Jumat, 10 Agustus 2012

Jangan Abaikan Rakyat Miskin!

"Sesungguhnya engkau ini lemah (wahai Abu Dzar), sementara jabatan adalah amanah. Di hari kiamat ia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya,” (Riwayat Muslim).


Mari kita bayangkan nasib Markiah, perempuan asal Sukabumi, Jawa Barat, yang mencoba mengadu nasib di pinggiran kota Jakarta. Wanita muda berusia 30 tahun ini tidak punya rumah, tidak pula punya pekerjaan tetap, dan harus menghidupi dua anaknya yang masih balita.

Mari bayangkan kemiskinan Markiah. Kemiskinan yang kemudian membuat ia menyerah dengan hidup. Pertengahan bulan Sya'ban, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia ajak kedua anaknya yang masih lugu untuk melompat dari sebuah jembatan ketika matahari belum lagi muncul. Nyawanya tak tertolong lagi, juga nyawa seorang anaknya yang baru berusia 3 tahun.

Di manakah kita saat Markiah dan kedua anaknya merintih kelaparan? Di manakah kita ketika Markiah bingung memikirkan hutang yang kian menumpuk? Di manakah para pemimpin yang kerap menjanjikan harapan ketika Markiah frustasi karena tak kunjung punya pekerjaan?

Keputusan yang diambil Markiah memang salah. Tapi, haruskah kesalahan tersebut hanya ditujukan kepada dirinya seorang? Tidak! Kemiskinan Markiah tentu bukan semata karena kesalahan dirinya. Di negeri ini, hampir 30 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan sebagaimana Markiah. Jumlah ini hampir tiga kali lipat jumlah penduduk DKI Jakarta.

Mereka miskin bukan karena mereka malas. Markiah, contohnya, rela meninggalkan kampungnya demi mencari peruntungan di kota. Sebab, di kampung, mereka tak punya harapan untuk memperbaiki hidup. Mereka lupa, di kota pun harapan itu juga tidak ada.

Mereka miskin karena mereka tidak diberi kesempatan untuk bekerja dan memperoleh upah secara layak. Mereka miskin karena tak punya modal untuk berusaha dan tak diberi akses untuk meperoleh pinjaman modal. Andai berhari-hari mereka banting tulang, dari malam hingga malam berikutnya, tetap saja mereka miskin. Mereka telah dimiskinkan oleh keadaan.

Para pembuat kebijakan patut merasa malu atas kondisi ini, terlebih para pembuat kebijakan yang saat ini bergelimang harta. Jelas mereka punya andil atas kematian Markiah dan anaknya, juga terhadap berjuta masyarakat miskin di negeri ini yang mungkin suatu saat kelak mayatnya sudah terapung di pinggir sungai. Apa yang akan mereka katakan ketika kelak di akhirat Allah SWT meminta pertanggungjawaban atas apa yang mereka pimpin?

Dengan cara memilih pemimpin seperti sekarang ini, rasanya sulit kita berharap memperoleh pemimpin sebagaimana Umar bin Khaththab yang rela memanggul sendiri sekarung gandung ke rumah satu keluarga miskin di malam buta. Rasanya sulit kita mendapatkan pemimpin sebagaimana Umar bin Abdul Aziz yang lebih banyak menangis ketimbang tertawa.

Mari kita memohon kepada Allah SWT semoga negeri ini segera diberi pemimpin yang lebih takut kepada Allah SWT ketimbang yang lain.

Wallahu a’lam.


(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat