Seringkali kita mendengar orang berkata, "Cita-cita saya sih tidak muluk-muluk. Asalkan saya bahagia, itu sudah cukup."
Seorang wanita di Sorong, Papua Barat sedang tersenyum bahagia. |
Lantas apa sih artinya bahagia? Apakah orang-orang yang tertawa bisa disimpulkan bahagia? Atau sebaliknya, orang-orang yang menagis tersedu-sedu sudah tentu sengsara? Apakah orang kaya sudah pasti bahagia? Atau, orang yang punya kedudukan sudah tentu bahagia? Lalu apa sebenarnya kebahagiaan itu?
Mari kita merenungkan "doa sapujagat" yang terdapat dalam al-Qur''an surat al-Baqarah [2] ayat 201. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah, waqina adzabannar.. Artinya, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka."
Doa ini, menurut Anas Ra, salah seorang sahabat Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, paling banyak dibaca oleh Rasulullah SAW. Karena itu, sudah pasti faedahnya sangat besar.
Kebaikan di dunia sudah pasti menghasilkan kebahagiaan di dunia. Demikian pula kebaikan di akhirat sudah pasti berbuah kebahagiaan di akhirat pula. Karena itu, kebahagiaan bolehlah kita bagi menjadi dua, yakni kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Kedua jenis kebahagiaan ini tidak bisa dipisahkan. Artinya, kedua kebahagiaan ini tidak terpisah satu sama lain, namun justru saling mempengaruhi. Karena itu tak heran bila kita kerap berjumpa orang yang secara zhahir berkekurangan, namun kita tak pernah melihat raut frustasi pada wajahnya. Ia menanggung beban yang amat berat, namun wajahnya senantiasa tersenyum. Mengapa?
Mari kita simak perumpamaan sederhana berikut ini. Ada seseorang yang diminta oleh sahabatnya untuk mencangkul sebidang tanah dengan upah harta yang berlimpah ruah, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupannya sepanjang masa. Sudah pasti orang tersebut girang luar biasa walaupun harta dari sahabatnya tersebut belum ia dapatkan, masih sekadar dijanjikan.
Orang itu akan segera mencangkul sebidang tanah itu dengan hati berbunga-bunga. Tak akan ia hiraukan keringat yang mengucur deras, tenaga yang hampir habis terkuras, atau terik matahari yang amat panas. Bahkan boleh jadi ia tetap rela bekerja meskipun harus menahan kantuk karena tidak tidur seharian. Semua rasa lelah dan derita fisik terasa tak sebanding dengan upah yang kelak akan ia terima.
Begitu pun kehidupan kita di dunia ini, rasanya sangat tak sebanding dengan "upah" surga yang dijanjikan oleh Allah Ta'ala bila kita mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Tentang keindahan dan kenikmatan surga, Allah Ta'ala telah menggambarkan dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, "Aku (Allah) telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh suatu balasan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga , dan belum pernah terlintas di dalam hati." (Riwayat Bukhari).
Jika senikmat itu surga yang dijanjikan Allah Ta'ala kepada kita maka rasanya tak akan terasa berat segala cobaan dan ujian yang akan kita terima di dunia. Bahkan, kenikmatan di dunia pun rasanya tak bernilai apa-apa jika dibanding kenikmatan surga.
Lantas, jika sesederhana itu perumpamaannya, mengapa masih banyak orang yang lalai dan frustasi?
Jawabnya, karena kebanyakan dari kita masih belum betul-betul mengimani janji Allah Ta'ala berupa surga dan neraka.
Wallahu a'lam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat