Senin, 25 Juli 2016

Jejak Muslim di Raja Ampat

Menyebut Papua, yang terbayang bukan wilayah dengan para wanita yang mengenakan hijab, atau kaum pria yang berkopiah. Menyebut Papua, yang terbayang adalah penduduk dengan kulit hitam dan rambut keriting.

Tapi benarkah kaum Muslim tak menggeliat di wilayah paling timur Indonesia ini? Benarkah Papua identik dengan kaum Kristen, terutama Protestan?

Akhir Mei lalu, wartawan Suara Hidayatullah, Mahladi, berkesempatan memotret kehidupan kaum Muslim di Raja Ampat, salah satu kabupaten di Papua Barat, atas undang Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) dan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN).

Mengapa Raja Ampat? Sebab, kabupaten ini dihuni hanya oleh 35 persen Muslim. Selebihnya, 62 persen Kristen Protestan, dan sisanya penganut agama lain.

Namun, bupati di kabupaten ini seorang Muslim. Raja Ampat menjadi kabupaten/kota kedua di Papua Barat yang dipimpin seorang Muslim. Kabupaten pertama adalah Fakfak.

Selain itu, sejarah masuknya Islam ke tanah Papua tak bisa dilepas dari kabupaten yang terletak di bagian kepala burung ini. Bahkan, jejak Muslim di Raja Ampat telah ada sejak pertengahan abad 15 silam.

Inilah jejak kaum Muslim di Raja Ampat. Inilah potret Muslim di pulau Papua. ***

o0o

Gema Itu Terdengar, 
Tapi Belum Membahana


Gambar Buya Hamka tertempel di dinding papan sebuah sekolah dasar di Dusun Warengkris, Distrik (Kecamatan) Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Gambar tersebut tanpa bingkai. Hanya kertas tebal berukuran A4, atau 21 x 30 cm.

Bukan hanya gambar Buya Hamka yang tertempel di dinding sekolah itu. Juga ada gambar sejumlah pahlawan nasional lain seperti Donald Isaac Panjaitan, Wage Rudolf Supratman, dan Sisingamangaraja. Semua tanpa bingkai. Hanya tertempel begitu saja di dinding tersebut.

Sebanyak 22 bocah belajar di sekolah itu. Semangat juang para pahlawan yang tertempel di sana rupanya ingin diwariskan kepada mereka. Bocah-bocah itu harus rela menuntut ilmu di sekolah yang sebetulnya kurang layak disebut tempat belajar.

Bayangkan, hanya ada tiga kelas di sekolah itu. Masing-masing kelas hanya berukuran 3 x 3 meter persegi.

Dindingnya terbuat dari papan yang disusun bertingkat. Pintunya juga. Tak ada daun jendela. Sedang lantainya terbuat dari semen kasar dan berdebu.

Masing-masing kelas hanya ada 4 meja dan 4 bangku agak panjang. Itupun sudah amat rapuh. Beberapa meja bahkan hanya disanggah oleh tiga tiang. Yang keempat patah.

Alat tulis masih menggunakan kapur, sedang media tulisnya berupa papan hitam yang tertempel di dinding depan dengan warna yang mulai memudar.

Deni, satu dari 22 bocah yang belajar di sekolah itu, mengaku baru beberapa bulan belajar di sana. Sebelumnya, selama lima tahun, ia belajar di sebuah gereja yang berdiri tak jauh dari sekolah itu. Padahal, Deni seorang Muslim. Begitu juga bocah-bocah lainnya.

Sebanarnya, Deni bukan tak punya pilihan tempat belajar. Sebab, kata Fadzlan Garamatan, ketua Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), lembaga Islam yang bergerak bidang sosial di Papua, di dekat gereja itu ada musholla. AFKN yang mendirikannya.

Namun, Fadzlan menduga, masyarakat di distrik tersebut tak terbiasa sekolah di musholla. Apalagi guru dari kalangan Muslim belum ada yang sanggup mengajar mereka. Maklum, sekolah itu amat terpencil. Ia berada di ujung sebuah pulau yang tak begitu luas. Rumah-rumah penduduk masih jarang. Satu-satunya jalan menuju sekolah itu buntu.

Bila musholla tak biasa dijadikan tempat belajar, lain halnya dengan gereja. Menurut Fadzlan, gereja bisa dengan mudah disulap menjadi sekolah. Apalagi di gereja tersebut ada guru yang siap mengajar anak-anak itu.

Orang tua Deni tak merasa khawatir menyekolahkan anaknya ke gereja. Yang khawatir justru Fadzlan. "Akidah anak-anak ini lama-lama bisa rusak," katanya. Karena itulah, beberapa bulan lalu, AFKN berupaya menghimpun dana untuk mendirikan sekolah amat sederhana di sana.

Setelah sekolah itu berdiri, Deni dan teman-temannya pindah belajar ke sana. Bahkan, beberapa anak non Muslim juga ikut pindah ke sekolah itu. Untunglah ada seorang guru yang rela mendedikasikan waktunya untuk mengajar anak-anak tersebut.

Sekitar 20 km dari Dusun Warengkris ---tempat sekolah itu berdiri--- ada sebuah masjid agak besar. Namanya Masjid Al-Ikhlas. Kapasitasnya sekitar 500 jamaah.

Menurut Hidayat, penjaga masjid, ketika ditemui akhir Mei lalu, di sana telah digelar shalat Jumat. Bahkan, selama Ramadhan, masjid tersebut selalu menggelar shalat taraweh.

Tapi sayang, cerita laki-laki paruh baya asal Sukabumi, Jawa Barat, yang telah empat tahun diberi amanah menjaga dan memakmurkan masjid tersebut, setiap datang waktu shalat fardhu, masjid tersebut sepi. Hanya beberapa orang saja yang ikut shalat berjamaah.

"Paling cuma dua atau tiga orang saja. Kalau magrib, sedikit lebih banyak," kata Hidayat dengan logat Sunda yang sudah mulai menghilang.

Di pusat kota Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat, juga ada masjid besar. Namanya, Masjid Agung Waisai. Masjid ini pernah dipakai sebagai tempat Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat propinsi Papua Barat pada 2014 silam. Kapasitasnya sekitar seribu jamaah

Namun, nasibnya tak terlalu jauh berbeda dengan Masjid Al-Ikhlas: sepi dari jamaah ketika waktu shalat fardhu tiba. Wajarlah bila Sekretaris Daerah Kabupaten Raja Ampat, Dr Yusuf Salim, berkata bahwa tugas para dai di Raja Ampat tidak ringan.

“Meskipun beberapa masjid besar telah berdiri di Raja Ampat, dan bupatinya seorang Muslim, bukan berarti tugas dakwah menjadi ringan di sini,” kata Yusuf di hadapan ibu-ibu majelis taklim yang berkumpul di Masjid Agung Waisai pada  Kamis (19/5) malam.

Yusuf menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di Raja Ampat. Misalnya, mengajak kaum Muslim agar gemar memakmurkan masjid, terutama saat shalat lima waktu telah tiba.

"Di masjid Agung ini saja, ketika datang waktunya shalat fardhu, masih sedikit sekali masyarakat yang mau shalat berjamaah ," tutur Yusuf lagi.

Padahal, Rasulullah SAW kerap mengingatkan umatnya bahwa hanya orang-orang munafik yang sanggup meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Dan, setiap langkah kaum Muslim menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, dosanya akan diampuni dan derajatnya akan dinaikkan.

Kabupaten Raja Ampat sebenarnya terdiri atas banyak pulau. Jumlahnya sekitar 1,8 ribuan, baik berpenghuni maupun tidak. Sedang luas keseluruhan mencapai 4,5 juta hektar.

Masyarakat Raja Ampat membagi wilayah mereka menjadi dua, yakni utara dan selatan. Di bagian utara, ada satu pulau besar bernama Waigeo. Di pulau inilah Waisai, ibu kota kabupaten, berada. Selain Waigeo, ada tiga pulau besar lainnya, yakni Batanta, Salawati, dan Misool. Pulau yang terakhir ini berada di wilayah selatan.

Kabupaten Raja Ampat memiliki 24 distrik (kecamatan). Setiap distrik memliki beberapa desa atau kampung.

Salah satu kampung yang menarik kita tengok adalah Saonek. Kampung ini terletak di distrik Waigeo Selatan. Letaknya hanya 45 menit perjalanan menggunakan perahu motor ke arah selatan Waisai.

Dari kejauhan, ketika perahu belum menyentuh pantai, Anda akan melihat puncak menara Masjid Hidayatullah, satu-satunya masjid yang ada di kampung ini.

Mesjid ini berkapasitas sekitar 200 orang,  berdiri di tengah-tengah kampung Saonek. "Masjid ini dibangun tahun 2011 oleh masyarakat atas bantuan pemerintah dan orang-orang luar Saonek,’’ jelas Husain Namratu, Kepala Dusun Saonek, saat berbincang-bincang di dekat Masjid Hidayatullah menjelang digelarnya shalat Jumat pada 20 Mei lalu.

Saat azan berkumandang dari pengeras suara masjid, shaf pertama belum terisi penuh. Hanya ada beberapa orang yang duduk saling berjauhan.

Saat khatib sudah naik mimbar, dua shaf baru terisi, namun tidak rapat. Beberapa orang malah duduk di shaf belakang.

Dan, saat saat shalat Jumat telah digelar, jumlah shaf yang terisi hanya tiga baris. Itu pun didominasi oleh anak-anak dan orang-orang tua. Ke mana perginya anak-anak muda? Entahlah!

Padahal, kata Husain, 80 persen penduduk Saonek ---dari total 140 kepala keluarga atau 548 jiwa--- beragama Islam. Dan, jumlah masjid di pulau itu hanya satu. Ya … masjid Hidayatullah itu tadi.

Husein juga menjelaskan bahwa Saonek dulunya dinobatkan sebagai ibukota Raja Ampat. Namun, setelah Raja Ampat menjadi Kabupaten sendiri pada 2003, terpisah dari Sorong, ibu kota kabupaten dipindah ke Waisai.

Penduduk asli Saonek, sejak turun temurun, telah beragama Islam. Kalau pun di sana ada pemeluk Kristen, kata Husain, kebanyakan mereka pendatang.

Kegiatan pengajian di dusun ini bukan tak ada. Saban sore, anak-anak belajar mengaji. Sebagian anak-anak sudah hafal surat-surat pendek al-Qur’an.  Namun, kata Husein lagi, orang dewasa tak banyak yang pandai mengaji. Husein menebak, paling hanya 12 persen saja yang bisa baca al-Qur’an.

Inilah jejak-jejak Islam yang kini bisa kita dapati di Kabupaten Raja Ampat. Ibarat gema, ia telah lama terdengar, namun belum membahana.  Jika gema itu dibiarkan pelan, lama-lama bisa padam, dan Islam akan kembali hening di tanah Nuuwar.  ***

o0o

Islam Pernah Hilang di Waigama 

Bila bicara Islam, jangan samakan Raja Ampat dengan wilayah lain di tanah Papua. "Mereka berbeda," jelas Ketua Departemen Dakwah dan Penyiaran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Shohibul Anwar, awal Juni lalu.

Perbedaan utama, kata Shohibul, "Islam telah lama masuk ke Raja Ampat, bahkan jauh sebelum agama-agama lain."

Sejarah memang mencatat, meski penduduk Raja Ampat didominasi oleh penganut Kristen Protestan, namun Islam-lah agama pertama yang dianut oleh penduduk kabupaten ini.

Bukti tersebut bisa dilihat dalam catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito yang menjelajah ke Raja Ampat tahun 1581 (The Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, the MacClur Gulf and Seram, JHF Sollewijn Gelpke, BKI Vol 150 No: 1 Leiden, 1994).

Dalam catatan tersebut diketahui bahwa Raja Waigeo ---Waigeo adalah salah satu dari empat pulau besar di Raja Ampat--- telah memeluk Islam. Lantas, dari mana Islam masuk ke Papua lewat pintu Raja Ampat ini?

Catatan tersebut juga menjelaskan bahwa Islam dibawa oleh masyarakat Kesultanan Bacan, salah satu dari empat kesultanan besar di Maluku, pada pertengahan abad ke 15. Sejarah pernah mencatat bahwa Maluku, ketika itu, memiliki empat kesultanan besar, yakni Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore.

Bukti lainnya bisa terlihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut. Gelar kaicil, misalnya, adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku.

Dalam catatan Museum Memorial Kesultanan Tidore, Sonyine Malige, disebutkan bahwa Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) pernah berkunjung ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool di Raja Ampat.

Di wilayah Misool, Ibnu Mansur, yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan, dengan gelar Komalo Gurabesi. Kaicil Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat.

Di Waigama, salah satu kampung di Pulau Misool, cerita Shohibul mengutip kisah para tetua di sana, Islam pernah dijalankan secara baik. Syariat dipatuhi, syiar Islam semarak. Para wanita telah terbiasa mengenakan dua sarung; pertama untuk menutup bagian kepala, dan kedua untuk menutupi bagian badan hingga kaki.

Di sana juga ada kerajaan Islam. Namanya, Kerajan Waigama. Raja terakhir di kerajaan ini bernama Samsuddin Tafalas. Ia memerintah sampai tahun 1954. Cucunya bernama Said Tafalas, yang kini memimpin pesantren Hidayatullah di Waigama.

Saat ini, Islam tak tampak lagi di Waigama. Tak tampak lagi masyarakat yang berbondong-bondong pergi ke masjid ketika waktu shalat fardhu tiba. Bahkan, ketika shalat subuh di masjid terbesar di kampung ini tahun lalu, Shohibul hanya mendapati seorang imam dan beberapa anak kecil sebagai makmum. Padahal, masjid di sana besar. Kapasitasnya bisa lebih dari 500 orang. Kubah masjid telah terlihat sebelum perahu menyentuh pelabuhan.

"Islam telah hilang di Waigama," kata Shohibul.

Mungkinkah Waigama menjadi potret Islam di Raja Ampat?  Shohibul menduga, keadaan kaum Muslim di daerah lain di Raja Ampat sama: kurang terbina dengan baik. Hal ini juga diakui oleh Rita Subagyo, Sekretaris Jenderal Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI) yang Mei lalu sempat berkunjung ke Raja Ampat,

“Memang benar bahwa masyarakat Raja Ampat sekarang ini baru menjadi Muslim, belum Mukmin,” katanya awal Juni lalu.

Beberapa Muslim di Raja Ampat sudah tak malu mengenakan atribut-atribut Islam seperti kopiah atau jilbab. Tapi, kata Rita, pemahaman mereka tentang itu belum sampai pada batas-batas yang disyariatkan.

Mereka juga tahu bahwa shalat itu wajib, tapi belum sampai pada kesadaran bahwa shalat berjamaah di masjid adalah penting dan utama bagi laki-laki.

“Apalagi bila diajak bicara soal arus liberalisasi dan sekulerisasi yang merusak kaum Muslim di Indonesia, mereka benar-benar belum berfikir sampai ke situ,” kata Rita.

Padahal, bahaya liberalisasi dan sekulerisasi mengancam mereka. Apalagi tayangan televisi sudah bisa dilihat dengan menggunakan parabola, internet juga sudah bisa diakses di beberapa pulau, dan pelancong bebas hilir mudik di kampung-kampung di Raja Ampat.

Shohibul membenarkan adanya bahaya arus liberalisasi dan sekulerisasi yang mengancam penduduk Raja Ampat, utamanya pemuda. Bahkan, Shohibul menduga arus inilah yang membuat Islam pernah hilang di Waigama.

“Keinginan anak-anak muda untuk merantau ke kota begitu besar,” kata Shohibul. Anak-anak muda itu melanjutkan sekolah atau bekerja di Sorong dan Monokwari. Sebagian merantau juga ke luar Papua seperti Makassar (Sulawesi Selatan). Di kota ini, mereka bukannya membaik, malah membawa pulang budaya bebas yang membahayakan.

Tak heran bila sekarang Waigama telah dilanda persoalan sosial. Mirisnya, yang menonjol adalah hamil di luar nikah. “Dalam setahun bisa ada 4 kasus hamil di luar nikah,” kata Shohibul. Padahal dulu, pergaulan antar muda-mudi sangat dijaga. Pacaran menjadi perbuatan amat

Bila merujuk data Biro Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat yang dikeluarkan tahun 2011, komposisi penduduk di kabupaten ini memang didominasi oleh usia muda.

Kelompok umur 0 hingga 4 tahun hanya 12,5 persen, sedangkan usia 75 tahun ke atas hanya 0,31 persen. Itu berarti, jumlah kelompok umur 4 hingga 75 tahun sebesar 87 persen. Adapun penduduk usia 15 hingga 55 tahun mencapai sekitar 70 persen.

Rita menambahkan bahwa anak-anak dan remaja Muslim Raja Ampat sebenarnya sudah pandai mengaji dan hafal surat-surat pendek al-Qur’an. Mereka tahu bunyi rukun iman dan rukun Islam. Itu berarti mereka belajar Islam. “Kita punya harapan besar kepada anak-anak ini,” kata Rita.

Namun, Shohibul mengingatkan, jika anak-anak tersebut tidak terus dibimbing dan diarahkan, mereka pun akan "tersesat" sebagaimana kebanyakan anak-anak muda. Bila mereka hendak meneruskan sekolah ke luar Raja Ampat, sebaiknya masukkan mereka ke pesantren atau sekolah-sekolah Islam.

Persoalan lain yang ikut mempengaruhi "hilangnya" Islam di Waigama ---juga Raja Ampat--- kata Shohibul, kondisi perekonomian masyarakat yang masih lemah.

Ini juga diakui oleh Ketua Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), Fadzlan Garamatan. Menurutnya, distrik-distrik di Raja Ampat yang dipisahkan oleh laut menyebabkan transportasi sulit. Akibatnya, barang kebutuhan pokok juga sulit didapat. Harga-harga barang tinggi, lapangan kerja terbatas, dan modal usaha tak ada.

Karena itu, kata Fadzlan, solusi untuk mengatasi semua ini adalah kerja yang terintegrasi. Para mubaligh jelas dibutuhkan oleh penduduk Raja Ampat. Mereka harus tinggal bersama masyarakat, bukan sekadar datang sewaktu-waktu saja.

Sarana pendidikan yang aman juga mereka perlukan. Setidaknya, kesadaran masyarakat agar tidak ceroboh memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan yang bisa merusak akidah perlu ditumbuhkan.

Namun, kata Fadzlan lagi, penduduk Raja Ampat juga perlu diberikan jalan keluar dari persoalan ekonomi yang menghimpit. Mereka perlu modal dan kecakapan untuk mengolah sumberdaya yang ada.

"Problematika ini menjadi tugas seluruh kaum Muslim untuk mengatasinya. Ayo kita kembalikan kejayaan Islam di Raja Ampat. Jangan biarkan Islam hanya seperti buih di atas ombak. Penganutnya banyak tapi sesungguhnya mereka jauh dari nilai-nilai Islam," kata Fadzlan. ***

o0o


Fadzlan Garamatan, ketua Al Fatih Kaaffah Nusantara
Dakwah di Raja Ampat 
Sebenarnya Lebih Mudah

Bagaimana pola dakwah yang efektif untuk masyarakat Raja Ampat?

Kita tahu bahwa Islam telah lama masuk ke Raja Ampat. Sejarah mencatat bahwa dulu Islam telah dibawa oleh masyarakat Ternate dan Tidore (Maluku).

Namun sekarang ini dakwah tidak berkembaang di Raja Ampat. Meskipun Raja Ampat telah menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Sorong, namun dakwah tetap tidak jalan.

Padahal, dibanding masyarakat Papua di wilayah pengunungan, masyarakat Raja Ampat lebih maju. Mereka lebih mudah menerima informasi. Sementara masyarakat Papua wilayah pegunungan, seolah-olah dibiarkan bodoh. Mereka telah dikorbankan oleh pemerintah.

Jadi, dakwah kepada masyarakat Raja Ampat sebenarnya lebih mudah. Sayangnya, sedikit sekali mubaligh yang mau membina saudaraa-saudara kita di sana.


Apa tantangan terberat bagi para dai di Raja Ampat?

Sebenarnya, di mana pun dakwah, selalu ada tantangan. Jangan beranggapan bahwa tantangan dakwah hanya ada di daerah-daaerah terpencil seperti Raja Ampat atau Papua.

Namun, fakta memang menyatakan, jumlah dai yang mau ditugaskan ke daerah-daerah terpencil sedikit sekali. Ini bukan hanya dialami oleh Raja Ampat dan Papua, tapi juga daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia.

Jadi, ini masalah nasional, bukan hanya Papua. Salah satu penyebabnya, keberpihakan pemerintah terhadap dakwah kurang. Apalagi bila pemerintah dikuasai oleh non-Muslim. Mereka tak akan peduli pada syiar Islam.

Untunglah saat ini telah ada beberapa lembaga Islam yang mau menerjunkan dainya ke Papua. Mereka berdakwah atas biaya sendiri, atau dibantu masyarakat, bukan pemerintah.

AFKN sendiri, misalnya, saat ini telah mengirimkan dai-dai terdidik ke Papua, khususnya Raja Ampat. Kebanyakan mereka berasal dari Papua itu sendiri. Mereka dididik di pesantren AFKN di Bekasi, Jawa Barat, sebelum diterjunkan kembali ke Papua.

Dai-dai tersebut harus menginap di sana, berbaur dengan masyarakat, dan memberikan solusi atas persoalan yang dialami masyarakat.

Pekerjaan seperti ini tentu saja tak mudah. Kami harus berusaha menyadarkan para orangtua agar mau mengikhlaskan anaknya dididik oleh kami supaya kelak menjadi dai yang taangguh. Ini pekerjaan sulit.

Jadi, apakah dakwah ini harus dimulai dari anak-aanak muda?

Ya, kami melakukan hal itu. Setiap tahun kami melatih anak-anak muda Papua. Kami ambil mereka dari pedalaman. Kami bina agamanya, kami asah keterampilannya, lalu kami kembalikan mereka ke Papua. Tahun ini saja kami meluluskan 100 santri.

Kami berharap mereka kelak akan melakukan perubahan. Merekalah yang paling tahu Papua. Merekalah yang bisa mengubah daerahnya sendiri.

Tapi harus kami akui, jumlah anak-anak muda yang mau kami bina masih sangat sedikit, masih jauh dari ideal. Kami punya keterbatasan dana, sebagaimana dialami juga oleh lembaga-lembaga dakwah lain yang berkiprah di Papua ini.

Tapi saya optimis, jika kita semua bersatu, persoalan dakwah di Raja Ampat, dan Papua umumnya, bisa kita atasi.***


(Ihwal, Suara Hidayatullah, Juli 2016)