
Sejatinya manusia ingin bebas. Manusia tak suka dikungkung, apalagi bila fisiknya di penjara. Manusia ingin lepas dari ikatan.
Tapi kebebasan seperti apa yang sesungguhnya diinginkan manusia? Tentu saja kebebasan yang menentramkan hatinya. Bukan kebebasan yang memporakporandakan hidupnya, atau membuat dirinya menjadi celaka.
Kebebasan seperti apa yang bisa menentramkan hati? Jawabnya, kebebasan yang mengantarkan manusia pada fitrahnya. Yakni, kodrat asal manusia sebelum ia diubah, dicemari, dan dirusak oleh lingkungannya. Itulah kebebasan menurut Islam.
Jika seseorang telah menjalani hidupnya sesuai fitrah, maka sudah pasti ia akan terbebas dari penjara hati serta porakporandanya hidup. Namun, jika manusia meninggalkan fitrahnya dan menuruti hawa nafsunya, maka sudah pasti hatinya akan terbelenggu, jiwanya akan kosong, dan tindakannya akan ngelantur.
Ilustrasi sederhananya begini. Jika semua kendaraan di perempatan jalan tak mau mematuhi aba-aba dari lampu lalu lintas, maka sudah pasti lalu lintas di tempat itu akan amburadul. Tak ada kendaraan yang bisa bebas berlalu-lalang.
Bahkan, jangankan semua kendaraan, satu saja kendaraan yang tak mau mematuhi aba-aba lalu lintas, besar kemungkinan semua kendaraan di sana akan terbelengu. Jalanan akan macet. Bahkan, keterbelengguan ini bisa menimbulkan kemarahan dan huru-hara.
Jadi, orang yang bebas adalah mereka yang hidupnya selaras dengan fitrahnya. Sebaliknya, orang yang terpenjara adalah mereka yang menolak fitrah dan berlaku semaunya.
Allah SWT telah mempersilahkan manusia untuk memilih satu di antara dua jalan tersebut. Jalan kebebasan atau keterkurungan. Celakanya, kebanyakan manusia saat ini salah memilih jalan kebebasan tersebut. Mereka memilih jalan keterkurungan ketimbang jalan kebebasan.
Bahkan, di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, "plang tanda kebebasan" telah dipindah ke jalan keterkurungan. Sebaliknya, mereka tancapkan "plang tanda keterkurungan" ke jalan kebebasan. Kian banyaklah yang tersesat.
Dalam berbusana, misalnya. Mereka menganggap kebebasan adalah mengumbar aurat ke mana-mana. Mereka berpakaian minim, bahkan seminim mungkin. Mereka merasa terkungkung bila harus mengenakan hijab. Akibatnya, kekerasan seksual marak terjadi.
Begitu pula dalam hal makanan. Mereka tak mau diatur dengan label halal dan haram. Mereka ingin bebas menyantap semua makanan yang terasa enak di lidah. Mereka tak mau berhenti sebelum kenyang, dan makan meski tak lapar. Akibatnya, penyakit merebak ke mana-mana.
Bahkan belakangan ini kebebasan yang mereka anut telah kebablasan. Mereka kian tersesat. Mereka berani melecehkan Sang Khaliq atas dalih kebebasan berekspresi. Mereka tak sadar bahwa mereka tengah meniti jalan kebinasaan, jalan yang mereka pilih sendiri.
Padahal, Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-Kahfi [18] ayat 29, telah menyediakan untuk manusia dua jalan: jalan menuju fitrah, yakni Islam, dan jalan menafikkan fitrah yang menuju kekafiran.
Barangsiapa meniti jalan fitrah, yakni mengimani segala ketentuan Allah SWT, maka selamatlah ia. Tapi barangsiapa yang memilih kafir, maka Allah SWT telah menyediakan buat mereka neraka jahannam yang minumannya berupa cairan besi yang mendidih. Mereka rugi di dunia, rugi pula di akhirat. Naudzubillah.
(Dimuat di Suara Hidayatullah edisi Februari 2015)