Selasa, 22 November 2022

Pucat Pasi di Tobelo

Taufiqurrahman, nama dai muda itu. Ia asli Madura. Tahun 2011, ia mendapat tugas berdakwah dan merintis pendirian Pesantren Hidayatullah di Desa Togoliua, Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.

Masjid di Tobelo tempat anak-anak dan orang tua mengungsi saat meletus kerusuhan.

Sebelumnya Taufik --sapaan akrab dai muda tersebut-- belum kenal Tobelo. Ia tak tahu kalau di daerah tersebut pernah terjadi konflik berdarah antara pemeluk Islam dan non-Islam. Ia juga tak paham mengapa dai-dai Hidayatullah sebelumnya tak betah lama-lama bertugas di daerah itu. 

Hingga suatu hari, setelah tiga bulan bertugas di Tobelo, seseorang memperlihatkan kepadanya sebuah video tentang kerusuhan di Tobelo. Video tersebut berisi kisah pengepungan sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari Pesantren Hidayatullah yang ia rintis.

Taufik ingat, beberapa tahun sebelumnya, saat masih kuliah di Surabaya, Jawa Timur, ia pernah menonton video tersebut secara sembunyi-sembunyi. Ia menontonnya di rumah tentara. Adik tentara itu teman baik Taufik. 

Taufik juga ingat bahwa sampul video itu bertuliskan "Rahasia".  Di dalamnya ada kengerian luar biasa. Sebanyak 300 pengungsi, yang kebanyakan anak-anak dan orang tua, dihabisi oleh mereka yang tak punya hati nurani. 

Setengah tak percaya, Taufiq kembali bertanya kepada orang yang membawa video ini. Apakah benar kerusuhan yang digambarkan di video tersebut terjadi di tempat ia berdiri sekarang? Apakah benar masjid yang ada dalam video ini adalah masjid yang letaknya tak jauh dari Pesantren Hidayatullah?

Setelah orang yang membawa video tersebut mengangguk, wajah Taufiq langsung pucat pasi. Bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya lemas. "Ya Allah, ternyata saya ditugaskan di tempat yang dulu saya tak sanggup melihatnya. Ya Allah, saya ingin pulang!" ***

o0o

Belum lama ini, saya mengunjungi Taufiq di Tobelo. Wajahnya riang, selalu tersenyum. Pesantren yang dulu ia rintis kini telah berdiri di lahan seluas 4 hektar. Sebanyak 20 santri telah bermukim di sana. Selebihnya, 70 siswa dan siswi setingkat SMA, belajar di pesantren tersebut setiap hari.

Taufik telah melewati hari-hari sulitnya. Tak banyak anak-anak muda yang memilih hidup seperti dia. 

Hari itu, saya memilih menghabiskan malam bersama dia, ditemani jagung bakar, pisang goreng, dan kopi jahe, mendengarkan lika-liku kehidupannya, hingga bisa tersenyum seperti sekarang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat