Kamis, 27 Februari 2014

Herry Mohammad: Wartawan Muslim Harus Seperti Perawi Hadits

Dalam dunia media, terutama televisi, rating (jumlah orang yang menonton) dianggap sebagai Tuhan. Sebuah acara yang rating-nya tinggi akan bisa terus bertahan, sementara jika rating turun bersiaplah untuk gulung tikar. Walhasil, jika di televisi, acara-acara hiburan lebih mendapat tempat istimewa dibandingkan berita atau acara yang inspiratif.

Fenomena inilah yang dikhawatirkan oleh Herry Mohammad, wartawan senior. Menurut Redaktur Pelaksana (Redpel) majalah berita mingguan, GATRA ini, tak bisa dipungkiri bahwa rating telah menjadi ideologi  media umum. Menurutnya, para pemilik media berpikir kalau untung jalan terus, kalau rugi ya tutup. "Begitulah bisnis," tegas Herry. Tak heran, tambahnya, banyak pengusaha media memiliki bisnis media lainnya. 

Hanya saja, meski secara kasat mata media merupakan bisnis. Namun, isi media itu ditentukan oleh orang-orang yang mengisi di dalamnya. Orang-orang ini, ujar Herry yang menyebutnya sebagai redaksi, harus memiliki idealisme dan mampu membawa arah media.  "Sehingga media itu tidak hanya membawa kepentingan politik dan bisnis sang pemilik," tutur Herry yang pernah menulis buku Jurnalisme Islami (1992).

Tentu saja itu tantangan terberat bagi pengelola media di tengah kompetisi media dan kemunculan media-media baru. Maka, kata Herry, kuncinya adalah kreativitas. Termasuk bagi jurnalis sebuah media, kreativitas dalam menentukan angle berita menjadi kunci sebuah media cetak eksis. Herry mencontohkan kasus pembunuhan berantai oleh Ryan di Apartemen Margonda, Depok. Selama sepekan kejadian, seluruh media cetak dan elektronik membahas tuntas mengenai kejadian ini.

"Tapi setelah kita pelajari seluruh media, ada yang luput tak dibahas media lain, yakni soal kejiwaan pelaku. Maka soal kejiwaan itulah yang kita kupas secara dalam," ujarnya.

Menyinggung soal kreativitas, menurut mantan wartawan TEMPO (1987-1990) ini, hal tersebut juga wajib dimiliki oleh jurnalis media-media Islam. Memang, pers Islam dapat bertahan karena ada yang diperjuangkan dan modal semangat yang kuat. "Tapi bagaimanapun jihad harus pakai ilmu. Nggak mungkin jihad hanya niat, tapi menembak tidak bisa. Itu kayak polisi di Sumenep, Madura, mau nembak penjambret malah kena ketua partai politik," terang Herry yang kerap melontarkan guyonan ini.

Oleh karena itu, pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 7 Mei 1960 ini menegaskan, seorang jurnalis media Islam harus profesional dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Indikatornya, papar Redpel GATRA Bidang Politik ini, seorang jurnalis mesti menyajikan berita yang berimbang dan selalu memverifikasi informasi yang didapatkan. "Seperti semangatnya para imam Hadits saat melakukan verifikasi sebuah Hadits, setidaknya kita bisa mendekati cara mereka," ulas Herry yang juga pernah menjadi wartawan majalah ekonomi, Prospek (1990-1994).

Pertengahan Januari lalu, wartawan majalah Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Dadang Kusmayadi, dan Mahladi, serta fotografer, Muh Abdus Syakur menjumpai Herry Mohammad di kantornya di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Sore itu, Herry yang mengenakan kemeja dibalut rompi wartawannya baru saja selesai rapat redaksi. Soal rompi yang ia pakai, katanya, "Dulu rompi ini sering saya pakai, tapi semenjak tukang ojek banyak menggunakan rompi, akhirnya saya tinggalkan. Nanti dikira tukang ojek. He..he..he."

Berikut petikan wawancaranya.

Anda mengatakan jika ideologi media umum adalah bisnis. Seratus persen begitu atau ada ideologi lain yang diusung?

Pasti, Mas. Ini kan kasat mata. Ada pengusaha yang menyerahkan sepenuhnya jalan media kepada redaksi. Tapi, ada juga pengusaha yang ikut campur ke dalam. Terakhir ini yang berat, dan membuat perang batin teman-teman.

Alhamdulillah, di GATRA saya diposisikan ikut menentukan arah media, sehingga saya betah.

Lantas nilai apa yang dianut oleh media semacam itu?

Kepentingan. Bisa kepentingan politik, bisnis, atau ideologi. Kalau kita mengamati, ada media yang pekerjaannya menghantam institusi tertentu, karena tidak dapat proyek dari institusi tersebut. Ada media yang selalu  sinis dengan segala yang berbau Islam, misalnya; bank syariah atau simbol Islam lainnya. Biasanya, mereka ini dipengaruhi oleh ideologi liberal.

Namun demikian, di media-media tersebut tetap ada  orang yang bersih, hanya mereka tidak mampu mempengaruhi yang lain. Bahkan, orang seperti itu akhirnya tidak tahan dengan kondisi demikian.

Bagaimana sikap orang-orang tersebut dalam kondisi seperti tadi?

Ada yang sampai tingkat produser, tidak tahan lalu keluar. Di sebuah koran, ada yang sudah sampai redaktur pelaksana, akhirnya mundur demi mensucikan diri dan keluarganya. Bahkan, ada seorang pemred televisi melihat acara di televisinya tidak mendidik, ia melarang anak-anaknya menonton acara televisinya sendiri.

Apakah mereka berupaya mengubah situasi itu?

Ya akhirnya mereka hanya bisa menggerutu saja. Sebab, di televisi itu rating sudah menjadi Tuhan.

Lantas, tidak adakah idealisme pada tataran ini?

Tidak ada, yang ada hanya duit. Ada televisi yang memperlakukan seorang produser acara yang rating-nya turun dengan mempermalukan di hadapan teman-teman yang lain. Produser dan timnya disuruh berdiri di depan pada saat rapat. Ini tidak sehat. Pikirannya hanya rating, iklan, dan duit.

Akhirnya tidak sedikit produser yang rontok, diganti dengan yang lebih muda dan bisa dibayar separuh dari produser senior. Pada tingkat tertentu ada produser dibuat tidak betah. Cara seperti itu kapitalis.

Bahayakah media-media tersebut buat masyarakat?

Ya jelas bahaya. Kalau bacaan mungkin tidak begitu terasa. Tapi kalau tontonan, televisi, itu sangat bahaya.

Sekarang tentang wartawan Indonesia, bagaimana perkembangannya?

Masih ada jurnalis di daerah yang bekerja untuk mendapatkan iklan di media mereka. Yang pintar makmur dia. Persoalannya, ya apa begini kerja sebagai wartawan. Kalau tidak tahan miskin, ya tidak usah jadi wartawan. Jadi pengusaha saja. Jangan sampai kartu pers dibawa ke mana-mana untuk peras orang. Yang seperti ini tidak membangun, tapi merusak. Padahal, misi dari jurnalistik itu selain informatif juga harus melakukan edukasi.

Kalau medianya sendiri, khususnya media Islam, bagaimana perkembangannya?

Media Islam sangat wajar jika berlatarbelakang dari ormas. Tapi supaya tidak menyempit pasarnya, ia harus menyuarakan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Dalam bahasa pragmatisnya, agar media Islam bisa lebih meluas daya bacanya di tengah umat.

Dalam buku "Jurnalisme Islami" (1992), Anda mengkritik soal profesionalitas media Islam. Bagaimana hari ini?

Setelah 20 tahun, nyatanya tidak bergeser. Masih ditemui media Islam yang memberitakan tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Itu dituturkan oleh para terduga teroris yang sudah keluar dari penjara. Mereka kecewa dengan pemberitaan soal jatah makan di penjara yang tidak sesuai fakta. Padahal, pelajaran pertama dalam meliput berita harus skeptis, tidak boleh begitu saja percaya dengan informasi. Harus cek dan ricek. Berlakulah hukum klarifikasi dan konfirmasi. Hingga akhirnya menghasilkan berita berimbang. Karena berita dalam Islam itu tujuannya kebenaran, bisa memihak atau tidak memihak. Dan, kebenaran itu bisa enak atau bisa pula pahit.

Jadi Anda melihat kelemahan media Islam dalam hal konten?

Iya. Kalau semangat sangat luar biasa. Jika kita melihat Hadits yang hari ini kita baca, itu merupakan hasil dari verifikasi yang begitu ketat dan panjang. Idealnya wartawan seperti itu.

Selain itu, apakah Anda melihat kelemahan lain yang mesti diperbaiki?

Kalau informasi itu datang dari sesama aktivis sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Padahal tidak boleh begitu. Seperti para perawi Hadits dalam mencari sanad Hadits, ia tetap memeverifikasi para penerima Hadits, seperti soal ingatan, masalah moral, dan lainnya. Sebab, ini menentukan derajat Hadits.

Apakah karena persoalan profesionalitas ini, media Islam sulit menjadi media mainstream?

Ya, pada kenyataannya media Islam belum ada yang kuat. Masing-masing kelompok merasa cukup dengan yang dimiliki kelompoknya. Kalau begini kita sulit untuk besar. Secara teori sangat memungkinkan membuat media Islam yang besar, tapi memang diperlukan pemimpin yang kuat, yang punya kapasitas untuk didengar.

Bagaimana peran media Islam dalam memberikan pasokan informasi kepada umat?

Sangat strategis. Kalau informasi itu dipasok semuanya dari orang-orang non Islam, jatuhnya bisa dari kaum fasik. Media Islam harus menyuguhkan informasi yang didahului dengan tabayun. Sebagaimana dituntun oleh Nabi SAW dalam memberikan informasi.

Jika strategis, bagaimana agar media Islam bisa tetap bertahan di tengah umat?

Kita perlu membuat kantor berita Islam yang ditopang oleh potensi umat, baik secara individu maupun jamaah. Kantor berita Islam ini diisi oleh jaringan jurnalis Muslim  yang ada di beberapa media, baik umum maupun Islam, yang sudah standar cara kerja jurnalistiknya. Nanti kantor berita ini akan menyuplai berita kepada media Islam secara gratis, tak perlu dijual. Untuk operasionalnya bisa dari lembaga zakat, perbankan syariah, atau komunitas keislaman.

Gagasan itu baru sebatas ide atau sudah mulai Anda rancang?

Gagasan ini sudah saya lemparkan kepada pimpinan sebuah lembaga zakat di Surabaya. Awalnya, lembaga itu ingin membuat koran yang dibagikan gratis, tapi saya katakan kalau buat koran itu "berdarah-darah". Saya paparkan ide ini, beliau menanggapi positif. Tentu ini perlu persiapan yang lama. 

Apakah Anda akan mengawal ini hingga betul-betul terbentuk kantor berita Islam?

Iya, insya Allah. Sekarang sudah pada tahap sosialisasi, tapi memang tidak mudah meyakinkan orang. Ini merupakan langkah yang bisa kita lakukan saat ini. Kalau kita mengacu pada hasil konferensi media Islam yang diadakan pemerintah, tidak ada yang bisa diharapkan.

Apa yang bisa dilakukan agar eksistensi media Islam dapat diperhitungkan dan berkualitas?

Konten media tidak terlepas dari sumber daya manusia yang mengisinya. Harus terus ditingkatkan, sehingga nanti akan ada peningkatan. Tentunya dibarengi juga kebutuhan dasar, yakni gaji yang memadai dan tunjangan kesehatan. Paling tidak untuk reporter pemula, 3 sampai 4 juta rupiah per bulan. Standar itu harus terpenuhi. Kalau tidak terpenuhi, bisa-bisa wartawan juga cari iklan.* 

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2014)