Jumat, 23 Juli 2021

Prof Huzaemah T Yanggo: Islam Adil kepada Kaum Perempuan

Akhir 2004, atau sekitar 17 tahun lalu, saya bersama rekan saya Ahmad Damanik berkesempatan mewawancarai Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami menyambangi beliau di ruangan kerja beliau di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan. Hasil wawancara ini kemudian dilengkapi lagi oleh rekan saya, Cholis Akbar, yang menghubungi beliau lewat telepon, lalu disajikan dalam rubrik Figur Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2004. 

Hari ini, 23 Juli 2021, beliau wafat. Hasil wawancara ini saya terbitkan kembali untuk mengenang kebaikan-kebaikan beliau dan pemahaman beliau yang sangat mendalam tentang fiqh dan ushul fiqh. 

o0o

Pembahasan mengenai Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) buatan Kelompok Kerja Tim Pengarusutamaan Gender yang sempat menyeruak beberapa bulan lalu memang sudah usai. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Depertemen Agama RI minta masalah ini tak usah diungkit-ungkit lagi.

Namun ruh dan semangat yang terdapat pada naskah itu jelas masih hidup. Keinginan sekelompok orang untuk membolak-balikkan hukum yang telah disepakati keabsahannya sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama yang berkaitan dengan kesetaraan gender, masih deras terasa dan akan terus terasa.

Islam dinyatakan sangat berpihak kepada laki-laki. Al-Qur`an disebut-sebut terlalu maskulin. Kaum feminis menuntut kesetaraan dengan laki-laki dalam semua aspek, fungsi, bahkan kodratnya.

Simaklah! Mereka menuntut perempuan memiliki hak waris yang sama dengan laki-laki, perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, pernikahan lintas agama diperbolehkan, poligami dilarang, nikah mut'ah dobolehkan, dan sebagainya.

Untuk membahas berbagai permasalahan perempuan masa kini, wartawan Majalah Hidayatullah, Mahladi dan Abdul Hadi MA Damanik, mengajak berbincang-bincang Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, di kantornya. Karena kesibukan Huzaemah yang luar biasa, wawancara dalam kesempatan pertama itu tidak bisa tuntas sehingga harus dilanjutkan oleh Cholis Akbar via telepon.

Wanita berusia 57 tahun ini sangat mendalam pengetahuannya tentang fiqh dan ushul fiqh. Dialah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor bidang fiqh dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Huzaemah juga menjadi salah seorang ketua di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dewan pengawas syariah sebuah perusahaan asuransi syariah. Berikut petikan wawancaranya: 

Masalah kesetaraan gender kini menjadi perbincangan banyak pihak. Bagaimana Islam memberi solusi terhadap hal ini?

Dalam Islam, laki-laki dan perempuan itu derajatnya sama, namun fungsinya berbeda. Ada fungsi-fungsi tertentu yang tak bisa dilakukan perempuan, ada pula yang tak bisa dilakukan oleh laki-laki. Pekerja-pekerja kasar adalah dunia laki-laki. Tidak mungkin dunia seperti itu dimasuki oleh perempuan, karena laki-laki diberi tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga.

Memang, ada mazhab yang mengharuskan perempuan bekerja jika suaminya sedang berhalangan. Misalnya, sang suami dalam keadaan sakit, tidak mampu secara fisik, cacat, dan lain sebagainya. Namun ulama lain mengatakan apa-apa yang diberikan istri kepada suami yang dalam keadaan demikian itu terhitung sebagai utang. Jadi, harus dibayar oleh si suami, kecuali jika istrinya ikhlas.

Sebaliknya, perempuan juga memiliki fungsi sendiri yang tak bisa tergantikan oleh laki-laki. Misalnya, perempuan itu mengandung, melahirkan, menyusui, dan lain-lain. Laki-laki tak mungkin hamil. Ini dunianya perempuan.

Fungsional seperti ini yang harus berbeda. Derajatnya tetap sama. Bukan berarti karena laki-laki mencari nafkah lantas derajatnya menjadi lebih tinggi. Tidak seperti itu.

Ada pihak-pihak, semisal kaum feminis, yang menginginkan kesamaan yang lebih dari itu. Komentar Anda?

Kesamaan yang mana dulu? Kalau yang diinginkan adalah kesamaan dalam segala hal, jelas tidak bisa. Al-Qur`an dan hadits sudah mengatur adanya perbedaan ini. Dalam hal waris, jelas dikatakan laki-laki mendapat bagian yang lebih besar daripada perempuan. Begitu juga dalam hal mahar, laki-laki yang harus memberikannya, bukan perempuan. Ini terkait dengan fungsi dan tanggung jawab tadi.

Banyak hal-hal yang berbeda secara kodrati. Ada yang bisa dilakukan laki-laki dan tidak bisa dilakukan perempuan. Soal atap bocor, misalnya, itu urusan laki-laki. Atap bocor tak bisa didekati dengan menggunakan wacana feminisme.

Namun rupanya ada yang menginginkan kesamaan hak yang kebablasan dengan mengusulkan, "Jika laki-laki berkewajiban memberikan mahar pada perempuan, maka perempuan juga harus memberi mahar kepada laki-laki." Memang dipikirnya itu bisa menambah harkat wanita? Justru itu tambah menginjak-injak harkat dan hak perempuan, wong mahar itu hak perempuan.

Selama ini, kaum feminis selalu memprotes terhadap hak-hak perempuan atas laki-laki. Padahal, antara laki-laki jelas ada perbedaan wilayah dan tugasnya. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan selalu menjadi sub-ordinasi laki-laki, menurut saya itu tidak betul.

Apa-apa yang sudah ada nash-nya dalam Al-Qur'an, tak bisa kita langgar. Tak bisa kita bolak-balik, karena itu sudah diatur oleh Sang Khalik. Kalau kita langgar, hidup ini akan kacau balau.

Saat ini banyak kaum perempuan yang bekerja di luar rumah, sementara ada yang berpendapat bahwa kaum hawa hendaknya konsentrasi di dalam rumah saja. Apa pendapat Anda?

Perempuan boleh bekerja di luar rumah, tapi tidak bebas nilai. Harus ada rambu-rambu yang ketat. Islam sudah mengatur rambu-rambu ini. Misalnya, tak boleh berduaan antara laki-laki dan perempuan, tak boleh membuka aurat, apalagi berpakaian sampai membangkitkan syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, dan lain sebagainya.

Selain itu, urusan rumahtangga, anak, dan suami, harus beres juga. Karena kewajiban mengurus rumahtangga ada pada perempuan atau istri. Jangan sampai urusan di luar rumah beres tapi di dalam rumah berantakan.

Di dalam keluarga, tidak semua perempuan memiliki anak dan keturunan. Jika kita membatasi mereka tak boleh kerja, ya salah juga. Yang paling baik itu adalah khairul 'umuri ausathuha, (sebaik-baik urusan adalah yang di tengah-tengah). Tapi menuntut berlebih-lebihan harus sejajar seperti lelaki, itu juga tidak benar. Secara kodrati jelas ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Memang, ada pendapat yang tak membolehkan perempuan bekerja di luar rumah. Ini terkait dengan seruan kepada istri-istri Nabi untuk tidak berada di luar rumah. Namun, istri Nabi tak sama seperti wanita kebanyakan. Tugas dan fungsi mereka jauh lebih berat dibanding kita saat ini.

Yang jelas, tugas dan fungsi tersebut tidak boleh membuat hidup perempuan menjadi terkekang. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini memberi lebih banyak waktu buat perempuan untuk berkiprah secara positif. Peralatan rumahtangga sudah semakin canggih sehingga pekerjaan bisa dilakukan dengan mudah. Belum lagi jika di rumah ada pembantu. Tidak seperti pada zaman Rasulullah dulu.

Kalau perempuan tidak boleh keluar rumah, untuk apa perempuan diwajibkan menuntut ilmu? Untuk apa perempuan punya keahlian? Sia-sia saja ilmu dan keahlian kalau tidak diaplikasikan.

Berarti, apakah bolehnya perempuan bekerja di luar rumah itu karena perkembangan zaman?

Segala sesuatu itu harus berdasar pada Al-Qur`an dan hadits. Dalam Al-Qur`an surat An-Nahl ayat 97 dikatakan, "Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

"Amal shalih" dalam ayat tersebut berarti karya atau hasil pekerjaan yang baik. Siapa saja boleh beramal, berkarya, untuk kebaikan sesama, baik laki-laki maupun perempuan. Semakin banyak karya, semakin banyak pula amal. Cuma, itu tadi, ada batasan-batasan yang sangat ketat (bagi kaum perempuan).

Dengan berkiprah di luar rumah, memberi peluang kepada kaum perempuan menjadi pemimpin di arena publik. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Persoalan ini memang masih dalam perdebatan. Ada ulama yang membolehkan, ada pula yang tidak.

Yang tidak membolehkan mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Bunyinya, "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan mereka kepada seorang wanita." Hadits ini berhubungan dengan pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.

Kalau saya sendiri cenderung mengatakan perempuan boleh menjadi pemimpin publik asal dia profesional di bidangnya, cakap, dan mampu. Namun harus ada rambu-rambu yang ketat seperti tadi. Saya berbicara seperti ini bukan berarti mendukung Ibu Megawati (mantan Presiden RI). Masa kampanye dan segala macamnya itu sudah selesai, tak ada hubungannya ke arah itu.

Dulu, pada masa Rasul dan sahabat, kekhawatiran perempuan menjadi pemimpim muncul karena keaadaan negara yang tak memungkinkan untuk dipimpin oleh seorang perempuan. Misalnya, sistem pemerintahan yang masih berupa kerajaan atau kesultanan, raja atau sultan harus bekerja sendiri, peralatan dan sarana masih sangat terbatas.

Sekarang banyak negara yang tidak lagi sentralistik. Seorang presiden dibantu oleh banyak menteri dan para ahli. Pekerjaan presiden juga diawasi oleh lembaga legislatif. Teknologi sudah semakin berkembang. Jarak sudah tak lagi menjadi masalah. Komunikasi bisa berjalan lancar. Semua ini meminimalkan kekhawatiran-kekhawatiran yang dulu ada.

Satu lagi isu yang sering diperdebatkan, yaitu tentang poligami, yang dianggap sebagai sebagai bentuk ketidakadilan gender. Menurut Anda?

Islam sudah mengatur bahwa laki-laki diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Hal tersebut sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Jangan berpandangan negatif atas hal ini. Coba perhatikan di sekeliling kita, ada banyak sekali perempuan yang susah mendapat pasangan. Ada juga yang harus menjanda, dan sebagainya. Mereka ini harus ditolong.

Namun aturan poligami dalam Islam tak hanya membolehkan saja. Masih ada lanjutannya, yaitu suami harus mampu bersikap adil. Ini berat. Tidak semua laki-laki mampu melakukannya. Jika laki-laki berpoligami lalu tak bisa bersikap adil kepada istri-istrinya, maka ia berdosa. Ia juga harus bertanggung jawab memberi nafkah, perlindungan, dan sebagainya. Jika laki-laki tak berhati-hati dalam hal ini, maka ia bisa terjerumus ke dalam lembah dosa.

Kaum feminisme memang banyak yang menentang poligami ini. Tapi anehnya, kawin kontrak mereka legalkan. Ini kan aneh. Kawin kok seperti bekerja di perusahaan saja. Ini sama juga dengan nikah mut'ah yang sudah diharamkan oleh mufakat ulama.

Anda mendukung poligami?

Sebagai alternatif, poligami tidak masalah, asal adil. Dalam Al-Qur`an surat An-Nisaa': 3 dijelaskan, "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu kamu takut (tidak akan berlaku adil), maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Tetapi adil itu tidak mudah, apalagi adil "hati". Harus ada rasa adil soal giliran, pakaian, belanja, dan lain-lain. Dan hanya Allah yang bisa mengatur hati manusia. Berdasarkan surat An-Nisaa': 129, "Dan kamu sekalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Alla Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)."

Lagi pula, jika berbicara penduduk Indonesia, sekarang ini lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Menurut data, jumlah perempuan sekitar 53%. Tapi dalam penelitian, jumlah yang besar itu ternyata kebanyakan nenek-nenek. Jadi kalau seandainya harus poligami atau ada yang mengatakan "wajib" untuk mengurangi angka surplus perempuan, rasanya tak adil juga. Sebab nyatanya banyak nenek-nenek alias banyak jandanya. (sambil tertawa).

Janda kan juga perlu mendapat perlindungan dan pengayoman?

Tapi pada umumnya, di Indonesia, janda jarang mau menikah lagi. Di kompleks saya, perumahan UIN, dari 180 rumah, jandanya ada 50-an. Dudanya belum sampai 10 orang sudah pada menikah. Jadi, jika mau poligami atau dipoligami boleh saja, tapi faktanya biasanya seperti itu.

Anda sendiri siap dipoligami?

Kenapa harus kita larang? Lagian dia (suami) tak akan mau melakukannya.

Kenapa?

Ya memang untuk apa menikah lagi? Memangnya gampang menikah lagi? Seandainya jika dia menganggap menikah lagi untuk mencari ketenangan, kok saya yakin dia malah nggak tenang. Sebab adil harus adil. Jadi, orang yang melaksanakannya akan dihantui perasaan untuk bisa berbuat adil.

Saya pikir, di Indonesia ini, pria yang ingin menikah lagi tak akan lebih dari 10%. Jadi, tak usah khawatir. Dan satu hal lagi, hanya karena alasan-alasan penting saja sehingga pria menikah lagi. Jika hubungan dalam rumahtangganya harmonis dan saling ada pengertian, masak dia mau lari ke tempat lain? (sambil tertawa).

Tidak banyak lho kaum perempuan yang bisa berpandangan seperti Anda?

Kita tak boleh mengingkari ayat Al-Qur`an. Pedoman yang paling baik bagi hidup kita adalah ajaran wahyu. Sebab, belum tentu yang menurut akal dan pikiran kita baik. Tapi jika wahyu mengatakan ini baik dan maslahat, itulah yang kita ikuti. Apa yang dikatakan agama kita, itu yang terbaik, meski kita belum mengerti apa hikmah yang terkandung di dalamnya.

Beberapa saat lalu saya dipanel dengan seorang aktivis gender untuk membedah buku berjudul Islam Menggugat Poligami. Penulisnya mengatakan, haram hukumnya poligami dan tidak sah perkawinan jika poligami. Saya tanya, "Apa alasannya tidak boleh dan dikatakan haram?" Jawabnya, "Karena banyak anak-anak dan perempuan telantar akibat poligami." Saya katakan, "Memangnya sudah diteliti jika dengan perkawinan monogami tidak ada anak-anak dan istri yang telantar?" Tanpa poligami saja banyak anak dan istri-istri yang telantar, kenapa harus poligami yang disalahkan? Padahal, di Indonesia ini, yang poligami saja tak melebihi 10% jumlahnya. Jadi, saat sang penulis saya tanya berapa persentasenya dia tak bisa jawab.

Tapi banyak orang seperti itu yang tetap teguh dengan pendapatnya, bagaimana kesan Anda?

Waallahu a'lam. Kesan saya, kadang hanya karena pengalaman pribadi. Kebanyakan pengalaman buruk.

Kalau melihat tuntutan-tuntutan kaum feminis seperti di atas, Anda melihatnya sebagai fenomena apa?

Islam sekarang ini memang sedang berusaha dibolak-balikkan. Usulan Counter Legal Draft KHI beberapa saat lalu, misalnya, banyak sekali yang bertentangan dengan syariah. Laki-laki harus ber-iddah sama seperti perempuan, pembagian zakat harus adil, perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa harus wali, dan sebagainya. Ini semua bertentangan dengan syariah, tak boleh dilakukan.

Saya sendiri tak tahu apa maunya orang-orang yang mengusulkan itu. Mereka orang-orang LSM (lembaga swadaya masyarakat), tidak mewakili seluruh perempuan di Indonesia. Kebanyakan perempuan Indonesia justru senang dengan apa-apa yang sudah diatur dalam Islam, karena aturan itu sudah sangat adil dan melindungi mereka.

Adapun mereka (kaum feminis dan LSM) kebanyakan memahami Islam sebagian saja, sedikit-sedikit. Mereka memisah-misahkan aturan yang satu dengan kewajiban yang lain, ayat yang satu dengan ayat yang lain. Sehingga terkesan Islam tak memihak kepada kaum perempuan. Padahal kita diwajibkan memahami Islam secara total, keseluruhan, kaffah.

Tapi perlu digarisbawahi, saya tidak 100 persen menolak apa yang mereka perjuangkan. Tergantung poin yang mana dulu. Ada poin-poin yang saya sependapat. Misalnya, perempuan harus menerima nafkah dari suaminya. Itu saya setuju dan harus diperjuangkan. Sekarang ini banyak sekali suami yang tak bertanggung jawab. Kalau kita lihat di desa-desa, banyak sekali istri yang harus membanting tulang di sawah dan kebun, sedang suaminya enak-enak di rumah. Kalau makan, istri selalu harus belakangan, seolah-olah hak dia hanya sisa makan suaminya. Makanan yang enak-enak buat suami, sedang istri dapat sisanya.

Juga soal kekerasan dalam rumah tangga. Suami seenaknya saja memperlakukan istri secara kasar. Sementara istri menerima saja diperlakukan seperti itu karena kodratnya.

Yang tak kalah penting, hak kaum perempuan untuk memperoleh jaminan rasa aman saat melahirkan. Banyak sekali kasus ibu meninggal saat melahirkan, begitu juga bayinya. Angka kematian bayi dan ibu melahirkan di negara kita tinggi. Ini harus diperjuangkan untuk diatasi. 

o0o

Huzaemah lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada tanggal 30 Desember 1946. Pendidikan masa kecil hingga remaja ia habiskan di Pesantren Al-Khairaat, Palu, Sulawesi Tengah. Begitu pula masa kuliah, ia habiskan di Fakultas Syariah Universitas Islam Al-Khairaat.

''Saat itu yang ada cuma fakultas syariah. Ya, tidak ada pilihan lain, saya mengambil fakultas itu,'' katanya mengemukakan alasan mengapa tertarik mendalami bidang ini.

Universitas Islam Al-Khairaat memang sempat bubar pada tahun 1964. Sebab, para ulama yang mengajar di sana ikut berjuang memberantas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada 1969, ketika suasana kembali kondusif, perguruan tinggi milik pesantren terbesar di Indonesia timur itu dibuka lagi. Satu-satunya fakultas yang tersisa hanya fakultas syariah.

Lama-lama, Huzaemah mulai tertarik dengan persoalan fiqh dan ushul fiqh. "Permasalahan hidup ini semakin lama semakin banyak. Ilmu fiqh semakin berkembang," katanya lagi.

Huzaemah memberi contoh, dulu orang belum terpikir bagaimana caranya pergi ke bulan. Sekarang manusia sudah bisa menjejakkan kaki di bulan. Oleh karena itu, butuh kajian misalnya tentang bagaimana caranya shalat di sana.

Dulu tidak ada transplantasi organ tubuh, bayi tabung, sampai manusia kloning. Sekarang semua sudah dimaklumkan. "Ini juga tantangan yang perlu dijawab," ujar ibu yang enerjik ini.

Usai menyelesaikan S-1 di Palu, ayah Huzaemah meninggal dunia. Mau tak mau, dialah yang harus menanggung biaya hidup keluarga, karena dia anak pertama dari delapan bersaudara.

Setahun membanting tulang mencari penghidupan, Huzaemah mendapat tawaran dari Departemen Agama untuk melanjutkan pendidikan ke Mesir. Tawaran tersebut tak langsung diterimanya. Ia sempat bimbang, sebab sang ibu keberatan bila putrinya pergi merantau. Siapa yang akan mencari nafkah buat keluarga?

Untunglah Ketua Pengurus Besar Al-Khairaat saat itu, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (almarhum), bisa meyakinkan ibunya agar rela melepas sang anak pergi jauh menimba ilmu. Setelah mendapat restu, Huzaemah langsung berangkat ke Mesir untuk melanjutkan program S-2 di Universitas Al-Azhar, Kairo. Di sana ia menekuni fiqh dan ushul fiqh.

Selama di Timur Tengah, Huzaemah dikenal sebagai ''kutu buku''. Ia sangat tekun belajar, bahkan ketika semua temannya berlibur, ia tetap tak tergoda untuk berleha-leha. "Kalau saya tidak tekun belajar, saya tidak akan seperti ini," katanya.

Kerja keras ini membuahkan hasil. Ia bisa meraih gelar S-2, sementara satu-satunya rekan perempuan dari Indonesia di jurusan yang sama, gugur. Huzaemah kemudian melanjutkan studi S-3 dengan bidang yang sama, masih di Universitas Al-Azhar.

Sepulang dari Mesir, berbagai tugas telah menantinya. Kini, selain sebagai dosen tetap di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Huzaemah juga menjadi dosen pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dan Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ). Pada tahun 1998, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Huzaemah dan suaminya, H Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc, MA, memiliki seorang putra bernama Syarif Hidayatullah (17). Putra kesayangannya kini duduk di bangku kelas III Madrasah Aliyah Pesantren Darunnajah, Jakarta. 


Apa arti penting bidang fiqh bagi kehidupan di masa sekarang?

Melihat perkembangan dunia sekarang ini--terutama ilmu pengetahuan dan teknologi-menunjukkan bahwa ilmu fiqh justru menjadi kebutuhan penting. Hampir 75% kebutuhan manusia saat ini semua larinya ke masalah fiqh. Sebut saja kebutuhan orang tentang bayi tabung. Bagaimana hukum dan status sang anak, bagaimana hukumnya jika sewa rahim, dan sebagainya.

Banyak pihak yang sering melontarkan pendapat tentang perlunya revisi permasalahan fiqh yang dianggap ketinggalan zaman, apa komentar Anda?

Kita harus membedakan masalah fiqh dengan masalah syariah. Kalau syariah itu nash-nya sudah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadits. Tetapi jika fiqh kan hasil ijtihad. Dan fiqh yang bisa diubah dan disesuaikan hanyalah fiqh yang ijtihadi, sedangkan fiqh nabawi tidak bisa diubah.

Memang ada yang menelurkan gagasan untuk tidak mengembangkan fiqh karena--menurutnya-dianggap ketinggalan zaman. Padahal justru fiqh-lah panduan agar bisa menghadapi masalah di masa kini. Bagaimana hukumnya jika shalat di pesawat, karena di zaman Nabi tak ada pesawat, misalnya. Kita boleh mengembangkannya tanpa keluar dari maqasid asy-syari'ah (kepahaman akan tujuan hukum). Jika ada yang mengusulkan mau mengubah fiqh, fiqh yang mana? Fiqh itu hasil ijtihad yang berdasarkan pada nash.

Bisakah Anda memberi contoh pendapat yang sudah keluar dari maqasid asy-syari'ah itu?

Seperti yang mengatakan, demi gender, laki-laki juga harus ber-'iddah selama 4 bulan 10 hari jika istrinya meninggal dunia. Itu malah tidak jadi maslahat. Ada juga yang ingin mengubah warisan antara laki-laki dan perempuan. Padahal sudah jelas 2:1, kecuali ada musyawarah-mufakat, boleh saja pihak laki-laki menghibahkan sebagian hartanya pada pihak perempuan atau dibagi sama. Tetapi mereka harus tahu hukum dalam Islam. Mengapa laki-laki diberi 2 bagian? Laki-laki jika menikah dia harus membayar mahar, memberi nafkah (meliputi pakaian, makanan, dan tempat tinggal) untuk anak-istri. Bahkan semua tanggung jawab rumah tangganya adalah tanggung jawab suami. Jika istri memberikan bantuan dalam rumah tangga, itu hanya berfungsi sebagai tabarru' (kebajikan) saja, bukan kewajiban.

Ada yang berpendapat, fiqh itu dihasilkan para mujahid sesuai dengan konteks zamannya, yang berbeda dengan kondisi sekarang?

Jika fiqh yang ijtihadi yang saya sebutkan tadi, benar. Tetapi jika fiqh yang di-istinbat-kan (digali dan dikeluarkan) dari Al-Qur'an dan hadits, tidak mungkin diubah. Fiqh ijtihadi bisa berubah karena dipengaruhi oleh kondisi. Imam Syafi'i saja ada pendapatnya yang qaul qadim (pendapat yang lama) dan qaul jadid (pendapat yang baru).

Sekarang ini banyak orang ngomong fiqih padahal sebenarnya nggak paham fiqh. Disangkanya semua bisa diubah. Sudah jelas-jelas nash, mau diubah juga. Ada pula yang mengatakan Al-Qur'an itu kan teks yang terjadi di zaman dulu. Lha kalau gitu, shalat dan puasa juga untuk orang dulu juga. Sadar nggak dia ngomong begitu?

Orang-orang sekarang ini aneh. Menggebu-gebu berusaha mengubah fiqh tetapi tidak punya alat dan perangkatnya. Dia nggak ngerti di situ harus ada nash. Tidak ngerti bahasa Arab, ushul fiqh, qawaid fiqhiyah (kaidah fiqh), dan sebagainya.  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat