Rabu, 02 Februari 2022

Hasad yang Diperbolehkan Allah

Hasad atau dengki, menurut para ulama sebagaimana dinukil oleh Dr. Nashirul Haq, Ketua Umum DPP Hidayatullah, dalam channel youtubenya, ada dua jenis. Pertama, hasad yang dilarang oleh Allah Ta'ala karena tercela. Kedua, hasad yang diperbolehkan Allah Ta'ala.

Hasad yang tercela, atau hasad hakiki, adalah keinginan untuk memiliki suatu kenikmatan yang disertai dengan keinginan agar kenikmatan itu lenyap dari orang lain. 

Hasad jenis ini biasanya menghalangi seseorang untuk merasakan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Pikirannya akan selalu dihantui oleh perasaan tidak suka ketika orang lain merasa senang. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurusi orang lain agar hilang kenikmatan tersebut dari mereka.

Adapun hasad yang diperbolehkan, atau dikenal juga dengan ghibthoh, adalah keinginan untuk mendapatkan karunia Allah Ta'ala berupa kenikmatan, tapi tidak disertai dengan harapan untuk melenyapkannya dari orang lain. 

Adalah fitrah manusia untuk senang kepada harta, anak keturunan, kendaraan, rumah yang besar, atau jabatan yang tinggi. Keinginan seperti ini diperbolehkan Allah Ta'ala dengan berbagai syarat. 

Pertama, ia tidak menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut dari orang lain. Kedua, keinginan tersebut tidak dilandasi oleh sikap tamak dan rakus. 

Ketiga, ia harus meniatkan agar apa yang ia dapatkan menjadi wasilah atau sarana untuk mendapatkan kebajikan yang lebih banyak lagi. Bahkan, dengan kenikmatan tersebut, ia akan lebih giat dan tekun mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Ada juga jenis hasad yang dianjurkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, "Tidak boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta, lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (al-Qur'an dan as-Sunnah), lalu ia amalkan dan ajarkan."

Sikap kita kepada orang-orang yang disebutkan dalam hadits di atas adalah berlomba-lomba untuk bisa seperti dia, bahkan melampauinya. Hal ini difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Muthaffifin [83] ayat 26, "... dan untuk yang demikian itu hendaknya mereka berlomba-lomba."

Demikian pula dalam surat al-Baqarah [2] ayat 148, Allah Ta'ala berfirman, "Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Sebagai contoh, kita melihat ada orang kaya yang sangat dermawan. Ia gemar membantu orang yang berada dalam kesulitan, serta gemar menginfakkan hartanya untuk membantu dakwah. Tangannya ringan sekali. Kita patut merasa iri kepada mereka ini dan memiliki keinginan seperti dia.

Contoh lain adalah orang yang selalu membaca Qur'an dan shalat tengah malam. Padahal, orang ini bukan tak punya pekerjaan lain. Ia sebetulnya  sibuk sekali. Namun, ia selalu  menyempatkan diri shalat tahajud, dan membaca Qur'an tiga juz setiap hari. 

Terhadap orang seperti ini kita perlu merasa iri. Terlebih bila waktu kita masih terisasa banyak, jauh lebih santai dibanding orang tersebut, namun tak pernah bisa seperti dia.

Ada pula orang yang hidupnya pas-pasan, namun ia selalu menyisihkan uang pendapatannya untuk biaya naik haji. Sementara kita yang pendapatannya lebih besar, tak pernah bisa menabung untuk haji. Kita harus iri kepadanya dan berusaha untuk bisa seperti dia.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat