Jumat, 04 Februari 2022

Atasi Radikal dengan Wasathiyah

Istilah radikal, bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki tiga makna. Pertama, secara mendasar, atau sampai kepada hal-hal yang prinsip. Misal, perubahan yang radikal. Kedua, amat keras menuntut perubahan, baik undang-undang maupun pemerintahan. Dan, ketiga, maju dalam berpikir dan bertindak. 


Dari ketiga definisi ini tampaknya makna radikal yang sering disebut-sebut belakangan ini lebih pas pada makna kedua yang terkesan negatif. Adapun makna pertama dan ketiga justru positif. Jika benar seperti itu maka padanan kata radikal yang agak pas dalam Islam adalah ghuluw atau tatarruf, yang artinya berlebihan atau ekstrim dalam beragama.

Lalu, bagaimana makna radikal menurut pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama? Mari kita simak kembali kriteria radikal yang pernah diungkap oleh Wakil Menteri Agama, Zainuttauhid, dalam acara Silaturahim Nasional Forum Ukhuwah Islamiyah yang digelar oleh MUI pada akhir 2019.

Menurut Zainuttauhid, ada tiga kriteria radikal. Pertama, jika suatu paham menistakan nilai-nilai kemanusian. Misalnya, bertindak anarkhis dan membahayakan orang lain, apalagi sampai melakukan bom bunuh diri. Tindakan seperti itu terkategori radikal.

Kedua, jika ada paham yang mengingkari kesepakatan nasional. Apa itu kesepakatan nasional? Misalnya, kata Zainuttahid, menentang Pancasila dan NKRI yang telah menjadi kesepakatan bersama termasuk para pendahulu kita.

Lalu ketiga, jika ada paham yang merasa paling benar dan intoleran, maka ia juga terkategori radikal. Misalnya, kelompok yang suka mengkafirkan orang lain, seakan-akan cuma kelompoknya sendiri yang masuk surga. 

Nah, jika memang istilah radikal dimaknai seperti itu maka penanggulangan yang paling tepat adalah mengedepankan Islam yang wasathiyah. Sikap wasathiyah bermakna pertengahan. Artinya, tidak ekstrim ke kiri dan tidak juga ekstrim ke kanan. 

Namun, makna al-wasathiyah bukan berarti meredam ghirah dan semangat ber-Islam kaum muslimin. Jelas, bukan itu!  Agar tidak keliru, mari kita rujuk kepada bahasa aslinya, yaitu _wasatha_. Dari bahasa asli ini setidaknya kita bisa memaknai al-wasthiyah kepada tiga hal, yakni:

Pertama, pertengahan. Artinya, sesuatu yang berada di tengah antara dua sisi. Tidak terlalu ke kiri, tidak pula terlalu ke kanan. Keadaan seperti ini semakna dengan kata _tawassuth_, yang artinya mengambil jalan tengah, tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tidak pula tafrith (mengurangi ajaran agama). 

Paham liberal jelas bukan sikap wasathiyah. Mereka cenderung mengurangi, menambah, atau membuat persepsi baru tentang ajaran Islam. Para ulama di negeri ini sudah sepakat untuk mengharamkan paham liberal. 

Kedua, wasathiyah berarti terbaik atau termulia. Istilah ini diungkapkan dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah [2] ayat 143, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pilihan yang terbaik agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu."

Para ulama tafsir memaknai al-wasath dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 143 ini dengan "pilihan dari yang terbaik". Maka, kalimat ummatan wasathan berarti "umat pilihan dan terbaik", yaitu umat yang menempuh jalan tengah, meyakini kehidupan akhirat, kemudian beramal shaleh sebanyak-banyaknya di dunia ini.

Ketiga, kata wasathiyah berarti adil. Seorang hakim yang memutus perkara secara adil, tidak berat sebelah, bersikap obyektif, maka ia  tergolong al-wasath. Begitu pula muslim yang wasathiyah, tak boleh bersikap zalim dalam memutus segala perkara.

Selain tiga makna tersebut, wasathiyah juga bermakna tawassuth (mengambil jalan tengah), i’tidal (sikap tegak lurus dan adil), tawazun (berkeseimbangan), tasamuh (toleransi), dan tathawwur (berkembang). ***

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat