Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tidak memilih jalan mendaki dan sukar (Al-Balad [90]: 10-11).
Berabad-abad silam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) pernah berkata, "Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak memakan secara langsung akan terkena debunya." (Riwayat Nasa'i).
Meski Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini tergolong lemah, namun rasa-rasanya apa yang diungkap Rasulullah SAW tersebut sudah terasa sekarang ini. Betapa tidak, saat ini kita sulit sekali menghindar dari praktik riba.
Bayangkan, sebagian besar usaha pasti terkait pinjaman, dan kebayakan pinjaman pasti terkait bunga, sedang semua bunga pasti adalah riba.
Sekalipun kita bukan pengusaha, tak menjamin kita bebas dari riba. Gaji yang kita terima tiap bulan, misalnya, besar kemungkinan berasal dari bunga bank. Kalaupun bukan berasal dari bunga bank (seperti deposito), ia mungkin berasal dari bisnis yang menggunakan bank ribawi. Ujung-ujungnya, ya, riba juga.
Bahkan ada yang berpendapat lebih ekstrim lagi. Semua transaksi yang menggunakan uang kertas –yang secara fisik tak memiliki harga sama sekali--mereka golongkan sebagai praktik riba. Kalau memang benar demikian, rasanya sangat sedikit orang yang betul-betul terbebas dari riba.
Godaan agar kita mau melibatkan diri pada praktik ribawi begitu dahsyat. Bunga yang menggiurkan, risiko yang seolah-olah tidak ada, pelayanan yang baik, fasilitas yang sangat memudahkan, membuat sebagian Muslim di negeri ini, tanpa pikir panjang, lagsung menceburkan diri dalam kubangan ribawi.
Namun, sebagian lagi masih berusaha sekuat tenaga, memutar otak, memikirkan bagaimana caranya melepaskan diri dari riba. Sebagian dari mereka gagal, lalu frustasi, dan mulai mencari-cari pembenaran soal riba. Mereka berkata, ”bukankah Rasulullah sudah memberikan sinyalemen ini sejak berabad-abad yang lampau dan takdir ini tak mungkin kita tolak?”
Perlahan-lahan mereka tak lagi melawan arus, malah terbawa arus. Lama kelamaan mereka tersesat di belantara ribawi. Akhirnya, mereka sulit diselamatkan lagi.
Sementara sebagian yang lain tetap berusaha menjauhi riba. Mereka gigih berjuang. Ada yang berhasil, ada juga yang kesuksesannya ditangguhkan oleh Allah Ta’ala. Namun mereka tetap bersabar.
Ada yang memulainya dari bawah, merangkak perlahan dengan modal pas-pasan. Ada pula yang memulainya ketika berada di tengah jalan, hijrah dari bisnis ribawi ke Islami.
Jalan yang mereka pilih memang tak mudah, karena harga surga itu memang tak murah. Mereka memilih jalan mendaki di dalam belantara ribawi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskannya dalam al-Qur`an surat al-Balad [90] ayat 10 dan 11.
Mereka mungkin tak 100 persen terbebas dari ribawi. Namun, mudah-mudahan kegigihan mereka dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai pahala. Dan, Allah Ta’ala mengampuni kekurangan mereka.
Hikmah Kisah Nabi Nuh
Menjalankan perintah Allah Ta’ala kerap terasa berat bagi mereka yang tak yakin. Sebaliknya, menurutkan hawa nafsu kerap terasa ringan karena penuh dengan godaan.
Namun, semua perintah Allah Ta’ala, betapa pun beratnya, pasti berujung pada keselamatan. Sebaliknya, muara dari semua larangan Allah Ta’ala, sekalipun terlihat menyenangkan hati, pastilah berujung kesesatan dan kesengsaraan.
Kisah Nabi Nuh Alaihissalam agaknya menjadi pelajaran berharga buat kita. Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk membuat kapal karena banjir besar akan melanda negeri mereka. Perintah itu dijalankan oleh Nabi Nuh meski berat dan dicemooh oleh kaumnya, bahkan oleh anak dan isterinya sendiri.
Ketika banjir itu betul-betul datang, Nabi Nuh selamat, sementara orang-orang yang ingkar mati tenggelam diterjang air bah. Begitulah kesudahan orang-orang yang ingkar.
Kini, kian banyak orang-orang yang ingkar sebagaimana kaum Nabi Nuh. Bukankah Allah Ta’ala secara nyata telah melarang riba? Mengapa kian banyak manusia yang membenamkan dirinya dalam lumpur ribawi?
Itulah tanda manusia sudah ingkar. Akibatnya, banjir bah itu datang dan mulai menelan korban. Amerika Serikat, raksasa ekonomi dunia, tumbang akibat bergelimang riba. Banjir bah itu kini bergulir ke Eropa.
Kita berharap banjir tak melanda Indonesia. Kita berharap dunia akan pulih dari krisis ekonomi dengan menjalankan perintah Sang Khalik. Caranya, ayo kita ikuti jejak ”para pendaki” di belantara ribawi!
Dipublikasikan di Edisi Khusus Hidayatullah 2011
Berabad-abad silam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) pernah berkata, "Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak memakan secara langsung akan terkena debunya." (Riwayat Nasa'i).
Meski Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini tergolong lemah, namun rasa-rasanya apa yang diungkap Rasulullah SAW tersebut sudah terasa sekarang ini. Betapa tidak, saat ini kita sulit sekali menghindar dari praktik riba.
Bayangkan, sebagian besar usaha pasti terkait pinjaman, dan kebayakan pinjaman pasti terkait bunga, sedang semua bunga pasti adalah riba.
Sekalipun kita bukan pengusaha, tak menjamin kita bebas dari riba. Gaji yang kita terima tiap bulan, misalnya, besar kemungkinan berasal dari bunga bank. Kalaupun bukan berasal dari bunga bank (seperti deposito), ia mungkin berasal dari bisnis yang menggunakan bank ribawi. Ujung-ujungnya, ya, riba juga.
Bahkan ada yang berpendapat lebih ekstrim lagi. Semua transaksi yang menggunakan uang kertas –yang secara fisik tak memiliki harga sama sekali--mereka golongkan sebagai praktik riba. Kalau memang benar demikian, rasanya sangat sedikit orang yang betul-betul terbebas dari riba.
Godaan agar kita mau melibatkan diri pada praktik ribawi begitu dahsyat. Bunga yang menggiurkan, risiko yang seolah-olah tidak ada, pelayanan yang baik, fasilitas yang sangat memudahkan, membuat sebagian Muslim di negeri ini, tanpa pikir panjang, lagsung menceburkan diri dalam kubangan ribawi.
Namun, sebagian lagi masih berusaha sekuat tenaga, memutar otak, memikirkan bagaimana caranya melepaskan diri dari riba. Sebagian dari mereka gagal, lalu frustasi, dan mulai mencari-cari pembenaran soal riba. Mereka berkata, ”bukankah Rasulullah sudah memberikan sinyalemen ini sejak berabad-abad yang lampau dan takdir ini tak mungkin kita tolak?”
Perlahan-lahan mereka tak lagi melawan arus, malah terbawa arus. Lama kelamaan mereka tersesat di belantara ribawi. Akhirnya, mereka sulit diselamatkan lagi.
Sementara sebagian yang lain tetap berusaha menjauhi riba. Mereka gigih berjuang. Ada yang berhasil, ada juga yang kesuksesannya ditangguhkan oleh Allah Ta’ala. Namun mereka tetap bersabar.
Ada yang memulainya dari bawah, merangkak perlahan dengan modal pas-pasan. Ada pula yang memulainya ketika berada di tengah jalan, hijrah dari bisnis ribawi ke Islami.
Jalan yang mereka pilih memang tak mudah, karena harga surga itu memang tak murah. Mereka memilih jalan mendaki di dalam belantara ribawi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskannya dalam al-Qur`an surat al-Balad [90] ayat 10 dan 11.
Mereka mungkin tak 100 persen terbebas dari ribawi. Namun, mudah-mudahan kegigihan mereka dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai pahala. Dan, Allah Ta’ala mengampuni kekurangan mereka.
Hikmah Kisah Nabi Nuh
Menjalankan perintah Allah Ta’ala kerap terasa berat bagi mereka yang tak yakin. Sebaliknya, menurutkan hawa nafsu kerap terasa ringan karena penuh dengan godaan.
Namun, semua perintah Allah Ta’ala, betapa pun beratnya, pasti berujung pada keselamatan. Sebaliknya, muara dari semua larangan Allah Ta’ala, sekalipun terlihat menyenangkan hati, pastilah berujung kesesatan dan kesengsaraan.
Kisah Nabi Nuh Alaihissalam agaknya menjadi pelajaran berharga buat kita. Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk membuat kapal karena banjir besar akan melanda negeri mereka. Perintah itu dijalankan oleh Nabi Nuh meski berat dan dicemooh oleh kaumnya, bahkan oleh anak dan isterinya sendiri.
Ketika banjir itu betul-betul datang, Nabi Nuh selamat, sementara orang-orang yang ingkar mati tenggelam diterjang air bah. Begitulah kesudahan orang-orang yang ingkar.
Kini, kian banyak orang-orang yang ingkar sebagaimana kaum Nabi Nuh. Bukankah Allah Ta’ala secara nyata telah melarang riba? Mengapa kian banyak manusia yang membenamkan dirinya dalam lumpur ribawi?
Itulah tanda manusia sudah ingkar. Akibatnya, banjir bah itu datang dan mulai menelan korban. Amerika Serikat, raksasa ekonomi dunia, tumbang akibat bergelimang riba. Banjir bah itu kini bergulir ke Eropa.
Kita berharap banjir tak melanda Indonesia. Kita berharap dunia akan pulih dari krisis ekonomi dengan menjalankan perintah Sang Khalik. Caranya, ayo kita ikuti jejak ”para pendaki” di belantara ribawi!
Dipublikasikan di Edisi Khusus Hidayatullah 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat