Sabtu, 15 Januari 2022

KH Cholis Nafis,
Strategi Dakwah di Media Sosial

Wajahnya kerap tampil di layar televisi. Selain menyampaikan ceramah agama, ia juga sering menjadi narasumber untuk meng-counter isu-isu yang meresahkan umat.

Saat wawancara di kediaman KH Cholil Nafis (tengah)

Kiai berdarah Madura ini juga akrab dengan media sosial (medsos). Cuitannya acapkali menjadi sumber berita yang ditunggu-tunggu para jurnalis. Itulah KH. Muhammad Cholis Nafis, Lc, S.Ag, MA, Ph.D.

Misalnya ketika ramai pernyataan Menteri Agama yang mengklaim Kementerian Agama sebagai hadiah dari negara untuk Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Cholil –panggilan akrabnya-- menanggapi dalam akun Twitternya pada 24 Oktober 2021. Begini isinya: 

Meskipun NU banyak bersentuhan dg urusan Kementerian Agama tapi tak berarti harus dikuasai oleh NU. NU itu jam’iyah sedari dulu utk semua golongan. Jika masing2 golongan mengkapling kementerian dan lembaga negara maka semangat NKRI dan kebhinekaan akan sirna. Ojok ngasorake. 

Cuitan Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini kemudian viral di media massa. “Saya takut salah kutip kalau bicara ke orang. Jadi setiap pernyataan saya taruh di twitter saja. Silakan diambil dengan perspektif apapun,” ujar Kiai Cholil yang mempunyai 56.100 followers (pengikut) di twitter.

Selain itu, katanya, dengan menulis komentar di medsos, maka ada manuskrip yang jelas dari setiap sikapnya. “Meski kadang wartawan berlebihan menempatkan pernyataan saya. Saya hanya mengklarifikasi, tapi ditulis wartawan saya menegur,” ujarnya, menyinggung cuitannya saat membantah pernyataan seorang jenderal bahwa semua agama benar.

Oleh karena itu, ia mengaku lebih hati-hati dalam membuat pernyataan di medsos. Katanya, jangan sampai postingannya malah membuat gaduh. “Yang juga saya jaga adalah postingan atau pernyataan yang saya buat tidak menyelisihi sikap MUI.”

Kiai Cholil mengaku pernah ditegur oleh unsur pimpinan MUI terkait postingannya yang membolehkan merapatkan shaf (barisan) shalat ketika pandemi melandai. Ia dianggap mendahului wewenang Komisi Fatwa.


“Saya jelaskan, postingan itu saya buat berdasarkan fatwa yang sudah dikeluarkan MUI bahwa daerah yang masuk zona hijau dipersilakan untuk merapatkan shaf,” jelas ulama yang rajin membaca hasil-hasil keputusan MUI sebelum membuat cuitan.

Menurutnya, seorang juru dakwah masa kini harus menguasai medsos. Medsos harus menjadi wasilah dakwah. Itulah sebabnya, salah satu program dalam standarisasi da’i MUI adalah menguasai dakwah melalui medsos.

“Kalau da’i generasi milenial, tanpa kita ajari, sudah jalan sendiri. Yang susah ini da’i generasikolonial,” ulasnya sambil tersenyum.

Banyak suka duka yang dialami semenjak kritis di medsos. Dari mulai teguran sampai ancaman. Namun, Kiai Cholil menanggapi biasa. “Tidak juga saya merasa ini sebagai intimidasi, jadi santai saja.”

Lantas, seperti apakah pandangannya tentang fenomena dakwah melalui medsos? Dan bagaimanakah pengalamannya dalam menyelesaikan problematika dakwah di tengah umat?

Awal bulan November lalu, pria kelahiran 1 Juni 1975 ini berkisah kepada wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Mahladi Murni, Azim Arrasyid, dan fotografer, Ismatullah, di dua tempat berbeda: Kantor MUI dan Pondok Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok (Jabar).

Berikut ini petikannya.*

Sejak kapan Anda mulai memanfaatkan media sosial (medsos) untuk dakwah?

Dakwah bil-medos sebenarnya sudah cukup lama. Di Facebook sejak tahun 2011, di Twitter sejak tahun 2016, sementara di Instagram dari tahun 2018. Awalnya hanya untuk menampilkan eksistensi, quote (kutipan) intelektual, dan branding. Namun, setelah menjadi pimpinan MUI, harus lebih hati-hati.

Mengapa jadi harus lebih hati-hati?

