Jumat, 21 Februari 2014

Perang opini, Fakta dan Dampaknya

Meski kita hidup tidak di zaman kemerdekaan dahulu kala, namun ketahuilah, di luar sana sedang berkecamuk perang amat dahsyat. Itulah PERANG OPINI.

Opini adalah pendapat, pikiran, atau pendirian (KBBI). Sedang fakta adalah kenyataan, benar-benar ada, terjadi, dan dapat dibuktikan kebenarannya. Perang opini adalah perang pemikiran.

Apa fakta adanya perang opini? Mari kita simak beberapa fenomena berikut ini:
1. Kasus penyerbuan tentara AS ke Irak
2. Kasus penyerbuan tentara Jepang ke Pearl Habour AS
3. Di Indonesia, kasus deradikalisasi. Islam radikal disebut berbahaya.
4. Beberapa aliran/pemahaman sesat di Indonesia tetap bisa hidup dan berkembang.

Pertanyaannya, mengapa media massa memiliki peran besar terhadap perang opini? Padahal wartawan tidak boleh berbohong, bahkan beropini sekalipun. Jika wartawan berbohong, atau beropini, ia terancam menerima sanksi berupa:
- dipecat dari pekerjaannya,
- dimeja hijaukan, dipenjara, dikenakan denda
- tak dipercaya lagi oleh publik

Namun, media massa bisa menjadi alat propaganda dan konspirasi. Mengapa? Sebab, media pasti berpihak. Media bukanlah 'kekuatan liar' dengan segudang idealisme. Media massa tetap sarat dengan kepentingan dan keberpihakan.

Karena pemihakan itulah maka media:
- memberitakan sebagian dan menutup-nutupi sebagian yang lain
- melebih-lebihkan sebagian dan mengurangi sebagian yang lain
- memilih narasumber yang mendukung opini yang dibangun media tersebut.
- memojokkan narasumber yang tak mendukung opini yang dibangun media tersebut

---> Semua itu menimbulkan perang opini. Bahkan, lebih dahsyat lagi, perang pemikiran.

Dr Joseph Goebbels, juru propaganda Nazi dan Hitler, berkata, "Jika kita mengulang-ulang kebohongan sesering mungkin, dan dengan keteguhan, rakyat (pasti) akan mempercayai kebohongan itu sebagai kebenaran.''

Survei The Media Center, BBC, dan Reuters pada Mei 2006 di sepuluh negara, termasuk Indonesia: media lebih dipercaya daripada pemerintah.

Dengan demikian, jurnalistik menjadi alat amat potensial untuk membangun budaya masyarakat, bahkan membangun peradaban.
---> Media seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membangun peradaban Islam.

Jurnalistik bisa dipakai untuk mencapai tujuan duniawi, bisa juga sebagai alat untuk berdakwah. Jurnalistik seharusnya hanya diposisikan sebagai alat/sarana/media untuk menegakkan kalimat Allah, menyeru kepada yang makruf, dan mencegah hal-hal yang mungkar.

Sayangnya media Islam kini kalah kuat dibanding media sekuler.Mari simak data Reuter berikut ini
* Sekitar awal tahun 2000-an mereka telah memiliki lebih dari 1.100 wartawan, fotografer, dan juru kamera yang tersebar di 79 negara.
* Informasi yang mereka buat tersebar di 145.000 terminal dan teleprinter yang langsung dihubungkan dengan klien di seluruh dunia.
* Layanan diberikan dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Arab, Jepang, Denmark, Norwegia, Belanda Swedia, Portugis, dan Italia.
* Lebih dari lima juta kata yang berhubungan dengan teks berita diproses setiap hari melalui komputer pengatur pesan di kantor editorial London. Padahal, Reuter  masih punya kantor pusat lain di Hongkong dan New York yang juga bekerja 24 jam sehari.

Perang opini tanpa disadari telah berkecamuk di luar sana. Masuk ke kamar-kamar tidur kita, mencekoki anak-anak kita. Perang opini berakibat bergesernya budaya. Bahkan informasi kini sudah bersifat transnasional. Tak sekadar itu, perang opini berakibat berubahnya peradaban masyarakat. Pertanyaannya, di manakah kita ketika perang itu berkecamuk?


(Materi kuliah Jurnalistik dan Dakwah)