Pasalnya, setiap kali saya menulis di medsos, selalu disandingkan sebagai Ketua MUI. Banyak juga media yang ingin mengutip. Makanya, saya selalu mengusahakan postingan di Twitter searah dengan ritme MUI, artinya sejalan dengan hasil keputusan MUI dan kecenderungan arah pembicaraan di grup pimpinan MUI.

Jika belum ada pembahasan di MUI, apakah berarti Anda tidak akan membahasnya di medsos?

Iya, misalnya soal bitcoin. Saya tidak bisa langsung merespons karena MUI belum mengeluarkan fatwa. Meskipun secara pribadi bisa saja saya berpendapat, karena doktor saya di bidang itu. Tapi tidak saya lakukan, karena khawatir mengganggu teman-teman yang sedang membahas hal tersebut. Khawatir juga keputusan saya tidak sama dengan keputusan MUI.
Saya ini adalah orang MUI. Makanya, saya mengupayakan pernyataan saya tidak bikin gaduh dan tidak bikin umat bingung. Apa yang saya sampaikan memang layak dikutip dan aman.

Kapan biasanya Anda menyengaja posting di medsos?

Alhamdulillah, biasanya setelah shalat Shubuh, saya lanjutkan mengaji al-Qur’an 50 ayat.  Meski begitu, saya tidak pernah mengkritisi yang sifatnya pribadi atau nama institusi. Saya tetap fokus menyumbangkan pendapat pada pokok masalah.


Apa Contohnya?

Contohnya ketika saya menyampaikan bahwa Kementerian Agama itu untuk semua warga negara, bukan hadiah negara untuk NU saja. Saya tidak menyinggung soal menterinya siapa. Yang pasti pernyataan itu bertentangan dengan pemikiran founding fathers (bapak-bapak pendiri) negeri ini. Sudahlah statementnya nggak benar, klarifikasinya  lebih nggak benar lagi. Andaikan perkataan itu benar, itu tidak baik. Orang menjadi tidak nyaman mendengarnya.

Apakah ada yang menyatakan ketidaksenangan terhadap sikap kritis Anda?

Banyak. Bahkan ada yang bilang, “Ya sudah, nggak dibantu pondoknya Kiai Cholil.” Ada lagi yang mengancam, “Awas lho Kiai Cholil, sampeyan masih muda nanti habis dengan pondokpondoknya sekaligus.”

Lewat apa mereka menyampaikan nada ancaman itu?

Ada yang lewat pesan singkat Whatsapp, ada juga yang langsung. Orangnya bilang ke saya, “Saya sebenarnya ingin bantu pondok Kiai, tapi ada yang larang-larang saya untuk bantu.”

Tapi saya menganggap semua itu bukan intimidasi. Hanya sekadar mengingatkan agar saya tidak kebablasan dan pembelajaran.

Apa yang mendorong Anda tetap berani kritis di tengah ancaman tersebut?

Pertama, saya berkeyakinan bahwa Allah Mahatahu. Semua. Sambil menunggu waktu syuruq, biasanya saya membuka medsos untuk merespons beberapa hal.  Suasana pagi masih segar, merespons masih lebih aman.

Pernyataan Anda di medsos seringkali dinilai cukup kritis …

Memang saya niat untuk menyampaikan kepada publik. 

Tentu itu pendapat pribadi, meski akhirnya media mengutip pernyataan saya sebagai Ketua MUI. Itu hak media, sebab kehidupan kita tidak bisa dilepaskan dari latar belakang organisasi. 

Dulu, MUI identik dengan Komisi Fatwa. Kiprah Komisi Dakwah dirasa kurang bergema. Menurut Anda?

Alhamdulillah, sejak akhir tahun 2014, saya pegang Komisi Dakwah. Peran dakwah MUI mulai ke tengah. Dahulu Komisi Fatwa mengeluarkan fatwa sudah selesai begitu saja. Padahal, bagaimana mendakwahkan fatwa itu perlu upaya lebih lanjut. 

Ketika ada fatwa halal haram, maka Komisi Dakwah menilai untuk menuju halal haram perlu adaptasi, dan itu perlunya peran dakwah.

Beberapa tahun kami mengondisikan pengisi dakwah di televisi. Meski tidak ada aturan tertulis, setidaknya menjadi imbauan kepada televisi agar da’i yang mengisi dapat standar dari MUI. Begitu juga ketika ada masalah-masalah dakwah di televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan berkonsultasi ke Komisi Dakwah MUI.

Apa saran Anda agar umat dapat bijak dalam memilah konten dakwah di medsos?

Pertama, pastikan diri dan keluarga kita belajar kepada siapa. Pastikan kalau guru itu da­­­pat dipercaya. Jelas ilmu dan kre­­dibilitasnya di masyarakat, karena orang berilmu pasti kredibilitasnya baik.

Kedua, penting untuk mengetahui mata rantai keilmuannya. Sebab, sanad dalam mempelajari ilmu al-Qur’an itu dari Nabi Muhammad terus kepada Sahabat, Tabi’in, dan terus ke bawah. Kalau ada yang mengatakan belajar langsung kepada Rasulullah, jelas itu tidak melakukan mata rantai keilmuan.

Ketiga, materi yang diajarkan tentu saja harus benar. Tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Berfoto bersama usai wawancara di pondok milik KH Cholil Nafis di Depok.


Anda pernah mengatakan bahwa saat ini Anda sudah mulai bertransisi dari kiai ceret menjadi kiai sumur. Apa maksudnya?

Ceret itu fungsinya menuangkan air dan bisa dibawa ke mana-mana. Nah, selagi muda, kita ke mana-mana untuk menuangkan ilmu ke masyarakat. 

Kalau sumur, jika ada yang memerlukan air harus datang langsung menimba airnya. Jadi, ketika sudah masuk usia tua, maka orang yang mau cari ilmulah yang datang.

Itu yang dikatakan Imam Malik, “Ilmu itu didatangi, bukan ilmu yang datang.”

Bagaimana tips Anda mengelola pesantren?

Saya membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), mulai dari sistem keuangan, sekolah, pesantren, dan lain-lain. 

Soal keuangan, saya pisahkan antara keuangan pesantren, sekolah, bisnis pesantren, dan lainnya. Soal teknis keuangan, kami bekerjasama dengan Ikatan Akuntansi Indonesia. 

Ada akuntan yang memonitor keuangan. Saya pun tak bisa sembarangan mengambil uang. Di samping itu, saya tidak mau makan dari apa yang bukan punya saya.

Anda berlatar belakang pendidikan pesantren salafiyah, namun sepertinya pesantren yang Anda kelola berbeda. Mengapa bisa seperti itu?

Memang saya mau bedakan. Termasuk hubungan dengan para santri. Saya olahraga 
bareng dengan santri. Kalau mau badminton, suka saling smash

Lagi main bola, ya gaprakgaprakan. Saya anggap santri adalah teman. Kalau selesai 
shalat, biasanya santri akan langsung menghampiri saya untuk ngobrol atau diskusi.
  
Apakah ini upaya reformasi sistem pendidikan?

Kita memaklumi bahwa menangani anak-anak itu, terutama di perkotaan, berbeda dengan di pedesaan. Anak-anak tidak bisa dijauhi, harus didekati. 

Kami menggunakan konsep pendidikan integrative system. Jadi, sekolahnya SMP, tapi ada materi pesantren, baca kitab, zikir, dan kajian al-Qur’an.

Lulus dari pesantren dulu, kemudian Anda memilih masuk LIPIA. Apa pertimbangannya?

Sederhana saja, karena saya tidak bisa bayar kuliah sendiri. Jadi, carinya yang gratis.

Pertama ke Jakarta tahun 1992, bekal saya hanya Rp 86.000. Itu pun dari sisa dagang  aju. 

Di LIPIA malah saya dapat uang saku 100 riyal satu bulan (kurs saat ini sekitar Rp 375 ribu). 

Sambil kuliah saya mengajar di pesantren di daerah Cawang.

Apa yang paling berkesan saat kuliah di LIPIA?

Pastinya bisa tetap lulus kuliah sampai tingkat Syariah. Padahal saat bersamaan juga saya aktif di PMII. Senior yang lain di PMII banyak yang tidak lulus, seperti Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Baso.

Anda dikenal dekat dengan para da’i dari beragam kalangan. Bagaimana tipsnya?

Saya hanya ingin bersahabat dengan siapa pun. Ukhuwah yang saya pelajari dalam tradisi NU ada ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan warga negara), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

Dari situ saya terdorong untuk bersahabat dengan siapa pun, berkomunikasi sebaik mungkin meskipun tidak semua orang akan sayang dan setuju dengan kita.

Siapa yang paling banyak memberikan motivasi dalam kehidupan Anda?

Ibu. Beliau banyak memberikan dorongan dan motivasi kepada saya. Sebagai bentuk penghormatan itu, saya menamakan masjid di pesantren dengan nama Masjid an-Nafisah.

Motivasi apa yang paling berkesan disampaikan ibu?

Jangan takut jika diyakini itu benar, meskipun ada malaikat berjubah turun dari langit. Jangan mudah ikut campur urusan orang lain, jika tak ada keperluannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat